SOLOPOS.COM - Dwi Munthaha (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Jika  aral tak melintang, Ganjar Pranowo akan resmi berkontestasi menjadi calon presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pengusungnya adalah satu-satunya partai politik yang berhak mencalonkan presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain.

Perolehan suara PDIP pada Pemilu 2019 yang sebesar 22,26% (128 kursi DPR) adalah modal dari hak tersebut. Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menyatakan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

PDIP termasuk  dari sedikit partai politik yang sering dinyatakan sebagai partai kader dan ideologis. Kecenderungan partai kader hanya memiliki sedikit massa (Ichlasul Amal, 1988), tidak terjadi pada PDIP. Meski pernah kalah, PDIP adalah partai politik yang berkali-kali memenangi pemilu pascareformasi.

Ciri khas partai kader dan ideologis adalah soliditas pendukungnya. Sayangnya, cukup rumit untuk mengukur indikator soliditas partai politik pada pemilihan presiden. Variabel konkret untuk menilainya adalah hasil pemilihan kepala daerah atau pilkada.

Keterbatasan

Terpilihnya Ganjar Pranowo menjadi gubernur Jawa Tengah pada dua periode jabatan adalah indikator soliditas partai politik. Di bawah komando Megawati Soekarnoputri,  PDIP Jawa Tengah belum pernah kalah di pilkada provinsi.

Siapa pun calon gubernur Jawa Tengah yang diusung PDIP selalu mampu memenangi kontestasi. Ganjar Pranowo pada pertarungan pilkada Jawa Tengah periode awal menaklukkan petahana yang pada  pilkada sebelumnya diusung oleh PDIP.

Soliditas PDIP ditunjukkan dengan sangat efektif. Penguasaan kursi parlemen paralel dengan keterpilihan kepala daerah. Hal serupa tidak terjadi di wilayah basis PDIP lainnya, seperti Provinsi Bali.

Meski mendominasi  kursi parlemen, PDIP pernah gagal pada pilkada 2013 di Bali.  Petahana yang pada pilkada sebelumnya didukung PDIP, mengalahkan kandidat gubernur dari PDIP pada saat itu.

Lain halnya dengan pemilihan presiden, soliditas partai politik tidak cukup untuk menang. Tidak satu pun partai politik mendapatkan suara mayoritas. Angka tertinggi pernah diraih PDIP pada Pemilu 1999.

Ketika itu penguasaan kursi parlemen mencapai 33%. Setelah itu tidak satu pun partai politik pemenang pemilu mampu menembus 23% perolehan kursi. Dengan perolehan tersebut, partai politik tanpa berkoalisi akan sulit menang.

Pilihan dengan banyak koalisi juga tidak selalu menjamin kemenangan. Sejak pemilihan presiden dilakukan dengan cara pemilihan langsung,  PDIP pernah dua kali gagal.  Soliditas partai politik tidak disertai dengan koalisi yang efektif.

Pada pemilihan presiden tahun 2004,  Megawati sebagai petahana presiden dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bawahannya di kabinet. Kekalahan tersebut konon membekaskan luka dalam bagi Megawati hingga saat ini.

Beberapa peristiwa politik kala itu menjadi drama publik yang membingkai SBY sebagai calon pemimpin yang layak, namun dimarginalkan oleh kekuasaan. Drama-drama politik yang terpublikasi melalui media massa berhasil melambungkan popularitas SBY.

Teknokratis Pragmatis

Sejak pemilihan presiden tahun 2014, elemen relawan telah menjadi fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Fenomena ini dimulai dari pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012.

Joko Widodo (Jokowi) dan pasangannya Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) meski hanya diusung oleh PDIP dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mampu memenangi kontestasi melawan petahana yang didukung banyak partai politik.

Saat itu banyak warga Jakarta yang secara mandiri berpartisipasi untuk kerja-kerja pemenangan Jokowi-Ahok.  Terhimpunnya banyak relawan tak lepas dari citra Jokowi. Ia tercitrakan kerakyatan, berasal dari keluarga sederhana, dan dinilai berhasil sebagai Wali Kota Solo.

Popularitas Jokowi terbentuk dari keinginan pragmatis rakyat yang membutuhkan pemimpin yang lebih mementingkan tindakan ketimbang retorika. Jokowi memiliki cara berkomunikasi yang sederhana, namun dapat menyentuh apa yang diiinginkan sebagian besar rakyat.

Cara tersebut mampu membentuk ikatan emosional dan kohesi sosial yang kuat di antara pendukungnya. Setelah memenangi pemilihan gubernur DIK Jakarta, popularitas Jokowi semakin melambung. Ketika namanya mulai muncul dalam bursa calon presiden untuk Pemilu 2014, posisi tertinggi dengan cepat dia peroleh.

Atas alasan itulah PDIP mencalonkan Jokowi sebagai kandidat presiden. PDIP  yang hanya berkoalisi dengan tiga partai politik lainnya pemilik kursi di DPR berhadapan dengan koalisi besar tujuh partai politik.

Popularitas Jokowi terarah pada terbentuknya populisme pragmatis-teknokratis (Marcus Mietzner, 2015).  Populisme ini merupakan konsep politik yang menggabungkan elemen-elemen populisme dengan kecenderungan kebijakan yang didasarkan pada prinsip-prinsip teknokrasi.

Harapan sebagian besar rakyat tentang perubahan taraf hidup yang lebih baik menemukan kesesuaian dengan populisme tersebut. Populisme itu berhadapan dengan populisme ultranasionalis yang dibawakan Prabowo Subianto.

Menurut Mietzner, populisme yang diusung Prabowo cenderung mengarah pada ketidakpuasan terhadap sistem dan menyebar rasa tidak percaya terhadap elite. Pada kenyataannya, populisme ini sulit diperankan oleh Prabowo karena dia sendiri bagian dari elite.

Modal politik yang khas Jokowi belum dapat ditemukan pada elite-elite politik yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024 mendatang. Dukungan soliditas partai politik dan populisme teknokratik yang terbentuk dari citra diri merupakan modal utama kemenangannya.

Ganjar Pranowo yang sering diasosiasikan sebagai ”penerus Jokowi” masih harus berjuang keras untuk menyamakan citra dirinya dengan Jokowi. Prabowo Subianto setelah bergabung dalam koalisi partai politik pendukung pemerintah menunjukkan banyak perubahan citra untuk mendekati sosok Jokowi.



Berbeda dengan Anies Baswedan yang sedari awal disebut sebagai antitessi Jokowi. Ia  cenderung mengikuti cara Prabowo pada pemilihan presiden tahun 2014 dan 2019. Faktor Jokowi menjadi variabel penting dalam Pemilu 2024.

Masih banyak masyarakat berharap presiden dengan citra diri yang sama dengan Jokowi. Ketika Presiden Jokowi cawe-cawe dan menyatakan dukungannya kepada salah satu calon presiden, publik memiliki persepsi sendiri tentang siapa calon presiden yang memiliki kedekatan dengan citra Jokowi. Pilihan tersebut bukan tidak mungkin akan berbeda, sekalipun Jokowi telah menyatakan dukungannya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Juli 2023. Penulis adalah anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia atau AIPI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya