SOLOPOS.COM - A. Windarti (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (27/2/2016), ditulis A.  Windarto. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Esai Teror dan Mistisisme karya Eddy J. Soetopo (Solopos, 15 Februari 2016) yang mempertanyakan relasi ”irasional” (baca: nonilmiah) antara aksi terorisme dengan tayangan ”mistis” (baca: misteri/agamis) di televisi menarik untuk dikaji ulang.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Ada hal dan masalah yang perlu diungkap dengan jeli agar dapat diketahui secara proporsional seperti apa dan bagaimana sesungguhnya alam pikiran teror(isme) itu. Pertama, berkait dengan persoalan mengapa televisi di Indonesia gemar menayangkan acara-acara mistis berbau hantu/setan mirip ghostbuster.

Hal ini dapat dijelaskan dengan merujuk kajian lintas budaya yang berpangkal dari konstruksi historis penonton televisi di Indonesia. Artinya tayangan yang disajikan lewat media audiovisual itu sesungguhnya merupakan realitas yang virtual (virtual reality) sekaligus virtualitas yang riil/nyata (reality of virtual).

Dalam konteks ini, mengacu pada pemikiran Jean Baudrillard (1994) tentang simulacra, tontonan di televisi adalah produk dari rekayasa teknologi digital yang mampu menampilkan realitas secara semu, mirip wayang atau avatar, tetapi juga kesemuan yang seolah-olah nyata.

Itulah mengapa para penonton televisi seakan-akan merasa sedang menyaksikan apa yang sedang ditayangkan, bahkan begitu yakin akan apa yang ditonton sebagai suatu kenyataan. Sementara kepercayaan terhadap adanya hantu/setan yang kerap disamaratakan dengan dunia mistis itu adalah lain soal.

Maksudnya hal itu tidak berkait langsung dengan simulacra dalam televisi meski dapat ditelaah dengan pendekatan semacam itu. Penting untuk dicatat bahwa rumusan dunia mistis, Jawa khususnya, lebih berkait dengan “kekuatan yang tak tampak, misterius, dan bersifat ilahiah” (Benedict R. O’G Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia, Mata Bangsa, 2000) daripada suatu postulat teroretis yang mengarah pada paham pantheisme seperti dikonsepkan dalam pemikiran Barat kontemporer.

Jadi, entah kekuatan itu bernama hantu/setan bahkan malaikat sekalipun, tradisi Jawa tidak ambil pusing. Semuanya memiliki (inter)relasi yang nyata, tidak bergantung pada (si)apa yang menggunakannya, homogen, konstan, dan ada. Itulah mengapa tak ada implikasi moral apa pun yang inheren pada dunia seperti itu.

Kedua, berkait dengan teror(isme), hal dan masalah yang perlu dipahami dengan cukup waspada adalah penampakannya lebih sebagai gejala psikologis atau alat manipulasi daripada subjek dalam budaya hidup masyarakat masa kini.

Dengan kata lain, orang-orang yang dengan mudah menjadi radikal dan ekstrem dengan mengatasnamakan agama tertentu itu tidak lebih daripada mereka yang masih dibayang-bayangi kejayaan masa lalu Hitler dan Mussolini di era Perang Dunia II dan mengilhami beragam gerakan neo-Nazi.

Yang agak membuat terhenyak justru sekelompok orang yang berpikiran rela mengorbankan nyawa orang lain, bahkan dirinya sendiri pun dipertaruhkan, ternyata berlatar belakang akademis ilmu-ilmu sains, entah dari bidang matematika atau teknik. Tentu menarik untuk mengetahui pikiran macam apa yang membentuk mereka mampu bertindak ”sefatal” itu?

Dieogo Gambetta dan Steffen Hertog yang mengawali penelitian tentang hal itu menemukan dasar pikiran para teroris adalah masyarakat rusak ibarat mesin yang rusak akibat suku cadang yang tidak baik (Newsweek, 8 Maret, 2010). Solusinya adalah menggantinya dengan yang lebih baik.

Dengan pemikiran itu tak mengherankan jika perbedaan dalam masyarakat diabaikan atau bahkan ditiadakan sebab hal itu justru dianggap dapat mengaburkan atau menyamarkan antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang rusak dan yang berfungsi sebagaimana mestinya.

Selanjutnya pengabaian dan/atau peniadaan semacam itu menggiring pada pemikiran yang sangat moralistis dan sepihak. Artinya dalam masyarakat plural yang mengandaikan keterbukaan, pemikiran tersebut hanya akan menghasilkan cara pandang yang fundamentalistis dan fanatik.

Itulah mengapa ”logika persamaan” menjadi mindset yang lebih diunggulkan ketimbang peluang untuk toleran dalam perbedaan. Bukan kebetulan jika dalam menerjemahkan pesan-pesan ”suci”, membangun pusat-pusat kekuasaan, dan mitos sejarahnya, para teroris selalu berpandangan kaku, bahkan literal, terhadap apa yang disebut dengan jihad misalnya, beserta kekerasan yang mengikutinya. [Baca selanjutnya: Tak Perlu Ditafsirkan]

Tak Perlu Ditafsirkan

Dengan demikian, jihad menjadi ”sisi logis” yang tak perlu ditafsirkan lagi lantaran dipandang sudah jelas mana yang bermanfaat dan mana yang menciptakan kerusakan. Dalam konteks ini, tak mengherankan jika tak ada yang relatif atau berada dalam wilayah ”abu-abu” sebagaimana dipahami masyarakat pada umumnya.

Segalanya sudah dapat dipastikan hasilnya asalkan telah diperhitungkan secara saksama dalam sebuah persamaan yang memberi jawaban, bukan malah pertanyaan. Rela mengorbankan nyawa sendiri, bahkan nyawa orang lain sekalipun, demi persamaan yang serbaterbatas itu menjadi semacam ”pandangan dunia” (weltanschauung) dari teror(isme).

Tak mengherankan kalau bom bunuh diri adalah sesuatu yang ”khas” dan ”istimewa” bagi para teroris. Tidak ada kata ”gagal” di sana, tetapi justru ”teladan” bagi yang lain untuk bertindak serupa. Ketiga, berkait dengan ajaran yang merupakan soal hidup atau mati dalam teroris(me), hal itu tampaknya menyerupai kebijakan berbahasa di Aljazair.

Di sana orang dapat saling bunuh hanya karena berbahasa yang dipandang mampu mencerminkan identitas masing-masing (Jim Siegel, Berbahasa, dalam H.C. Loir, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, 2009). Jadi, teladan bagi para teroris adalah bahasa bom bunuh diri yang mencerminkan pengorbanan yang agung dan mulia.

Inilah yang disebut Benedict Anderson (2001) dalam bukunya yang lain, Imagined Communitie, Komunitas-Komunitas Terbayang, sebagai ”bahasa suci”. Bahasa yang mampu menghadirkan kembali pusat-pusat kekuasaan lama dengan mitos penguasa yang serbabaru. Terorisme seolah-olah tak pernah mati, bahkan semakin kerap dibinasakan semakin beranak-pinaklah pelaku-pelaku terornya.

Sekadar membinasakan para teroris bukanlah satu-satunya jalan keluar. Sangat boleh jadi alam pikiran teroris masih akan tetap menghantui, bahkan pada generasi yang belum dilahirkan. Jalan yang mungkin dapat menjadi alternatif adalah menawarkan cara berpikir untuk memahami bahasa terorisme yang tak lain dari kebanggaan terhadap pengorbanan diri sendiri.

Hal ini lebih dekat kepada keunggulan chauvinistis ketimbang prestasi patriotik. Artinya, meski tidak punya sesuatu yang bisa mewakili sosok para teroris dunia, mereka toh yakin bahwa pengorbanan mereka akan menebarkan rasa takut yang abadi.

Tak mengherankan, teror bom di Jl. M.H. Thamrin, kawasan Sarinah, Jakarta, dengan mudah diidentifikasi setara dengan yang sebelumnya terjadi di Paris. Kenyataan ini dapat ditemukan pula pada diri para veteran jagal era 1965 yang tega membunuh orang-orang komunis dengan sadis, tetapi tetap merasa aman dan nyaman hidup bebas di tempat masing-masing, sembari menanti ajal menjemput.



Mereka kebal hukum, bahkan merasa diri sebagai patriot yang heroik, meski ada juga beberapa yang hilang ingatan. Demikian pula halnya dengan para teroris yang selalu percaya akan dikirim ke surga dalam setiap aksi bom bunuh diri yang mereka lakukan.

Sayangnya, kepercayaan itu tidak jatuh dari langit, apalagi berbau mistis. Ada kontruksi yang memanipulasinya sehingga tak mudah untuk direkonstruksi, apalagi didekonstruksi. Mirip dengan kata-kata pejabat negara yang dengan ringan berkomentar di manapun di dunia ini serangan teroris selalu tak terduga; jadi tak ada istilah kecolongan. Benarkah begitu? Semoga (tidak) demikian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya