SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan milkopolo@rocketmail.com Bergiat di Bilik Literasi, Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Muhammad Milkhan  milkopolo@rocketmail.com  Bergiat di Bilik Literasi,  Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Muhammad Milkhan
milkopolo@rocketmail.com
Bergiat di Bilik Literasi, Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Beberapa waktu lalu, saya melihat satu unit mobil mewah dipakir di depan rumah saya. Mobil itu milik salah satu tokoh agama terkemuka di Kota Solo. Warnanya putih, seperti pakaian yang selalu dikenakan oleh si pemilik ketika menghadiri sebuah pengajian. Dari jenisnya, sesuai dengan kekayaan informasi yang saya miliki, mobil itu bermerek terkenal yang harganya jelas ratusan juta rupiah.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Mobil itu mengantarkan si pemilik untuk takziah di rumah ulama terkemuka di Klaten yang hari itu wafat, yang kebetulan juga merupakan tetangga saya. Saya tak habis pikir melihat tokoh agama yang digandrungi banyak orang tersebut memiliki mobil semewah itu dengan pelat nomor yang juga menggunakan inisial namanya. Cukup jelas bagi saya untuk membuat tafsiran status sosial ekonomi tokoh tersebut.

Mobil mewah itu jelas mencerminkan kehidupan yang jauh dari kezuhudan sang tokoh yang seharusnya terpancar dari seorang tokoh agama yang fatwa-fatwanya diikuti banyak orang. Dengan pelat nomor yang disesuaikan dengan inisial namanya, si tokoh terlihat ingin menunjukkan eksklusivitas dirinya dalam sebuah ornamen mobil mewah miliknya. Belum cukup di situ, terkadang bunyi sirene kendaraan polisi yang mengawal si tokoh di beberapa perhelatan pengajian semakin menunjukkan keeksklusifan yang menjadi si tokoh itu.

Pengawalan yang superketat terkadang juga menjadi rutinitas si tokoh ketika hadir di tengah-tengah jemaah. Tokoh agama tersebut semakin menjadi ”barang mewah” bagi jemaah yang mengidolakan dan menanti-nanti setiap kehadirannya. Salah satu tetangga saya yang sering menghadiri majelis pengajian yang sering mengundang si tokoh agama tersebut tergopoh-gopoh ketika tahu sang idola ada di dekat rumahnya.

Secara sepontan dan penuh semangat ia ingin mencium tangan si tokoh agama tersebut, tapi sayang pengawalan beberapa petugas keamanan memupuskan harapannya. Perlu dicatat, tetangga saya tersebut sangat bersemangat sekali ketika mendengar kabar ada pengajian yang menghadirkan si tokoh agama tersebut. Tanpa berpikir panjang, di mana pun tempatnya, tetangga tersebut langsung berangkat untuk menghadiri majelis pengajian tersebut. Mungkin bisa dikatakan tetangga saya tersebut adalah salah satu penggemar berat si tokoh agama yang dikenal sebagai ulama itu.

Tokoh agama yang mampu menyedot massa begitu banyak sering kali lupa bahwa polah tingkah dan segala ornamen yang melekat padanya akan ditiru sedemikian rupa oleh jemaah yang fanatik. Mungkin mobil mewah itu juga yang menginspirasi tetangga saya untuk terus bekerja keras hingga lembur dan bekerja serabutan, bahkan harus pulang sampai larut malam, mulai dari menjadi kuli bangunan hingga pengumpul barang-barang rongsokan.

Si tokoh mungkin lupa bahwa kehadirannya yang semula diniatkan untuk memberikan ceramah agama, ternyata terkontaminasi oleh ornamen-ornamen eksklusif yang ia sertakan, hingga jemaah akhirnya termotivasi meniru gaya hidupnya dan ornamen mahal yang ia kenakan. Kita juga sering melihat di layar kaca, bagaimana seorang ulama dengan santai memamerkan pundi-pundi kekayaanya kepada media.

Mobil yang mewah, rumah yang megah, dengan perabot-perabot yang berharga selangit, dengan santai dipublikasikan ke khalayak umum secara sengaja maupun tidak sengaja. Mereka mungkin lupa bahwa mata yang menatap kemewahan yang dipamerkan seorang tokoh agama merekam dengan jelas kenikmatan duniawi yang berlebih. Kenikmatan kemewahan tersebut tentu akan mencederai empati terhadap masyarakat yang kurang mampu dalam hal ekonomi atau orang-orang miskin.

Si tokoh tersebut juga sering menghadiri dan diundang mengisi pengajian oleh berbagai kalangan. Saya kemudian tertegun, apa sebenarnya yang ada di benak si tokoh agama tersebut? Apa pula maksud di balik kesediaanya menghadiri segala jenis macam hajatan pengajian yang diadakan oleh berbagai macam orang dengan berbagai kepentingan? Mengapa si tokoh agama tidak selektif memilih acara-acara yang mungkin akan dihadiri agar persepsi masyarakat tidak ikut terjebak dalam konotasi negatif?

Keheranan saya ini bukan hanya lantaran berita yang terpampang di media massa semata, namun sering kali saya juga mendengar si tokoh agama tersebut juga bersedia diundang ke acara suksesi kekuasaan politik, kemudian juga sering hadir di acara-acara di pendopo kabupaten, dan masih banyak lagi jenis acara lainnya. Kehadiran si tokoh memang mengesankan bahwa akhirnya semua jenis kalangan masyarakat mulai dari penguasa hingga rakyat jelata mau lebih khusyuk beribadah bersama dalam satu majelis pengajian.

Kalangan pebisnis yang bergerak dalam bidang diskotek atau usaha hiburan hingga calon bupati yang jelas sedang bernafsu dalam ajang politik praktis, akhirnya juga mau untuk mengadakan majelis pengajian ala si tokoh agama. Tapi, pernahkah si tokoh agama tersebut berpikir bahwa kharismanya yang mampu menyedot ribuan orang telah dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk suatu kepentingan pribadi?

Kehadiran si tokoh agama yang mampu menjadi magnet bagi ribuan orang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengubah asumsi publik yang selama ini menyudutkan pihak tertentu. Beberapa orang tersebut merasa perlu menghadirkan si tokoh agama untuk sebuah pencitraan yang baik dan religius. Kemudian kehadiran tokoh agama tersebut dimaknai sebagai bentuk pertobatan seorang penguasa dan pengusaha yang selama ini mendapatkan citra buruk di tengah masyarakat.

 

 

Waris Nabi

Saya kemudian menduga kecurigaan Al-Ghazali yang pernah disebutkan oleh K.H. Mustofa bisri (2010) akhirnya muncul juga. Setidaknya Al-ghazali dan para muhaqqiq menyebut ada dua kategori ulama, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia atau ulama suu’ berbeda dengan ulama akhirat (yang disebut dalam Q.S. 35: 28 sebagai innamaa yakhsaLlaaha min ‘ibaadihi ‘l-Ulamaa). Ulama dunia adalah mereka yang menggunakan ilmunya bukan lilahi ta’alaa, hanya karena dan untuk hal-hal lain yang bersifat duniawi, termasuk untuk mencari kedudukan di hadapan umat dan penguasa serta mencari popularitas dan lain sebagainya.

Sedang ulama yang disebut sebagai ulama akhirat adalah ulamayang benar-benar waratsatul anbiyaa, tentunya mereka yang memang mewarisi di samping semangat perjuangannya menegakkan kebenaran, juga-sikap dan perilaku para nabi. Para nabi mempunyai cirri dominan yang seharusnya juga diwarisioleh para pewarisnya, yaitu antara lain : takwa kepada Allah; penuh kasih sayang terhadap umat dan menjadi contoh yang baik untuk mereka; menegakkan kebenaran dan menyatakan yang hak.

Dengan selalu menampakkan kemewahan, seorang ulama telah gagal menjadi waris nabi yang baik. Kemewahan yang selalu ditampilkan justru membuat jarak dengan umat semakin tampak jelas. Kemesraan yang seharusnya terjalin antara ulama dengan umat akhirnya menjadi barang yang mahal dan langka. Eksklusivisme kehadiran seorang ulama di suatu majelis juga menjadikan seorang ulama adalah barang mewah yang sulit digapai jemaah.

Jalaluddin Rumi dalam Fihi Ma Fihi yang diterjemahkan A.J. Arberry (2002) menyatakan Nabi Muhammad SAW, pernah bersabda, ”Cendekiawan terburuk adalah mereka yang mengunjungi pangeran, dan pangeran terbaik adalah mereka yang mengunjungi para cendekiawan. Bijaksanalah pangeran yang berdiri di depan pintu kaum miskin, dan terkutuklah si miskin yang berdiri di depan pintu pangeran.”

Cendekiawan yang dimaksud di atas tentu boleh kita asumsikan sebagai orang yang menguasai salah satu bidang ilmu, dalam konteks ini cendekiawan kita asumsikan sebagai seorang ulama yang menguasai ilmu agama. Menyimak makna harfiah dari sabda Rasulullah tersebut, kita tentu patut curiga bahwa kehadiran seorang ulama yang mengunjungi seorang penguasa atau orang berpangaruh menjadi indikasi perilaku buruk seorang ulama.

Ulama yang demikian mungkin terbuai dalam harapan bahwa sang penguasa atau pengusaha akan memberi mereka hadiah-hadiah, kecukupan materi, menaikkan derajat ulama, dan akan mempromosikan mereka untuk memperoleh jabatan yang layak dalam suatu pemerintahan. Mungkin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya