SOLOPOS.COM - Arif Budisusilo (Istimewa/Dokumen pribadi)

Ada fenomena menarik dalam pergulatan ekonomi dunia hari-hari ini. Mungkin, meski boleh jadi terlalu dini, bisa disebut sebagai antitesa globalisasi.

Izinkan saya mulai dari sebuah contoh. Baru-baru ini Indonesia keok dalam gugatan di WTO. Itu badan global yang mengurusi “kartel” ekonomi negara-negara maju. “Persekongkolan” kepentingan penikmat rente dunia.  Gara-garanya, pemerintahan Presiden Joko Widodo melarang ekspor nikel. Komoditas mineral mentah itu belakangan memang menjadi primadona. Lantaran prospek mobil listrik alias electric vehicle (EV) yang begitu moncer. Nikel adalah salah satu bahan utama baterai sebagai penggerak daya mobil listrik. Bahan utama lainnya adalah litium.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Pokok pangkalnya, Indonesia digugat di WTO lantaran larangan ekspor nikel tersebut menghantam kepentingan sejumlah negara Barat. Para sponsor utama WTO. Negara-negara yang selama ini menikmati nilai tambah besar, dan lukratif, dari nikel Indonesia. Asal tahu saja, Indonesia adalah penyumbang lebih dari 20% nikel dunia. Besar sekali. Dan bisa lebih besar lagi bila cadangan terukur bisa tereksploitasi lebih banyak lagi.

Maka, langkah Presiden Jokowi dengan larangan ekspor nikel itu membuat kepentingan bisnis negara-negara yang selama ini menikmati keuntungan lukratif dari nilai tambah nikel terusik. Padahal, Pak Jokowi ingin Indonesia mendapatkan nilai tambah ekonomi lebih besart dari upaya hilirisasi bahan mentah itu. Apa boleh buat. Indonesia digugat negara-negara maju melalui WTO. Dan kalah.

Untungnya, dan kabar baiknya, Pak Jokowi melawan. Tidak menyerah. Dan itu benar. Maju terus, Pak Jokowi.

Kenapa Indonesia tak boleh kalah? Kelolaan sumber daya alam adalah hak konstitusi kita. Pilihan kita sendirilah untuk menentukan, sumberdaya alam yang menjadi kekayaan Indonesia diekspolitasi sendiri, atau dikelola pihak lain. Diolah di dalam negeri, atau diekspor ke negara lain. Tidak boleh ada kepentingan lain yang mencampuri.

Itu hakikatnya. Itu namanya independensi. Semata demi kepentingan nasional. Semata untuk kemaslahatan perekonomian nasional. Serta nilai tambah ekonomi yang membawa efek berganda yang lebih bermanfaat bagi banyak masyarakat.

Saya terus terang suka dengan cara pendekatan Pak Jokowi soal nilai tambah. Sumber daya alam adalah kekayaan nasional yang menjadi hak kita untuk menikmati hasil ekonomi yang lebih besar. Bukan hak negara lain. Dan itu berarti negara memiliki independensi untuk membuat keputusan dan kebijakan. Demi kepentingan ekonomi dan potensi peningkatan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakatnya.

***

Isu globalisasi belakangan ini memang terus mendapatkan tantangan. Senafas dengan perang di Ukraina yang sudah hampir setahun belum juga ada tanda-tanda berakhir, apa yang dipuja sebagai “the best side of” globalisasi seperti jungkir balik. Hanya karena kepentingan ekonomi negara-negara Barat yang terusik.

Lihat saja bagaimana Jerman, Inggris, Prancis dan sejumlah negara-negara di Eropa kelimpungan karena krisis energi. Hanya karena Rusia melakukan retaliasi alias pembalasan atas blokade ekonomi yang dilancarkan NATO, dengan Amerika sebagai sponsor utama.

Kita juga lihat bagaimana negara-negara Barat kelimpungan karena risiko krisis pangan, hanya gara-gara Rusia memblokade salah satu pelabuhan utama di Ukraina. Pelabuhan yang menjadi gerbang utama ekspor gandum dan minyak goreng ke duapertiga perekonomian dunia.

Gara-gara perang itu, kita juga jadi tahu bahwa filosofi globalisasi yang diagung-agungkan para pemuja liberalisasi ekonomi menjadi jungkir balik. Globalisasi menjadi setengah hati. Malah sebaliknya, terjadi pembalikan menuju tren “regionalisasi”, bahkan “nasionalisasi”. Masing-masing negara yang menguasai sumberdaya seperti ingin ngekepi sumber dayanya sendiri. Karena ancaman dan risiko ketidakpastian yang lebih besar. Dan di sisi lain juga menaruh harapan atas peluang ekonomi yang lebih besar.

Dalam urusan bahan bakar minyak, sebut saja contoh lainnya, Rusia menjual minyak murah ke India dan China dalam jumlah besar. Dan India memurnikannya untuk dijual kembali ke Amerika yang memerlukan. Dan karena Amerika kepepet. Pintar sekali India mengambil kesempatan.

Kita juga jadi tahu, ternyata negara-negara maju yang di masa lalu menentang minyak goreng yang berasal dari minyak sawit (CPO) Indonesia, dengan mencari-cari dalih merusak lingkungan, menjadi sangat “permisif” karena kepepet pula. Karena mereka tidak mendapatkan pasok minyak goreng berbahan mentah canola atau bunga matahari, akibat hambatan logistik dampak perang Ukraina. Justru minyak CPO Indonesia dan Malaysia jadi rebutan. Dan terpaksa Jakarta melarang ekspor CPO kala itu, setelah terjadi gangguan pasok dalam negeri yang membuat pasar minyak goreng berantakan. Tepat setahun yang lalu.

Banyak lagi contoh yang lain, untuk tidak menyebutkan semuanya. Yang pasti, dampak dari tren itu telah menyebabkan risiko ketidakpastian global. Awan gelap menghantui sepertiga perekonomian dunia. Bahkan nyanyian itu menjadi “lagu wajib” para pejabat keuangan dan para pemimpin dunia sebelum mengakhiri tahun 2022 silam.

***

Ada lagi contoh yang masyarakat sepertinya tak banyak tahu. Atau tak banyak menyadari. Bagaimana globalisasi sebenarnya telah menjelma menjadi “kolonialisasi”.

Sebut saja di industri informasi dan komunikasi, di mana industri media dan periklanan ada di dalamnya. Ini lantaran kemajuan teknologi Internet dan seluruh turunannya, hingga kecanggihan artificial intelligence (AI) alias kecerdasan buatan.

Di era superioritas Internet dan AI, mesin bisa belajar bahasa manusia. Pola perilaku dan kata-kata bisa diprogram. Cara kerja mesin yang cepat belajar itu menghasilkan kecerdasan buatan dalam menganalisa “big data“. Maka muncullah algoritma.

Itulah biang kerok disruptor utama dalam industri informasi dan komunikasi, yang membelokkan relasi cost-benefit dari globalisasi.

Saya percaya benefit kemajuan teknologi, wa bil khusus Internet, membawa banyak benefit bagi kehidupan manusia. Namun sebaliknya saya juga percaya, dalam industri informasi dan komunikasi, mudharat kecanggihan teknologi berdasar Internet ini tak kalah banyaknya.

Di industri media misalnya, globalisasi telah menjelma, pelan tapi pasti, menjadi “kolonialisasi”.

Segelintir platform global adidaya telah “menjarah” sumberdaya lokal di seluruh dunia. Daya isap ekonomis dan dampak sosialnya jauh lebih dahsyat ketimbang cengkeraman VOC selama lebih dari tiga abad kolonialisasi Indonesia di masa penjajahan Belanda.



Tak heran apabila Presiden Jokowi pun jengah. Pada pidato Puncak Acara Hari Pers Nasional di Medan 9 Februari lalu, Pak Jokowi terang-terangan mengatakan kondisi industri media saat ini tidak sedang baik-baik saja. Apa biangnya? Blak-blakan, Pak Jokowi menyebut adanya dominasi algoritma yang dikendalikan oleh platform digital global.

Menurut Kepala Negara, pemberitaan pers hari-hari ini dikendalikan algoritme raksasa digital yang cenderung mengutamakan sisi komersial. Dampaknya telah mendorong “konten recehan dan sensasional yang mengorbankan kualitas isi serta jurnalisme otentik.” Presiden mengutip sejumlah data yang menyebutkan bahwa sekitar 60% belanja iklan nasional saat ini sudah diambil platform digital dan platform asing.

Pak Jokowi tepat sekali. Bagi saya, algoritma platform global ini adalah penghisapan sumberdaya ekonomi di industri digital. Di masa lalu, kendati banyak pemain global, katakanlah agensi iklan asing, tetap saja kue iklan masih dinikmati dan didominasi oleh para penerbit (publisher) di dalam negeri. Hari ini, kue iklan terbang ke luar negeri, dan menjadi potret capital flight alias pelarian modal dalam arti sebenarnya.

Dampak ekonomi dan dampak sosial seperti dua sisi dari sekeping mata uang. “Kolonialisasi” industri informasi dan komunikasi yang menerpa industri periklanan di media pemberitaan telah mengakibatkan krisis sosial yang sebenarnya.

Publik, yang seharusnya mendapatkan hak informasi yang benar, kini dijejali banyak informasi palsu, disinformasi maupun informasi yang menyesatkan karena model bisnis media yang dikendalikan algoritma global. Algoritma yang men-drive kuantitas berita ketimbang kualitas, dan men-drive klik (views) sebanyak-banyaknya demi satu dua sen porsi iklan yang “disedekahkan” oleh platform global.

Jangan heran pula, bila Anda kerap menemukan banyak iklan-iklan “bohong” di media pemberitaan, bahkan di media yang beritanya paling kredibel sekalipun. Iklan obat kuat, obat antitua, resep cepat kaya dan lainnya, kini bertebaran di banyak media digital, bahkan yang  paling mainstream sekalipun.  Padahal iklan-iklan semacam itu umumnya “zonk,” pinjam istilah anak milenial.

Apabila ekosistem media pemberitaan yang eksploitatif oleh platform global ini terus berlanjut, masyarakat konsumen informasi tentu saja menjadi pihak yang paling dirugikan. Di sisi lain, keberlanjutan media yang bermartabat akan menghadapi tantangan besar.

Bila terus dibiarkan, marwah jurnalisme di Indonesia menghadapi ancaman besar lantaran “kolonialisasi” platform global. Koreksi bersama, oleh semua pihak, terutama keberpihakan dari pemerintah, tentu sangat dibutuhkan. Demi menjaga kemaslahatan sumberdaya sosial-ekonomi bagi kepentingan nasional.

Nah, bagaimana menurut Anda?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya