SOLOPOS.COM - Agus Sulistyo/Istimewa

Solopos.com, SOLO — Esai karya Ichwan Prasetyo di Halaman Gagasan Harian Solopos edisi 2 September 2019 berjudul Falsifikasi Pilkada menyiratkan pemilihan kepala daerah, dengan pisau analisis teori falsifikasi Karl Popper, memunculkan kesimpulan banyak ”nada fals” yang dihasilkan pemilihan kepala daerah langsung.

Keberadaan dan ketiadaan kepala daerah yang sama saja di suatu daerah adalah nada paling ”fals” buah pemilihan kepala daerah langsung. ”Nada fals” itu salah satunya disebabkan oligarki yang tumbuh subur dan mengakibatkan politik dinasti.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Merefleksikan demokrasi, pemilihan umum, dan pemilihan kepala daerah dengan pisau analisis apa pun adalah subjektivitas setiap orang dengan argumentasi ilmiah yang dibangun melaui sebuah proses, diskusi, kajian, dan metode yang dapat dipertanggungjwabkan.

Demokrasi dengan bangunan dan sendi-sendi yang memperkukuh tegaknya praktik demokrasi seolah-olah menjadi resep mujarab yang dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa negara bangsa di dunia.

Resep mujarab demokrasi dengan praktik yang beragam di setiap negara belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Realitas historis yang sarat dengan kemajemukan meniscayakan ada perbedaan tafsir ideologi politik dan benturan peradaban, jamak dengan konflik lokal, bahkan ancaman disintegrasi bangsa.

Sebagai seorang penyelenggara pemilihan umum, melalui esai ini saya mencoba memaknai praktik demokrasi dan pemilihan kepala daerah sebagai sebuah proses dialektika berdasar pergumulan proses demokrasi elektoral.

Dialektika Demokrasi

Rakyat memiliki kebebasan menentukan pemimpin melalui pemilihan umum. Salah satu alat ukur demokrasi adalah ketika pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap mampu mencerminkan secara akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat (Miriam Budiarjo, 2013; 461).

Partisipasi masyarakat itu menentukan kualitas demokrasi. Perjalanan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah setelah reformasi 1998 yang telah berjalan lebih dari dua dasawarsa  menunjukkan ada peningkatan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih.

Demokrasi di Indonesia melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah terbukti berjalan secara prosedural, namun dalam sisi demokrasi secara substansial merupakan proses dialektika yang tak kunjung berakhir dalam arena perpolitikan di Indonesia.

Demokrasi akan menjadi ”basi” ketika tidak diiringi kesadaran partisipasi masyarakat yang ikut mengontrol, mengawal, dan mengawasi (pengawasan partisipatif) pelaksanaan seluruh proses dengan mengedepankan prinsip dan nilai yang dikandung di dalamnya.

Membumikan nilai dan membangun kesadaran masyarakat untuk berperan aktif dalam pengawasan partisipatif merupakan tugas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana amanah UU No. 7/2017 dalam rangka umenciptakan kader-kader pengawas partisipatif.

Hal tersebut menjadi tugas berat Bawaslu kabupaten/kota di luar tahapan pemilihan umum. Bawaslu tidak boleh berpangku tangan dan menyerahkan tugas sosialisasi pendidikan politik ini kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja karena konsep peningkatan partisipasi pemilih yang menjadi muatan pendidikan pemilih di KPU berbeda dengan konsep pengawasan partisipatif di Bawaslu.

Pendidikan pemilih yang selama ini dilaksanakan  KPU berorientasi kepada pemilih agar dapat menggunakan hak dan berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Materi pendidikan pemilih dalam sosialisasi di KPU lebih beraksentuasi hal-ihwal pokok teknis [memberikan suara].

Pemimpin Berintegritas

Sedangkan pendidikan politik sebagaimana dimanahkan oleh undang-undang adalah menjadi tugas partai politik dan pemerintah. Bawaslu melalui gerakan pengawasan partisipatif merupakan mitra setrategis pendidikan politk warga dengan menekankan pada proses pencegahan yang menyentuh pada tataran yang lebih substansial, yaitu gerakan moral, tolak politik uang, antihoaks, m,encegah kecurangan, netralitas aparatur sipil negara, dan lain-lain, tidak terbatas hanya pendidikan teknis memilih.

Semua pasti berharap pemilihan kepala daerah serentak pada 2020 mendatang menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas dan mempunyai rekam jejak yang bersih. Hal ini penting agar dalam melaksanaan tugas tidak tersandera oleh residu kredibilitas seorang pemimpin.

”Nada fals” dalam pemilihan kepala daerah muncul sebagai akibat dari cedera saat memainkan ”gending” kontestasi sehingga permainan instrumen politik tidak dapat dinikmati oleh semua dengan khidmat sebagai proses  demokrasi elektoral.

Penyempurnaan regulasi (judicial review UU No. 10/2016) dan rekayasa sistem pemilihan umum (electoral engineering) yang tengah dilaksanakan di Indonesia saat ini merupakan bentuk ikhtiar politik membangun fatsun politik menuju era konsolidasi demokrasi yang kukuh.

Eropa dan Amerika sebagai kiblat negara demokratis sekalipun sampai saat ini terus berdialektika dalam menyempurnakan performa sebagai negara demokrasi yang ideal. Memahami falsifikasi tidak dapat dilakukan hanya dengan kesimpulan penalaran deduktif semata karena falsifikasi adalah sebuah proses learning.

Proses learning yang panjang menuju demokrasi yang ideal, yaitu demokrasi yang deliberatif dan substansial. Learning dalam proses demokrasi bukan hanya persoalan fals or no fals, right or no right, tetapi ada makna yang lebih penting: pembelajaran bagi masyarakat di balik proses demokrasi itu sendiri.

Upaya untuk menghentikan ”nada fals” demokrasi tidak cukup hanya bersandar kepada pemilih dengan jalan tidak memilih pemimpin yang mempunyai catatan “fals” pada kontestasi.

Faktanya pemilih cenderung permisif dan acap kali memaafkan dengan memberi kesempatan serta memilih sekali lagi. Hasil penelitian Marko Kasnja, Noam Lupu, dan Joshua A.Tucker menjelaskan pemilih tetap memilih atau cenderung memaafkan kandidat yang terlibat korupsi (Marko Kasnja, 2017; 1).

Bertolak dari hal tersebut maka”menjerakan” pemimpin atau politikus yang mempunyai catatan kelam hanya ditumpukan kepada pemilih tidak sepenuhnya manjur karena pemilih mudah melupakan kejahatan masa lalu. Allahu a’lam bi showab.



 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya