SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Dalam  soal geleng-geleng kepala, saya mendahului Moh. Mahfud Md. yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan sekaligus Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Jauh mendahuluinya jika ukurannya saat rapat kerja antara Komisi III DPR dan Moh. Mahfud Md.  pada Rabu (29/3/2023). Saat itu, Mahfud Md. geleng-geleng kepala mendengar pendapat Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Bambang menanggapi permintaan Mahfud agar DPR mendukung Undang-undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Saat itu Bambang mengajatakan jika memakai e-wallet yang maksimal isinya cuma Rp20 juta, para anggota DPR tidak akan bisa terpilih kembali di pemilihan umum.

“Kalau ada pembatasan uang kartal, [anggota] DPR ini nangis semua,” kata Bambang. Geleng-geleng kepala itu  menggoyang-goyangkan kepala ke kiri dan kanan. Setidaknya, dalam konteks Indonesia, geleng-geleng kepala mempunyai dua makna.

Pertama, pertanda heran atau takjub. Saat kita secara spontan geleng-geleng kepala dan berucap ”luar biasa!” itu berarti geleng-geleng kepala dalam pengertian positif. Kedua, untuk menunjukkan  ketidaksetujuan atas pendapat lawan bicara atau geleng-gelang kepala dalam pengertian negatif.

Saya menduga geleng-geleng kepala Mahfud Md. saat mendengar pendapat Bambang Pacul masuk dalam kategori  negatif, meski Mahfud mencoba memperhalus bahasanya saat ia mengatakan ucapan Bambang Pacul sebagai ”guyonan”.

Melihat paradoks  politik di negeri ini saya sering geleng-geleng kepala.  Pertama, pada 12 hari setelah diselenggarakan pemilu  serentak 17 April 2019. Pada 29 April 2019, saya geleng-geleng kepala keheranan membaca berita Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, menyatakan presiden menyetujui pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Kok bisa? Saya masih tidak percaya pada  berita tersebut. Mana mungkin, rencana besar, dengan implikasi besar, tidak menjadi bagian dari visi, misi, dan program yang secara resmi dilaporkan oleh Joko Widodo dan Ma’ruf Ma’ruf Amin saat berpasangan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden kepada KPU.

Saya menggali informasi di Internet, siapa tahu pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin pernah berjanji saat kampanye tentang rencana pemindahan ibu kota negara. Tidak satu ada satu berita pun tentang itu. Saya sangat prihatin.

Ini bukan persoalan setuju atau tidak, namun soal etika publik dalam berdemokrasi. Kejadian ini akan menjadi preseden dan berulang. Mestinya, secara gentleman Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menyampaikan secara terbuka rencana tersebut dalam dokumen visi dan misi.

Bukan justru menyembunyikan untuk kepentingan elektoral. Ini sama saja dengan nglimpekke rakyat. Dugaan saya, jika Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menyampaikan rencana pemindahan ibu kota negara sebelum pemilihan presiden pada 2019,  pasangan tersebut tidak menjadi pemenang.

Karena itulah, dalam beberapa kesempatan, saya mengatakan meskipun pemindahan ibu kota negara telah disetujui DPR melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, tetap saja pemindahan  ibu kota negara tersebut  cacat permanen secara etika politik.

Kedua, saya geleng-geleng kepala saat  DPR  menyetujui revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peresetujuan disampaikan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019). Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK itu bermuatan untuk melemahkan KPK agar korupsi bisa lebih leluasa.

Pembahasan sangat singkat. DPR  mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019. Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 12 hari hingga akhirnya revisi UU KPK  disahkan. Yang lebih membuat geleng-geleng kepala, upaya revisi UU KPK tersebut ditolak berbagai kalangan.

Para mahasiswa turun ke jalan, yang melibatkan kampus di seluruh tanah air. Gerakan tanda pagar #ReformasiDikorupsi viral di dunia maya. Unjuk rasa menimbulkan korban jiwa, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, meninggal. Randi dan Yusuf Kardawi meninggal karena mengikuti unjuk rasa penolakan revisi UU KPK.

Mereka meninggal saat berdemonstrasi di depan Kantor DPRD Sulawesi Tenggara pada 26 September 2019. DPR bergeming. DPR tidak mendengarkan suara rakyat, seolah-olah fungsi telinga sudah rusak atau sengaja ditutupi. DPR itu kepanjangannya apa? Apakah mereka tidak paham tugas dan tanggung jawab mereka?

Mengemuka berbagai suara dan aspirasi rakyat, namun tidak seorang pun anggota DPR yang mengartikulasikan dalam rapat-rapat. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera hanya memberikan catatan kecil yang sama sekali tidak memengaruhi legalitas revisi tersebut.

Firli Bahuri

Ketiga, saya geleng-geleng kepala saat Firli Bahuri terpilih menjadi Ketua KPK masa bakti 2019–2023. Luar biasa. Firli Bahuri memperoleh kepercayaan penuh dari Komisi III DPR. Dalam agenda pemilihan pemimpin KPK masa bakti 2019-2023, tanggal 13 September 2019, dengan 10 orang calon, terpilihlah lima orang.

Firli memperoleh 56 suara dari 56 anggota komisi hukum yang hadir dalam rapat tersebut. Calon lainnya yang terpilih adalah Alexander Marwata memperoleh  53 suara,  Nawawi Pomolango  50 suara, Nurul Ghufron 51 suara, dan Lili Pintouli Siregar 44 suara. Kemudian, secara aklamasi, Komisi III menyepakati Firli bahuri untuk menjadi Ketua KPK.

Adakah persekongkolan seluruh partai politik mendukung Firli Bahuri? Patut diduga, seperti yang dikemukakan Indonesia Corruption Watch (ICW), masuknya Firli Bahuri menjadi unsur pimpinan KPK adalah bagian dari persekongkolan sistematis untuk melemahkan KPK. Secara etis Firli bermasalah, tapi justru memperoleh kepercayaan penuh dari DPR dan partai politik.

Dugaan itu terkonfirmasi dalam perjalanan kepemimpinan Firli. Penuh ontran-ontran tidak produktif. Orang-orang terbaik disingkirkan dengan modus tuduhan  tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Firli kini dilaporkan banyak pihak karena diduga membocorkan dokumen penyelidikan.

Diduga kuat semua itu by design oleh DPR sehingga atas kasus dugaan pembocoran dokumen tersebut Komisi III DPR juga tidak berbuat apa-apa dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan. Setelah itu, kepala saya malas geleng-geleng.

Lahirnya berbagai undang-undang kontroversial, seperti Undang-undang Cipta Kerja, Undang-undang Mahkamah Konstitusi, Undang-undang Mineral dan Batu Bara dan sebagainya tanpa pelibatan partisipasi publik secara optimal kian membuktikan keberadaan DPR itu hanya formalitas.

Hakikatnya mereka tidak menjadi wakil rakyat. Maka,  Mahfud Md. geleng-geleng kepala itu terlambat, namun itu  masih lebih baik daripada ”menikmati” kondisi absurd ini. Pripun, Pak Presiden?



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 April 2023. Penulis adalah kader Muhammadiyah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya