SOLOPOS.COM - Sri Sumi Handayani (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 orang pada Minggu (2/7/2023). Mayoritas pemilih pada Pemilu 2024 adalah generasi Z dan generasi milenial.

Pemilih dari generasi milenial, lahir pada 1980 hingga 1994, sebanyak 66.822.389 orang atau 33,60% dari DPT. Pemilih dari generasi Z, lahir pada 1995 hingga 2010, sebanyak 46.800.161 orang atau 22,85% dari DPT. Totalnya 56,45%.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Pemilih pada Pemilu 2024 mayoritas anak muda (generasi Z dan milenial). Generasi ini adalah kelompok yang beragam dan cenderung lebih terkoneksi dengan teknologi. Mereka memiliki kepekaan sosial tinggi, mendukung nilai-nilai keragaman, keadilan sosial, dan keberlanjutan.

Pemilih muda ini juga rentan dalam pusaran antusiasme atau apatisme politik. Bersemangat mengetahui informasi seputar pemilu melalui media sosial. Belum bisa dipastikan akan menyalurkan hak pilih atau malah jadi ”golongan putih” atau golput.

Mereka rentan terhadap informasi palsu dan tidak konsisten terhadap partisipasi politik. Generasi Z sering terlibat gerakan sosial atau protes dalam waktu singkat, tetapi kehilangan minat mendukung perubahan politik.

Diperlukan komunikasi politik yang pas dan efektif untuk membangun kepercayaan, konsistensi, dan integritas dengan kelompok usia ini. Saya teringat satu momentum saat berbincang dengan generasi Y (lahir pada 1977-1994).

Dia menceritakan pertanyaan anaknya (seorang pelajar) tentang siapa calon presiden yang akan dipilih pada Pemilu 2024. Sang anak menyatakan akan ikut pilihan ibunya. Obrolan tersebut menggambarkan pilihan anak dipengaruhi pandangan politik orang tua.

Anak cenderung apatis terhadap Pemilu 2024 karena banyak faktor. Sewajarnya orang tua menyisipkan pendidikan politik ketika anak membuka obrolan tentang politik.

Kisah tentang generasi Z dan Pemilu 2024 juga saya dapatkan pada gelar wicara virtual bertema politik di Youtube belum lama ini. Narasumber adalah dua bakal calon anggota DPR dari dua partai politik.

Orang yang mendengarkan dan menonton siaran itu memiliki beragam latar belakang. Salah satunya generasi Z. Dia melontarkan komentar secara lugas.

“Wah saya suka dengan gaya bicara bapak itu. Siapa sih? Frontal dan tegas.” Pertanyaan yang disampaikan cenderung mencerminkan pemahaman dan pemikiran tentang politik secara sederhana.

Kalau jadi caleg, tapi tidak punya banyak uang bagaimana? Tujuan mulai menjadi caleg adalah demi memajukan Indoensia. Berarti orang miskin tidak boleh menjadi caleg?

Partisipasi generasi Z terhadap diskusi politik secara virtual ini patut diapresiasi karena tidak selalu muncul setiap kali diselenggarakan gelar wicara bertema politik.

Mereka akan nimbrung apabila narasumber responsif dan memberikan umpan balik terhadap pertanyaan, komentar, dan menerima kritik serta masukan.

Asyik dan Menarik

Generasi milenial dan generasi Z cenderung tertarik dengan gaya komunikasi yang lugas, jujur, transparan, dan tidak menggunakan istilah-istilah politik (istilah yang digunakan dalam politik terkadang terdengar rumit bagi sebagian anak muda).

Tokoh politik jangan menceritakan mimpi, tetapi menyampaikan kisah nyata dan relevan yang memperlihatkan dampak positif dari yang sudah dilakukan.

Membangun narasi sedemikian rupa bisa membuat generasi milenial dan generasi Z mengingat dan terhubung secara emosional. Mengkhawatirkan apabila tokoh politik dan penyelenggara negara gagal berkomunikasi dengan anak muda sebagai pemilih terbanyak pada Pemilu 2024.

Generasi muda ini akan menjadi apatis dan luweh terhadap segala hal berbau politik. Alasan menjadi apatis diawali dari ketidakpercayaan terhadap politikus karena skandal korupsi dan perilaku politik yang tidak etis.

Alasan berikutnya pendidikan politik masih kurang. Sistem pendidikan Indonesia masih kurang memadai dalam memberikan pendidikan politik, khususnya terkait perluasan materi, peningkatan kesadaran nilai-nilai demokrasi, dan mengatasi disinformasi.

Anak muda tidak memiliki pemahaman cukup tentang politik dan dampaknya terhadap kehidupan. Mereka menjadi bosan ketika banyak tokoh politik membangun retorika yang berlebihan, melakukan konfrontasi yang tidak produktif, dan membentuk opini yang bersifat emosional.

Praktik ini masih dilakukan elite politik demi mencapai tujuan tertentu. Apabila pola-pola lama masih digunakan tokoh politik, tim, dan sukarelawan maka generasi milenial dan generasi Z hanya menjadi tambang suara.

Sangat disayangkan karena generasi milenial dan generasi Z yang jumlahnya banyak ini hanya dimanfaatkan tanpa mengetahui mengapa mereka harus berpartisipasi dalam Pemilu 2024.

Pendidikan politik menjadi penting karena berdampak pada masyarakat dan sistem politik sebuah negara. Jangan lupa bahwa anak muda memiliki karakteristik unik.

Mereka sering kali sibuk dengan tuntutan pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan pribadi sehingga merasa tidak memiliki cukup waktu atau tenaga untuk terlibat dalam politik.



Meskipun banyak anak muda mungkin apatis terhadap politik, ada banyak upaya untuk meningkatkan partisipasi. Caranya melalui pendidikan politik, kampanye melibatkan pemuda, dan menciptakan ruang untuk mendengarkan suara mereka.

Penting untuk memahami mengapa menjadi apatis dan mencari cara membawa anak muda ke dalam proses politik yang lebih aktif. Beberapa tokoh mulai mengusung tema politik gembira, politik asyik, dan lainnya.

Konsep itu berpusat mengajak anak muda terlibat dalam politik yang bisa dinikmati dan bermanfaat sehingga memberikan pengalaman politik yang asyik dan menyenangkan.

Apakah sistem dan lingkungan sudah membangun politik menjadi gembira dan asyik? Atau hal tersebut hanya akan menjadi jargon?

Politik yang asyik adalah politik yang melibatkan, memberdayakan, dan memberikan rasa memiliki terhadap proses politik dan masyarakat.

Dengan keterlibatan aktif dan pendidikan politik yang baik, politik dapat menjadi sumber pengalaman yang memuaskan dan bermanfaat bagi generasi milenial dan generasi Z.

Politik yang asyik atau menarik sangat subjektif dan berbeda dari individu ke individu. Beberapa orang mungkin menemukan politik menarik karena merasa memiliki peran dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi masyarakat.

Sementara yang lain mungkin menemukan politik menarik karena dapat memperjuangkan isu-isu yang mereka pedulikan. Pada akhirnya, bagaimana seseorang melihat politik sebagai sesuatu yang menarik atau asyik tergantung pada nilai, minat, dan pengalaman pribadi.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 November 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya