SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro epsums@lycos.com Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Edy Purwo Saputro  epsums@lycos.com  Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Edy Purwo Saputro
epsums@lycos.com
Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tuntutan upah buruh di Soloraya yang mencapai Rp3 juta per bulan yang menurut mereka sesuai kebutuhan hidup layak menarik dicermati (Solopos, 15 September 2013). Paling tidak, argumentasi mendasar dari tuntutan tersebut tidak hanya mengacu aspek kepentingan buruh tapi juga dunia usaha.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Oleh karena itu, sangat beralasan jika penetapan besaran upah cenderung memicu kontroversi karena ada dua kepentingan yang sulit dipersatukan. Realitas ini menunjukan bahwa penetapan besaran upah menimbulkan konflik.

Sangatlah beralasan jika tiap tahun setelah penetapan besaran upah, baik upah minimum kabupaten/kota atau upah minimum provinsi, selalu diikuti dengan penyampaian keberatan dari para pengusaha.

Jika dicermati, mekanisme pengajuan keberatan memang dimungkinkan menurut regulasi, meski proses penilaian kelayakan dari pengajuan keberatan tersebut tetap mendapat pengawasan dari pihak terkait.

Artinya tidak semua dunia usaha bisa mengajukan keberatan terkait penetapan besaran upah buruh, begitu juga tidak semua pengajuan keberatan dapat disetujui. Oleh karena itu, sebenarnya pemerintah juga harus saksama dalam melihat persoalan terkait penetapan besaran upah.

Hal ini menunjukan bahwa kenaikan besaran upah tiap tahun tentu juga diperhitungkan dengan berbagai aspek, termasuk salah satunya adalah aspek kebutuhan hidup layak.

Sinergi

Yang justru menjadi pertanyaan adalah berapa besaran upah yang layak? Mungkin yang juga perlu dipertimbangkan adalah penetapan upah yang rasional karena pertimbangan upah layak dan upah rasional sedikit berbeda.

Penetapan upah rasional cenderung lebih melihat semua aspek riil yang terkait dengan penetapan kebutuhan hidup layak. Dalam penetapan upah rasional laju inflasi dan faktor-faktor lain juga diperhitungkan.

Artinya, penetapan besaran upah rasional mungkin lebih besar dibandingkan dengan penetapan besaran upah layak. Jika upah rasional bisa diterima, mungkin para pengusaha semakin keberatan dan akhirnya tidak ada lagi titik temu dari dua kepentingan yaitu dari kalangan buruh dan dari dunia usaha.

Memang tidak mudah untuk menentukan besaran upah dan karenanya sangat beralasan jika di Jakarta kaum buruh menuntut besaran upah mencapai Rp3,7 juta per bulan, sedangkan di Solo mencapai Rp3 juta per bulan.

Perbedaan di setiap kota/kabupaten tentu sangat beralasan karena faktor dan variabel yang menjadi perhitungan juga sangat bervariasi. Tidak mungkin upah buruh di Solo sama besarnya dengan upah buruh di Jakarta.

Meski demikian, batasan minimal untuk setiap kota/kabupaten atau provinsi pasti sudah ditentukan. Ketika upah buruh terlalu rendah, tentu ini akan sangat meresahkan kalangan buruh. Begitu juga sebaliknya, ketika upah buruh semakin tinggi maka akan berpengaruh terhadap dunia usaha.

Meskipun era upah buruh rasional memang relevan, tapi upah masih tetap menjadi persoalan serius di era industrialisasi. Oleh karena itu, persoalan tentang upah buruh menjadi salah satu isu penting dan juga sensitif terhadap daya tarik investasi.

Relevan dengan besaran penetapan upah buruh, semakin tinggi nilainya maka akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan buruh.

Secara teoritis konseptual, jika kesejahteraan buruh meningkat maka akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan begitu juga sebaliknya. Padahal, kondisi buruh saat ini juga masih sangat rentan jika dikaitkan dengan model outsourcing atau alih daya yang cenderung tidak menimbulkan kepastian.

PHK

Artinya, ketika situasi ekonomi makro tidak kondusif, termasuk misalnya terjadi fluktuasi nilai mata uang dan cenderung memicu krisis, ancaman terjadinya pemutuhan hubungan kerja (PHK) untuk buruh outsourcing menjadi semakin besar.

Oleh karena itu, buruh yang produktif tetap riskan untuk terkena PHK dan situasi seperti ini justru memicu ketidaknyamanan kerja. Persoalan lain jika upah buruh semakin tinggi adalah keberatan dari dunia usaha.

Dengan situasi fluktuasi mata uang seperti saat ini yang berpengaruh terhadap nilai pasokan bahan baku dan meningkatnya biaya produksi, besaran upah buruh tentu akan menambah beban bagi dunia usaha.

Sekali lagi, kini memang era upah buruh murah sudah tidak berlaku dan mungkin hanya China yang masih berkutat dengan upah buruh murah karena ketersediaan tenaga kerja yang melimpah.

Namun, bukan berarti lalu situasi ini memberikan kesempatan bagi dunia usaha untuk membayarkan upah buruh sesuai besaran yang ditetapkan. Situasi dari masing-masing usaha tentu berbeda dan perbedaan ini tidak bisa digeneralisasi.

 



Yang juga menarik dicermati terkait konflik penetapan besaran upah adalah ketika upah dipaksakan nominalnya. Ketika dunia usaha dihadapkan dengan situasi ini, ada dua pilihan yang bisa dilakukan.

Pertama, mengurangi kapasitas produksinya. Kedua, merasionalisasi pekerjanya. Mengurangi kapasitas produksi tentu berpengaruh terhadap take home pay yang diterima buruh.

Artinya, jika tidak ada PHK, itu adalah pilihan bijaksana yang mungkin dapat dilakukan dunia usaha, terutama jika dikaitkan dengan kondisi krisis saat ini yang berpengaruh terhadap tingginya harga bahan baku dan juga rendahnya daya beli konsumen.

Pilihan yang kedua ketika merasionalisasi pekerja tentu berpengaruh terhadap jumlah buruh yang di-PHK. Sampai semester kedua tahun 2013 ini, jumlah buruh yang di-PHK, terutama dari industri tekstil dan produk tekstil, telah mencapai 60.000 orang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Jika krisis terus berlanjut dan tidak ada kesesuaian dengan besaran upah, ancaman PHK akan semakin besar. Fakta ini diperkuat data Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau Apindo bahwa selama semester awal tahun 2013 lalu telah terjadi PHK terhadap 44.000 orang di bidang usaha alas kaki yang memang padat karya.

Jika penetapan besaran upah di tahun 2014 semakin tinggi dan di luar kemampuan dunia usaha maka PHK akan semakin besar. Upah minimum rasional meniscayakan sinergi antara buruh dan pengusaha. Tentu jalan dialog dengan kepala dingin menjadi keniscayaan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya