SOLOPOS.COM - Wisnu Prasetya Utomo Peneliti di Indonesian Interdiciplinary Institute. (FOTO/Istimewa)

Wisnu Prasetya Utomo
Peneliti di Indonesian Interdiciplinary Institute. (FOTO/Istimewa)

Dalam dunia politik, tubuh adalah tetenger kekuasaan yang ambivalen. Tubuh merupakan pusat dari seorang subjek politik namun sekaligus menjadi representasi percabangan interaksi dengan kepentingan banyak orang. Ia menjadi medan pertarungan antara kekuasaan “dari dalam” yang penuh ambisi dengan kekuasaan “dari luar” berupa seperangkat aturan, nilai, norma, yang hendak mendisiplinkan.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Tubuh tidak bisa dipandang sebagai realitas biologis semata. Ia kait-mengait dengan realitas psikologis-sosiologis yang membuat seorang subjek politik senantiasa mengonstruksi tubuhnya dalam laku mendapatkan legitimasi politik, ekonomi, dan sosial. Sayangnya, dalam era politik citra, tubuh politik telah menjelma ruang demagogis yang penuh kepalsuan.

Dalam beberapa kali rapat DPR yang ditayangkan televisi, kita menyaksikan wakil rakyat yang tidur, menyaksikan video porno, berargumen dengan kata-kata kasar, bahkan bersama calon Hakim Agung bercanda tentang perkosaan. Kita menyaksikan seorang koruptor meski diputus bersalah oleh pengadilan tetap berani mendongakkan kepala ketika tampil di publik.

Seiring dengan dimulainya kampanye menuju pemilihan umum 2014, kita akan melihat kerja-kerja tubuh politik yang semakin masif. Kerja-kerja yang pada tahap selanjutnya menjadi politik tubuh dan menjejali masyarakat dengan gelembung citra (bubble of images). Melalui kampanye di berbagai media, politisi menebalkan citra dirinya.   

Di tengah gelembung citra, rakyat Indonesia menghayati kearifan Jawa, nrima ing pandum, rame ing gawe. Setiap hari, di mana-mana, masyarakat bekerja keras menghidupi republik. Sementara pemimpin menempatkan dirinya untuk “dilayani” alih-alih “melayani” rakyat, khas negeri autopilot. Maka, kita tersentak ketika Jokowi menghadirkan kembali sosok pemimpin dengan tubuh politik yang otentik. Yaitu ia yang mampu memahami politik sebagai bentuk kebebasan individu sekaligus solidaritas politis antar warga.

Tubuh Jokowi – meminjam istilah Michel Foucault (2008) – adalah bio-politik yang melawan bio-power dominatif. Ia mendobrak citra kepemimpinan yang lamban, angkuh, dan koruptif. Bahkan menjadi shock therapy bagi politisi-politisi dan jajaran birokrasi yang sudah mapan dengan arus utama pola kepemimpinan selama ini.

Banjir besar yang datang tepat di awal kepemimpinannya ibarat blessing in disguise. Selama ini negara memandang bencana dengan pola pikir fatalistik. Tak heran jika solusi pemerintah dalam penanganan bencana selalu terkesan dadakan dan birokratis. Prosedur birokrasi yang rumit semakin membuat bantuan kepada korban datang dalam waktu yang lama.

Namun Jokowi menerabas dinding birokrasi. “Kesialannya” karena menghadapi banjir bandang siklus lima tahunan di awal masa jabatan tidak ia jadikan kambing hitam untuk disalahkan. Ia sambangi warga di pengungsian tanpa menjaga jarak. Ia mandori langsung perbaikan tanggul Latuharhary yang jebol dan membuat air membanjiri Istana Negara.

Banjir semakin menampilkan sosok Jokowi sebagai prisma. Dari prisma ini kita bisa melihat ke berbagai arah yang berlawanan. Kita bisa melihat wajah pemimpin yang progresif dan rutin menjemput bola ke bawah. Pemimpin yang menerobos tetek bengek birokrasi yang rumit. Pun kita menyaksikan wajah rakyat sehari-hari. Wajah yang menampilkan kerja keras namun cair dan melebur dalam kesederhanaan.

Manuver-manuver kepemimpinannya yang kerapkali mengejutkan publik. Ia terus blusukan ke kampung-kampung kumuh di Jakarta. Satu tradisi sejak menjabat walikota di Solo yang bahkan mampu “memaksa” para pejabat lain (bahkan presiden!) untuk mengikutinya. Kata blusukan menjadi demikian populer hari-hari belakangan.

Singkat kata, tubuh politik Jokowi adalah pupuk yang menumbuhkan harapan masyarakat. Ia menjadi simbol nomenklatur “kebersamaan dalam keberagaman”. Kehadirannya di kampung-kampung selalu mendapat sambutan meriah.  Manakala tubuh politik malih rupa menjadi teknologi politik, ia akan mampu menggerakan masyarakat untuk mengakui, percaya, dan melakukan apa yang diperintahkan oleh pemimpin. Gerak Jokowi adalah momentum pemimpin yang menyediakan ruang bagi masyarakat untuk melakukan interaksi dengan sesamanya.

Dalam kultur masyarakat kota besar yang semakin individualistik, kehadiran sosok pemimpin yang mampu mengikat kebersamaan menjadi modal penting untuk melakukan perubahan. Individu mau keluar dari domain privat dan berdialog dalam ikhtiar pencarian solusi problem kehidupan perkotaan. Inilah ruang publik politis yang sesungguhnya. Ruang di mana masyarakat terlibat secara aktif dan kritis dalam pembuatan kebijakan publik maupun regenerasi kepemimpinan.

Euforia masyarakat terhadap Jokowi sebenarnya bukan tanpa persoalan. Kecenderungan munculnya diskrepansi atau gap antara harapan dalam benak masyarakat dengan realitas kinerja Jokowi akan sangat tinggi. Masalah akan muncul begitu Jokowi melakukan berbagai kebijakan yang tidak populer sementara masyarakat berharap keinginannya senantiasa dipenuhi.

Pada titik inilah sebenarnya dibutuhkan titik ekuilibrium untuk menyeimbangkan keduanya. Caranya, dengan memberikan kritik dan masukan yang obyektif. Kritik di awal kepemimpinan Jokowi memang sudah banyak muncul. Sayangnya, kritik tersebut lebih dekat kepada sinisme karena kekalahan dalam pilkada .

Di media sosial misalnya, salah seorang petinggi partai lawan politiknya di pilkada lalu bahkan berkomentar dengan sarkastik. Ia bilang wajah Jokowi mirip dengan mantan vokalis Kangen Band yang kini dipenjara karena bermasalah dengan narkotika. Padahal, kritik-kritik yang obyektif dan substantiflah yang mestinya diberikan kepada Jokowi.

Laku kritik ini diperlukan untuk  “mendisplinkan” tubuh politik agar tetap berjalan dalam koridor pelayanan masyarakat. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya