SOLOPOS.COM - Christianto Dedy Setyawan (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Majunya pendidikan suatu bangsa berkaitan erat dengan kemajuan negara tersebut. Kurikulum menjadi aspek vital yang berpengaruh besar terhadap arah gerak pendidikan yang hendak dicapai.

Sepanjang republik ini berdiri, pergantian kurikulum telah dialami lebih dari 10 kali. Dinamika kehidupan bangsa dan tantangan global yang dihadapi menjadi alasan mengapa kurikulum harus berubah. Pada era terkini, Kurikulum Merdeka diluncurkan oleh Kemendibudristek guna menyikapi upaya pemulihan pembelajaran, pendalaman konsep, dan penguatan kompetensi.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Apa yang membedakan kurikulum yang baru ini dengan Kurikulum 2013 tentu lazim menjadi hal yang diperbincangkan masyarakat. Dari berbagai pembahasan Kurikulum Merdeka di berbagai media massa, ihwal gelar karya menjadi topik yang relatif tidak sering dibahas. Hal ini patut disayangkan mengingat gelar karya memiliki porsi penting dalam mengoptimalkan kemampuan peserta didik.

Kurikulum Merdeka berbicara tentang peningkatan kompetensi dan penguatan profil pelajar Pancasila. Hal tersebut tidak akan dicapai melalui formula pembelajaran yang terdahulu. Perubahan kurikulum menuntut cara pengajaran yang lebih presisi dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh peserta didik. Pembelajaran berbasis proyek dalam Buku Saku Tanya Jawab Kurikulum Merdeka yang diedarkan oleh Kemendikbud akan bermuara pada proses yang diimplementasikan peserta didik dengan produk yang dihasilkan.

Pada akhir 2021 lalu, Komisi Masa Depan Pendidikan The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) merilis laporan berjudul Reimagining Our Futures Together. Laporan itu menekankan sistem pendidikan yang baru harus menjamin solidaritas, welas asih, etika, serta empati yang tertanam dalam desain kegiatan belajar.

Hal ini serupa dengan apa yang disampaikan dalam Kurikulum Merdeka bahwa pencapaian peserta didik tidak lagi sebatas kemampuan individu dan nilai di atas kertas. Kemampuan peserta didik dalam berkoordinasi, berkolaborasi, dan beretika positif dikedepankan untuk dicapai.

Hal ini masih ditambahkan dengan karakter yang dibangun dalam profil pelajar Pancasila meliputi beriman, bertakwa kepada Tuhan, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong-royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Pembelajaran berbasis proyek mencakup penguatan karakter dan profil pelajar Pancasila melalui aneka asesmen yang dilakukan oleh guru.

Jika kita merefleksi pembelajaran pada tahun-tahun terdahulu, lembar kerja siswa (LKS) di setiap mata pelajaran menyimpan bahaya laten. Dengan mengerjakan LKS, kemampuan individu siswa dapat terukur, namun lain halnya dengan kemampuan sosialnya. Asesmen berbasis kelompok memang bukan hal asing di dunia pendidikan, tetapi intensitas kemunculannya terkadang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah asesmen individu.

Produk Peserta Didik

Paradigma inilah yang turut dibenahi di Kurikulum Merdeka. Mekanisme agar kompetensi masing-masing individu mampu optimal disertai bertumbuhnya karakter positif berdasarkan nilai-nilai Pancasila dijalankan melalui project based learning. Nantinya, mekanisme ini melahirkan produk hasil karya peserta didik.

Setiap mata pelajaran dengan capaian pembelajarannya masing-masing memiliki kekhasan yang akan berkaitan dengan produk yang dihasilkan. Misalnya dalam pembelajaran Sejarah, peserta didik secara berkelompok membuat peta rute perjalanan bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) saat pertama kali tiba di Nusantara.

Jika sebelumnya peserta didik lebih condong pada penguasaan materi pengetahuan alias hafalan seputar Alfonso d’Albuquerque, Ferdinand Magelhaens, dan Cornelis de Houtman, kini mereka diajak untuk mewujudnyatakan teori yang mereka pahami ke dalam media dua dimensi. Aspek kompetensi diperoleh, sedangkan aspek penguatan profil pelajar Pancasila seperti bergotong-royong, bernalar kritis, dan kreatif pun turut didapati.

Gelar karya akan berbicara banyak saat hasil karya kelompok-kelompok peserta didik berbagai mata pelajaran disajikan dalam pameran gelar karya yang terbuka untuk masyarakat umum. Kita dapat membayangkan produk yang dipamerkan mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia berupa antologi puisi. Lalu Seni Tari diwakili oleh video praktik tari tradisional dari peserta didik secara berkelompok. Atau, Prakarya dan Kewirausahaan diwakili oleh aneka produk masakan hasil kreasi kelompok peserta didik.

Selama ini, hasil karya peserta didik dalam wujud penugasan pada umumnya berakhir di meja guru atau dikembalikan kepada peserta didik setelah dinilai. Dengan adanya gelar karya, peserta didik akan merasa diapresiasi atas usahanya selama pembuatan proyek bergulir.

Publik atau orang tua peserta didik yang datang ke sekolah guna menyaksikan gelar karya pun turut memahami kemampuan putra-putrinya. Mereka juga tahu betul mengenai hal apa yang diajarkan di sekolah serta hasilnya yang nyata. Orang tua tidak lagi hanya berfokus pada nilai angka dalam rapor akhir melainkan juga mengarahkan pandangan pada proses yang selama ini dijalani anaknya di sekolah.

Gelar karya mengakomodasi aspek kemerdekaan dalam diri peserta didik. Dalam hal berkreasi dan berimprovisasi, peserta didik menuangkannya ke dalam produk. Potensi kolaborasi antarmata pelajaran dalam menginstruksikan proyek juga terbuka lebar sehingga ranah kreativitas peserta didik kian terbuka lebar.

Peserta didik yang menikmati implementasi kurikulum yang dijalankan menjadi kunci terselenggaranya proses pendidikan secara menyenangkan. Mengutip tulisan Timothy D. Walker dalam buku Teach Like Finland, kebahagiaan mampu membawa kegiatan belajar menjadi hidup dan abadi.

Esai ini ditulis oleh Christianto Dedy Setyawan, guru Sejarah di SMA Regina Pacis Surakarta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya