SOLOPOS.COM - M. Fathul Anwar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Isu gender selalu menjadi isu penting di berbagai bidang. Saat ini kesetaraan gender benar-benar menjadi agenda global yang tertuang pada program Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 program yang berlaku bagi negara berkembang.

Isu kesetaraan gender selalu menuai kontroversi antara yang pro dan kontra. Perdebatan tentang isu tersebut selalu terkurung wacana perempuan sebagai makhluk yang lemah, budaya patriarki, dan memandang perempuan hanya menjadi pendamping laki-laki serta sebagai pengurus kebutuhan rumah tangga.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Rata-rata dalam lingkungan masyarakat awam, kodrat perempuan selalu berada pada tataran orang kedua dalam lingkungan sosial. Perdebatan kesetaraan di negara berkembang terus tercipta karena budaya patriarki dalam lingkungan keluarga mapun lingkungan sosial mendeskripsikan dan mendiskreditkan perempuan pada segala bidang.

Jika ditelusuri secara teliti dan cermat, perempuan memiliki andil dan kontribusi di segala bidang. Salah satunya adalah peran perempuan di sektor pertanian. Dalam mengukur pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN) menggunakan indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index (HDI).

Indeks ini mengukur kualitas hidup masyarakat berdasarkan dimensi harapan hidup, pendidikan, dan standar hidup dari negara di seluruh dunia. HDI dapat digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang.

Pada 2022 nilai HDI Indonesia adalah 0,750, menempatkan Indonesia di posisi ke-114 dari 191 negara di dunia. Angka HDI Indonesia tersebut akan menurun apabila unsur ketidaksetaraan gender dimasukkan. Gender development index (GDI) adalah indikator untuk mengukur pembangunan di antara laki-laki dan perempuan.

Nilai GDI adalah perbandingan nilai HDI perempuan terhadap nilai HDI laki-laki. Indonesia pada 2022 memiliki nilai GDI sebesar 0,87 dengan angka HDI bagi laki-laki 0,70 dan angka HDI bagi perempuan lebih rendah, yaitu 0,61.

Nilai tersebut menunjukkan perempuan tidak memperoleh level pembangunan manusia yang sama dengan laki-laki. Keterlibatan peran perempuan dalam pembangunan pertanian Indonesia dapat ditunjukkan dari kontribusi tenaga kerja perempuan di sektor pertanian.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk bekerja di Indonesia (usia 15 tahun ke atas) mencapai 135,3 juta jiwa pada Agustus 2022. BPS mencatat sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan terbesar dengan total 38,7 juta jiwa.

Terdapat 30% angkatan kerja perempuan Indonesia atau sekitar 13,7 juta perempuan yang menggantungkan hidup di sektor pertanian dan diperkirakan akan terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk. Fakta keterlibatan perempuan dalam pertanian di Indonesia tidak dapat dimungkiri lagi dan seharusnya tidak dipandang sebelah mata.

Kontribusi perempuan dalam pembangunan sektor pertanian tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Pembangunan pertanian secara umum memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional.

Peran penting ini ditunjukkan oleh peran dalam pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan.

Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan menuju pembangunan pertanian berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep dasar dalam pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling berkesinambungan.

Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial tanpa mengorbankan lingkungan. Kaitan dengan gender, pembangunan diharapkan mewujudkan masyarakat (laki-laki dan perempuan) yang adil dan sejahtera. Pada kenyataannya pembangunan belum memberi manfaat secara adil kepada perempuan dan laki-laki.

Pembangunan yang tidak merata memberikan kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Hal yang tidak kalah penting adalah terkait kondisi ekonomi terutama gap tentang pendapatan antara laki-laki dan perempuan.

Meskipun peran nyata perempuan dalam pembangunan pertanian cukup besar, hal tersebut tidak diimbangi pendapatan atau upah yang lebih baik. Perempuan petani diberi upah dan jam kerja yang sedikit karena penilaian fisik.

Curahan waktu kerja perempuan di pertanian umumnya tidak menentu karena tenaga kerja dibutuhkan hanya pada aktivitas pertanian tertentu yang dianggap cocok untuk mereka. Bisa dibayangkan kesulitan mereka mempertahankan keberlanjutan nafkah.

Tantangan upah yang layak perlu menjadi bahan kajian utama dan seharusnya diadvokasi lebih lanjut kepada pemerintah agar nanti mewujudkan pemerataan yang sempurna, terutama upah perempuan petani yang bekerja pada subsistem pengelolahan maupun pada sektor industri.

Target swasembada pangan yang didengungkan pemerintah saat ini menjadi tantangan bagi keterlibatan perempuan. Pemerintah seharusnya membuka akses yang luas pada aspek keterlibatan perempuan dalam pertanian.

Lahan-lahan pertanian yang dapat digarap dengan target luas lahan serta kuantitas produksi yang lebih seharusnya membuka peluang bagi perempuan untuk turut aktif dalm proses produksi.

Kreativitas, keterampilan, hingga kekuatan diri perempuan bisa dilibatkan dalam proses budi daya pertanian guna mencapai tujuan swasembada pangan sekaligus pemberdayaan peran perempuan. Oleh karena itu, penting mengawal kebijakan ini menjadi kebijakan yang realistis dalam proses penerapannya dengan mempertaruhkan kredibilitas pemerintahan.

Tentu disertai dengan program-program turunan yang seharusnya mendukung peran perempuan dalam kebijakan tersebut. Program pertanian dari pemerintah mengemukakan tantangan untuk terus mengadvokasi hak perempuan serta mendorong perempuan memperjuangkan hak-hak yang setara, upah yang layak, kesehatan, pendidikan, modal, dan minimal perempuan mempunyai kekuatan membuat keputusan yang berkaitan dengan kesetaraan perempuan petani.

Pentingnya kontribusi perempuan memberikan implikasi bahwa tantangan  membangun ekonomi, khususnya pembangunan ekonomi sektor pertanian (agribisnis), perlu melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan.

Pembangunan ekonomi pertanian membuka peluang perempuan untuk terlibat lebih jauh. Keterlibatan yang dimaksud adalah jika selama ini perempuan selalu sulit mengakses informasi, keuangan, lahan, maupun sumber daya lain maka dengan pertanian yang sustainable seharusnya memberikan peluang untuk berpartisipasi lebih jauh.



Ketidaksetaraan gender yang mengakibatkan terhambatnya peran perempuan seharusnya menjadi fokus pemerintah jika ingin segera mencapai pembangunan perekonomian yang berkelanjutan. Pemerintah harus mempertimbangkan aspek perempuan dalam aspek upah maupun keterlibatan dalam pengambilan keputusan di pertanian rumah tangga.

Tantangan yang lebih lanjut adalah menyejajarkan peran perempuan petani dalam mengakses modal, mengakses informasi, mempunyai peluang yang sama dalam pengambilan keputusan, terlibat dalam kelompok tani, serta kontrol terhadap pemerataan pembangunan.

Artinya keterlibatan perempuan dalam pembangunan pertanian akan memberikan garansi keamanan ekonomi bukan hanya untuk rumah tangga, tetapi juga untuk kepentingan nasional. Dalam pembangunan ekonomi perlu kebijakan yang baik dengan mengedepankan kesetaraan gender, teruma persoalan peran perempuan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 November 2023. Penulis adalah dosen di Program Studi Agrobisnis Universitas Veteran Bangun Nusantara, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya