SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Teknologi  kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) mengalami kemajuan pesat. Ini menjadi pisau bermata dua. Memberikan manfaat sekaligus menyajikan ancaman bagi kehidupan manusia. AI berperan penting menciptakan generasi pemalas.

Sejak awal 2023, saya mempelajari seluk-beluk teknologi AI. Open AI, ChatGPT, hingga teknologi AI buatan Google maupun Microsoft. Teknologi ini mampu mengaktualisasikan ide.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Teknologi AI untuk membuat konten dengan tujuan apa pun bisa hanya dengan mengetikkan ide atau premis tulisan, fiksi maupun nonfiksi. Hasil yang ditampilkan mungkin lebih baik (setidaknya dari ketentuan tata bahasa) daripada hasil tulisan sendiri.

AI adalah teknologi yang mampu melakukan pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan atau inteligensi manusia. AI bisa dimanfaatkan untuk banyak hal, seperti menulis makalah akademis, menyusun khotbah Jumat, maupun pidato sambutan saat rapat RT.

Di balik kemudahan dan perkembangan yang begitu pesat, AI dikhawatirkan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Ilmuwan yang dijuluki guru besar AI atau The Godfather of AI, Geoffrey Hinton, menyesal dan takut terhadap konsekuensi kecerdasan buatan yang dia kembangkan.

Mantan CEO Google, Eric Schmidt, menyebut AI bisa membahayakan nyawa manusia. Dampak paling dominan AI yang dapat dilihat saat ini adalah munculnya generasi pemalas. Ini banyak saya temui di sektor pendidikan, khususnya perguruan tinggi.

Kemudahan yang ditawarkan AI sering membuat mahasiswa yang mestinya menyelami khazanah keilmuan dengan serius menjadi malas. Mereka berpikir semua tugas bisa diselesaikan menggunakan AI dalam waktu singkat.

Penggunaan AI untuk academic writing menimbulkan perdebatan dan menjadi masalah di dunia pendidikan saat ini. Bolehkah menulis karya ilmiah menggunakan AI? Jawabannya tentu saja tidak.

AI bisa digunakan untuk penulisan karya ilmiah, tetapi tidak sepenuhnya berpikir dan menulis untuk kita. Walau begitu, mayoritas akademisi berpendapat AI tidak boleh digunakan di ranah akademis dengan tujuan apa pun.

Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak mahasiswa yang mengandalkan AI untuk menyelesaikan tugas kuliah. Teknologi AI seperti ChatGPT memberikan peringatan kepada pengguna.

Bahwa karya ilmiah berupa skripsi, tesis, maupun disertasi merupakan penelitian dan penulisan intensif yang membutuhkan bimbingan dari pembimbing akademik dan mematuhi kebijakan dan peraturan kampus. Tentu saja karya ilmiah tidak bisa sepenuhnya dikerjakan oleh AI tanpa melibatkan inteligensi manusia.

Mengasah Nalar

Tugas kuliah yang diberikan dosen pada dasarnya bertujuan mengasah kemampuan nalar kritis mahasiswa yang melibatkan banyak aspek. Pada praktiknya banyak mahasiswa yang mengerjakan tugas ala kadarnya, bahkan tanpa melibatkan aspek berpikir kritis.

Jangankan kritis, kreatif saja mungkin masih sangat jauh. Sejauh pengamatan saya, banyak mahasiswa merasa tugas yang dikerjakan menggunakan teknologi AI tidak akan diketahui dosen karena tingkat plagiatnya nyaris nol.

Saya pernah mencoba menulis artikel menggunakan AI. Hasilnya sangat rapi dan terkesan profesional. Saya yang terbiasa dengan dunia kepenulisan merasa tulisan AI itu kaku dan tidak bernyawa.

AI rentan terhadap bias karena mengeliminasi keterlibatan manusia. Ini menghasilkan kesalahan persepsi, bahkan representasi terhadap suatu objek. Alat bantu penulisan AI mungkin tidak selalu 100% akurat. Hal ini karena mereka tidak memahami konteksnya.

Teknologi AI seperti ChatGPT mengambil data dan informasi dari Internet yang tidak jelas sumbernya. Tidak semua informasi yang disebarkan di Internet benar. Semestinya penulis tidak 100% mengandalkan AI.

Sering kali tulisan itu adalah karangan imajiner dari ChatGPT yang sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Ironisnya, meski sudah mengetahui hal demikian, masih saja ada kaum pemalas yang mengandalkan AI untuk mengerjakan tugas kuliah.

AI semestinya hanya berperan membantu mahasiswa mencari referensi dan merumuskan topik yang ingin ditelaah lebih mendalam.  Di balik tugas kuliah yang melelahkan itu pada dasarnya dosen ingin melatih keterampilan berpikir kritis, penyelesaian masalah, serta melihat sejauh mana penguasaan materi oleh mahasiswa.

Jika tugas dikerjakan menggunakan AI, semua tujuan mulia itu tidak akan tercapai. Mahasiswa bisa semakin malas karena mengandalkan AI yang dianggap bisa berpikir untuk mereka.

Algoritma AI tidak dapat melakukan analisis kritis yang independen karena terbatas pada data yang tersedia. Mahasiswa yang hanya mengandalkan AI akan kehilangan kesempatan mengembangkan intelektualitas dan keterampilan penting yang bermanfaat dalam konteks akademis dan profesional.

AI tidak dapat menggantikan otak manusia dalam berpikir kritis dan kreatif. Lebih seru dan memuaskan menulis karya ilmiah dengan mengandalkan otak sendiri. Walau sulit dan melelahkan, ada banyak hal yang diasah dan dipelajari selama menjalani proses sebagai bekal menapaki masa depan.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Juli 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya