SOLOPOS.COM - Mohamad Ali, Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo

Mohamad Ali, Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo

Ketika kepercayaan publik terhadap partai-partai berbasis agama (Islam) merosot tajam, sekolah-sekolah yang diselenggarakan kaum santri justru menunjukkan grafik menanjak. Fakta paradoksal ini sungguh menarik dicermati. Gejala itu bersentuhan dengan persoalan yang jauh lebih mendasar, yaitu bagaimana relevansi institusi-institusi keagamaan dalam kancah kehidupan modern.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Secara hipotetis gejala paradoksal tersebut terjadi karena panggung politik santri mengalami stagnasi, masih mengandalkan simbol-simbol agama untuk meraup suara. Di sebelah lain, sekolah- sekolah santri terus bebenah dan bertransformasi sedemikian rupa sehingga kualitasnya dapat diandalkan. Berlainan dengan panggung politik yang penuh ingar-bingar, dakwah di lapangan pendidikan terkesan sunyi senyap.

Suasana demikian membuat dakwah lewat pendidikan seolah-olah kurang menantang dibanding keriuhan gelanggang politik. Namun kerja diam-diam para pegiat pendidikan, meminjam istilah Azyumardi Azra, ”dakwah organik”, sebenarnya tidak kalah strategis karena berkaitan dengan pembentukan generasi masa depan.

Perlu ditegaskan di awal bahwa penggunaan istilah ”santri” bukan hanya untuk menunjuk murid-murid dari suatu pondok pesantren sebagaimana makna awal kata itu. Istilah ini juga merujuk segolongan penganut Islam yang menjalankan ajaran agama  dengan penuh ketaatan. Manifestasi ketaatan yang dimaksud adalah kerelaan melakukan ibadah salat, zakat, puasa dan pergi ke Tanah Suci menjalankan ibadah haji. Sekolah santri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh kaum santri atas dorongan untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, bukan semata-mata mencerdakan anak-anak bangsa.

Dalam aras pendidikan nasional, sekolah santri disebut sebagai sekolah berciri khusus, yaitu ciri keagamaan. Tulisan singkat ini berupaya menelusuri kembali proses transformasi pendidikan kaum santri beserta kontroversi yang mengiringinya, ataupun tantangan-tantangan yang tengah dan akan dihadapi di masa depan. Kemudian dipungkasi dengan otokritik dan pencarian sejumlah agenda yang menjadi pekerjaan rumah kaum santri.

 

Pasang Naik

Data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Kota Solo menunjukkan pada 2013 ini lima besar peringkat nilai Ujian Nasional (UN) SMP tertinggi secara berturut-turut adalah SMPN 1, SMP Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kottabarat, SMPN 4, SMP Bintang Laut dan SMPIT Nurhidayah. Sedangkan lima besar peringkat UN SD berturut-turut ialah SD Muhammadiyah PK Kottabarat, SDN Mangkubumen Lor 15, SD Al-Azhar Syifa Budi, SD Muhammadiyah 3 Nusukan dan SD Takmirul Islam.

Kala melihat dan membaca data tersebut, tentu tidak sedikit dari kita yang terhenyak. Ada dua SMP santri yang bertengger di atas. Lebih telak lagi tingkat SD. Empat SD santri menguasai lima besar dan hanya menyisakan satu tempat untuk sekolah negeri. Satu dekade lalu peristiwa ini tidak mungkin terjadi. Pada saat itu sekolah-sekolah santri adalah sekolah pas-pasan (mediocre school), belum ditangani secara sungguh-sungguh sebagai sarana dakwah yang strategis.

Kala itu tidak mampu menarik minat kalangan kelas menengah muslim. Mereka lebih suka mengirim putra-putri mereka ke sekolah negeri atau sekolah nonmuslim karena dinilai lebih berkualitas. Penting digarisbawahi bahwa gelombang pasang naik sekolah santri bukan hadir secara tiba-tiba. Perjumpaan kaum santri dengan dunia persekolahan di bumi Nusantara ini terentang dalam rajutan sejarah panjang.

Paling tidak telah berlangsung selama seabad. Yang dianggap sebagai lembaga pendidikan santri yang asli di negeri ini adalah pondok pesantren. Secara historis, sebagaimana dikemukakan Nurcholish Madjid (1985:3), pesantren mengandung makna keislaman dan keaslian (indigeneous) sekaligus.

Persentuhan kaum santri dengan dunia persekolahan baru berlangsung pada permulaan abad lalu (baca: XX) yang dipelopori golongan Islam modernis. Ketika KH Ahmad Dahlan (1868-1923) merintis sekolah Islam pertama pada awal abad XX, tidak sedikit kiai tradisional yang menentang, bahkan menuduh kafir.

Dalam perkembangannya, para penentang itu kemudian bisa menerima sekolah sebagai alternatif sistem pendidikan santri, berdampingan dengan madrasah dan pesantren. Karel A. Steenbrink (1994:62-72) melukiskannya dengan kalimat, ”PERTI: menolak  sambil mengikuti di Minangkabau” dan “Nahdlatul Ulama: menolak dan mencontoh di Jawa”.

Laksana gelombang air laut, saat di tengah lautan gulungan ombak begitu besar, namun sesampai di pantai gulungan ombaknya telah jauh mengecil. Pada awalnya, sistem sekolah menunjukkan aura kemajuan ketika dikelilingi pesantren tradisional. Namun ketika seluruh lapisan santri telah menerima dan bersedia menyelenggarakannya, berupa sekolah yang berdiri dalam lingkungan pesantren, kehadiran dunia persekolahan menjadi sesuatu yang biasa.

Hingga dekade 1980-an penampilan sekolah santri tidak menonjol, bahkan cenderung menjadi mediocre school. Memasuki pertengahan dekade 1990-an transformasi pendidikan santri terjadi kembali yang ditandai dengan kehadiran full day school, sekolah seharian. Rupanya momentum lima hari kerja dijadikan peluang oleh kalangan santri untuk mereorganisasi kembali sistem persekolahan.

Hal itu ditandai munculnya model sekolah baru yang tampil elegan, bersih dan berprestasi. Wajah baru ini mengenyahkan gambaran sekolah santri terdahulu yang kumuh, kotor, pas-pasan dan berjalan asal-asalan. Penampilan baru ini pada urutannya mampu menarik perhatian kelas menengah muslim untuk menyekolahkan kembali putra-putri terbaik mereka di sekolah santri.

Bertitik tolak dari alur penjelasan tersebut dapat dipahami konteks keberhasilan sekolah santri dalam arus pendidikan di Indonesia dewasa ini, tidak terkecuali situasi pendidikan di Kota Solo. Sukses sekolah santri yang belakangan ini memasuki masa panen ternyata merupakan hasil dari proses pembenihan yang berlangsung belasan tahun lalu. Dengan demikian, sukses sekolah santri saat ini merupakan buah dari tanaman yang telah dirawat sekian lama dengan penuh kesabaran.

 

Tantangan

Di tengah luapan kegembiraan menikmati buah kesuksesan, penyelenggara maupun praktisi sekolah santri harus segera menyadari bahwa tantangan besar telah menunggu di depan mata. Tantangan paling nyata justru dari kebijakan pemerintah yang bersifat kontraproduktif.  Sekolah santri model baru merupakan sekolah mandiri yang tidak ada pegawai negeri sipil (PNS) dalam jajaran tenaga kependidikannya.

Kemandirian itu tiba-tiba terkoyak oleh sentralisasi tenaga kependidikan melalui nomor urut pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK), sistem data pokok pendidikan (dapodik) dan sertifikasi guru yang kaku dan datar. Contoh: jenjang SD yang diakui dapodik per-kelas itu satu guru. Padahal, sekolah santri dengan full day school pasti lebih dari satu guru setiap kelasnya. Kelebihan guru itu tidak diakui otoritas pendikan dan tidak bisa masuk dalam struktur dapodik.

Menghadapi hambatan demikian, para pengelola sekolah santri berada dalam situasi dilematis. Mengikuti arus kebijakan pemerintah dapat melucuti kekhususan dan keunggalan. Untuk menolak pun tidak tersedia ruang karena berada dalam satu sistem pendidikan nasional. Menghadapi situasi demikian, benar-benar dituntut kehati-hatian, kecerdasan dan kejelian luar biasa. Bila salah memilih ”jalan alternatif” bukan tidak mungkin pasang naik sekolah santri segera berbalik menjadi surut.

Persoalan kedua berkaitan dengan visi dan ketersediaan pendanaan. Penyelenggara sekolah harus memiliki napas panjang yang dibuktikan dengan kemampuan melihat ke depan (visioner) dan kesediaan untuk berinvestasi. Pengelolaan keuangan model keseimbangan finansial, kalau ada sedikit kelebihan segera dibelanjakan atau dibagi-bagikan, harus segera diubah. Di sekolah negeri itu bukan masalah sebab gaji guru dan operasional sekolah ditanggung pemerintah. Sayangnya, tidak sedikit sekolah santri yang ikut-ikutan pola sekolah negeri.



Sebagai catatan akhir, kami ingin menegaskan kembali bahwa proses transformasi sekolah santri yang sekarang ini mulai tampak hasilnya barulah langkah awal. Untuk menyokong tesis ini, pengelola (dan penyelenggara) sekolah harus membekali diri dengan kemampuan membaca dan mencerna tanda-tanda zaman, sekaligus dituntut kejelian memilih jalan-jalan alternatif. Bila kapasitas itu tidak dimiliki, usaha inovasi mudah sekali terhenti. Bekal itulah yang pada akhirnya mampu membedakan apakah gelombang pasang itu benar-benar air laut yang dahsyat, atau hanya buih yang ringkih.   (mohamadalisdmuhpk@ymail.com)

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya