SOLOPOS.COM - Benni Setiawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (16/1/2016), ditulis Benni Setiawan. Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta dan Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity.

Solopos.com, SOLO — Teror melukai peradaban. Nyawa manusia merdeka seakan tak ada gunanya saat nalar kekerasan merasuki alam bawah sadar manusia biadab. Mereka telah kehilangan akal waras. Akal waras itulah bentuk pengakuan eksistensi kemanusiaan.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Kebengisan yang dipraktikkan sekelompok teroris dengan bom dan penembakan di Jakarta menjadi wujud betapa kekerasan berjubah agama masih menjadi senjata ampuh untuk merekrut pengikut. Mereka menawarkan surga sebagai imbalan atas perbuatan kejam itu. Sebuah iming-iming tak beralasan yang sering kali melenakan manusia.

Janji surga ini seakan mengubah manusia lemah menjadi Tuhan penentu hidup dan mati. Manusia seakan-akan mewujud menjadi “panitia surga”. Ia berhak mengatur seseorang masuk surga atau neraka, padahal mereka sendiri belum pernah tahu apa dan bagaimana surga dan neraka itu.

Seseorang berhenti bertanya dan terjebak dalam rutinitas kehidupan beragama dalam wujud-wujud ritual. Ironisnya, sebagian masyarakat sudah merasa nyaman dengan praksis hidup beragama dalam hal bentuk-bentuk ritual dan bukan esensinya.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa masih ada manusia yang terbuai oleh janji manis meraih surga dengan cara-cara keji (menghalalkan darah orang lain)? Pada tingkatan praktis beragama seperti itu manusia lalu merasa tidak perlu mengangkat kepala melihat horizon keimanan secara lebih luas.

Horizon itu penting untuk tetap mengingatkan diri sendiri bahwa di samping dunia saya yang aman dan nyaman tempat saya bisa mengalami perjumpaan intensif dengan Tuhan itu ternyata masih ada dunia orang lain (al-akhar, the others), ada keyakinan yang lain (Robert B. Baowollo, 2010).

Kehampaan memahami realitas hidup inilah yang kemudian menyeret manusia dalam perilaku biadab. Teror menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan alam bawah sadar dan ruang gerak masyarakat. Saat teror meluncur secara masif, kesadaran masyarakat didorong membenarkan kondisi itu.

Saat kesadaran telah lumpuh maka menjalankan agenda kerja lebih mudah. Ketertundukan dan pembenaran telah menyatu. Manajemen teror seakan-akan membenarkan paradigma masyarakat, yaitu saat seseorang telah dilukai, baik fisik mauapun psikis, maka ia akan mengurungkan niatnya melawan berbagai kebijakan yang tidak memihak.

Teror menjadi sarana yang paling ampuh untuk mematikan niat dan keberanian seseorang untuk mengungkapkan kebenaran. Mental lemah ini perlu dilawan dengan nalar kritis. Nalar kritis akan menuntun manusia menemukan kemanusiaannya. Manusia bernalar kritis akan mampu membaca secara benar dan jernih apa yang terjadi. [Baca selanjutnya: Gerakan Kebudayaan]Gerakan Kebudayaan

Nalar kritis terbangun dari pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. Meminjam bahasa Driyarkara, pembudayaan merupakan kerja intelektual yang mengantarkan seseorang menuju taraf insani. Taraf kemanusiaan utama.

Saat manusia berada dalam posisi itu, ia akan mampu berpikir jernih, tidak hanya akal namun juga nurani. Kejernihan dalam berpikir inilah yang kemudian mengantarkan manusia mampu membaca gejala (baca: penanda) bahwa ini benar dan ini keliru.

Daoed Joesoef menilai melalui proses itu ruang publik akan semakin dipenuhi oleh “budayawan” (man of culture), bukan “man of science”. Inilah dalam bahasa Kuntowijoyo disebut dengan gerakan kebudayaan. Sebuah kerja peradaban menuju keadaban bangsa. Bangsa yang terpenuhi oleh prinsip tindakan memanusiakan manusia dan terbebas dari belenggu primordialisme.

Pemahaman realitas keagamaan (Islam) dan kebudayaan selayaknya menyatu dalam gerak langkah. Integrasi keilmuan—meminjam istilah M. Amin Abdullah–selayaknya menjadi kerja keadaban di masa kini dan masa depan. Tanpa hal itu, narasi teks keagamaan hanya akan terus dibajak oleh sekelompok orang untuk membenarkan perilaku yang jauh dari keadaban publik.

Teror dengan pembenar teks suci seakan menjauhkan kebajikan dari spirit welas asih dalam beragama. Menurut Karen Armstrong (2012), welas asih (compassion) merupakan inti kehidupan religius dan moral.

Prinsip itu bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, tradisi spiritual, mendorong manusia untuk bekerja tanpa lelah menghapuskan penderitaan sesama, menghormati kesucian setiap manusia lain, memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan mutlak.

Welas asih dengan demikian menjadi sarana memuliakan hakikat manusia. Manusia sebagai makhluk merdeka yang tak dibenarkan orang lain mencabut nyawanya atas nama “iman”. Welas asih juga menjadi inti keberagamaan untuk saling menghargai, menyayangi, dan menjunjung harkat dan martabat manusia.

Saat nalar kritis dan welas asih menyatu dalam kehidupan maka keadaban, keadilan sosial, dan kemakmuran akan mewujud. Agama akan menjadi penggerak perubahan sosial, bukan malah mengacaukan peradaban dengan tafsir nalar sempit ala kacamata kuda.

Teror disertai bom di kawasan Sarinah, Jakarta, yang mewaskan enam nyawa manusia menjadi potret pembajakan nama Tuhan untuk perbuatan tak beradab. Teror merupakan sisa zaman purba, masyarakat tak berpendidikan dan tak berakal sehat. Teror hanya akan menimbulkan keresahan dan kemandekan berpikir.

Sudah saatnya manajeman teror dihentikan, yaitu dengan kembali membuka cakrawala berpikir dalam memahami teks suci. Membangun nalar kritis dan mengembangkan welas asih dalam beragama akan menjadi tameng dari aksi teror yang bengis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya