SOLOPOS.COM - Oriza Vilosa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Sebuah  spanduk warna kuning terpasang sebagai latar belakang panggung musik dangdut yang ditanggap khusus keluarga Slamet. Spanduk itu bertuliskan “Ingat Mas Slamet!! Sekejam-kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibu kota”.

Mungkin Anda pernah melihat spanduk itu tampil di layar televisi saat momentum Lebaran sebab Slamet di sini tidak lain adalah Dono, salah satu tokoh di kelompok komedi Warkop DKI.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Film Warkop DKI boleh disebut menjadi daftar wajib putar di televisi pada beberapa momentum Lebaran sejak bertahun-tahun lalu. Perbincangan soal dagelan unik menggelitik di film itu acapkali saya dengar saat reuni dengan teman sekolah, keluarga, dan tetangga.

Kadang-kadang realitas kehidupan yang ditemui teman, keluarga, dan tetangga itu ada kemiripan dengan kekonyolan di film Warkop DKI. Lalu, kami tertawa bersama menikmati kebersamaan dalam reuni.

Seorang perempuan penyanyi dengan gaun biru melantukan syair “Mas Slamet, bila nanti kamu di rantau jangan lupa kampung halaman.” Nyanyian itu merupakan salah satu bagian film Warkop DKI berjudul Gengsi Dong.

Slamet duduk di samping bapaknya. Keduanya sama-sama mengenakan busana beskap, ciri khas pakaian lelaki Jawa. Beberapa kali juru kamera fokus mengarahkan pandangan ke kaki Slamet yang dibalut sandal selop yang bergerak ke atas dan ke bawah mengikuti irama musik.

Dia sungguh menikmati malam perpisahan itu sebelum merantau ke ibu kota negara: Jakarta. Slamet kemudian dilepas oleh sang ayah di Lapangan Terbang Pringgodani. Berkemeja biru ala anak kuliahan zaman dulu, Slamet melambaikan tangan hingga membuat ayahnya meneteskan air mata.

Singkat cerita, Slamet tiba dan bergaul dengan teman-teman kuliahnya di kampus di Jakarta. Ini menjadi babak baru bagi kehidupan Slamet. Kehormatan yang ia dapat di kampung halaman mendadak terinjak-injak oleh tata nilai baru di kehidupan kampus.

Dia menghadapi perkara harga diri yang dipandang dari kepemilikan mobil, tempat indekos yang mewah, pergaulan dengan teman berbusana modis, dan lainnya. Barangkali kisah ini juga dialami oleh banyak perantau era kini.

Perbedaan kultur, tata nilai, dan lainnya di perkotaan membuat hati bergejolak. Di sisi lain, orang memiliki cara masing-masing dalam beradaptasi di lingkungan baru.

Banyak cerita tentang perubahan perilaku masyarakat di tanah perantauan yang biasa kita dengar. Ada orang yang dinilai kolot, ndesa, dan lainnya.

Ada pula orang yang dinilai mudah membaur dan fleksibel dalam menempatkan diri, tapi juga banyak di antara mereka yang terbawa arus dan semakin lupa akan jati diri.

Saya rasa film Gengsi Dong itu masih relevan untuk dinikmati saat ini. Kabar potensi pemudik mencapai jutaan jiwa masih tersiar. Artinya, banyak sekali warga di sekitar kita yang harus beradaptasi di lingkungan baru. Mereka berjuang untuk hidup yang lebih baik.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia V, gengsi berarti kehormatan dan pengaruh; harga diri; martabat. Saya berharap saudara-saudara kita yang menentukan pilihan hidup dengan merantau tersebut berhasil dalam memaknai gengsi serta sukses mewujudkannya.

Tampaknya banyak pergeseran makna gengsi di masyarakat kita. Gengsi diartikan sebagai nilai kekuatan seseorang atau kelompok. Tak hanya kekuatan ekonomi, tapi juga kekuatan fisik.

Dalam beberapa kasus, hal itu justru tidak disambut dengan respons positif. Masyarakat malah dibuat resah dengan cara orang menunjukkan gengsi kekuatan. Seperti video viral menunjukkan seorang pemuda menyeret pedang dan berakhir ditangkap aparat Polres Sragen.

Kasus tersebut tak datang begitu saja. Ada perjalanan panjang menyangkut karakter dan psikologis warga kelompok remaja tertentu. Mereka akan merasa kuat dan memiliki gengsi jika bisa menunjukkan kekuatan, termasuk berani menyeret pedang di muka umum, barangkali.

Belum lagi kabar seorang pemuda menunggang sepeda motor berkapasitas mesin relatif besar di kawasan Alun-alun Wonogiri pekan lalu. Dalam kondisi mabuk, pemuda tersebut membuat gaduh dengan mondar-mandir dan membuat suara bising lewat knalpot brong sepeda motornya.

Sampai di sini ada baiknya kita merenungkan kembali. Bagaimana sebenarnya gengsi itu harus dipahami. Cara membangun dan mempertahankan martabat yang tentu tanpa menginjak martabat orang lain.

Selalu menghargai orang lain niscaya harga diri dan derajat manusia akan terbentuk dengan sendirinya. Mengutip pepatah Jawa, ajining dhiri gumantung saka lathi, ajining raga gumantung saka busana.

Pepatah tersebut berarti tinggi rendahnya derajat manusia tergantung dari apa yang diucapkan serta apa yang dikenakan. Barangkali inilah maksud di balik tulisan spanduk malam perpisahan Mas Slamet, kejamnya tanah rantau lebih kejam dibanding ibu tiri. Akhir kata saya berharap,“Mas Slamet jangan lupa kampung halaman.”

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 April 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya