SOLOPOS.COM - Muhammad Latif Fauzi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Hari-hari ini internasionaliasi menjadi kata kunci penting bagi hampir semua perguruan tinggi di Indonesia. Slogan world class university (WCU) menjadi topik perbincangan para civitas academica. Kampus mengadakan seminar dan workshop untuk mengampanyekan pentingnya mengejar peringkat internasional.

Para dosen dikirim untuk presentasi di forum-forum dunia. Kerja sama dengan universitas luar negeri ditingkatkan. Beberapa kampus, bahkan, mengerahkan seluruh energi untuk meningkatkan rangking dalam sistem pemeringkatan universitas tingkat dunia, seperti QS University, Times Higher University, dan Webometrics.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Majalah (jurnal) ilmiah juga berlomba-lomba agar terindeks oleh perusahaan komersial internasional seperti Scopus atau Thomson Reuters. Bagaimana selayaknya internasionalasi kampus ini dimaknai? Mengapa istilah tersebut berkembang di sini, tetapi tidak pernah terdengar di Barat?

Biasanya internasionalisasi kampus dihubungkan dengan kebutuhan institusi dan tuntutan pasar. Tuntutan pasar terhadap tenaga kerja dengan kualifikasi internasional membuat pengguna jasa pendidikan mencari institusi yang berkualitas dan memberikan akses global.

Kampus didorong membuka diri terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Kampus-kampus besar, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Islam Indonesia (UII) cukup serius memikirkan dan melakukan internasionalisasi melalui berbagai cara.

Konsep internasionalisasi, sebagaimana yang diusung oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, terlihat sebagai kebutuhan yang harus dilaksanakan. Sayangnya, sampai saat ini, regulasi yang mengatur tentang internasionalisasi ini masih kosong.

Yang terjadi adalah upaya liberalisasi perguruan tinggi. Atas nama internasional, perguruan tinggi menjadi mahal yang tentu tidak bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Agenda internasionalisasi selayaknya dibarengi dengan peningkatan kualitas pembelajaran dan penelitian yang dilakukan dosen.

Apa artinya menjadi internasional tetapi penelitian tidak berkualitas? Jujur, kualitas penelitian saat ini masih jauh dari ideal. Dosen mendapat beban administrasi berupa laporan keuangan. Akhirnya daripada sibuk memikirkan temuan penelitian dan kontribusi teoritis, para dosen merasa takut jika tidak dapat memenuhi kewajiban administratif.

Penelitian yang baik tidak diukur oleh sejauh mana dapat memberi kontribusi kepada masyarakat, tetapi penelitian yang dapat memenuhi kewajiban formal administratif. Ini ironinya. Internasionalisasi sangat terkait dengan perkembangan dunia yang makin mengglobal.

Globalisasi berkaitan erat dengan kapitalisme. Kapitalisme memberikan kebebasan penuh kepada semua orang untuk melakukan kegiatan ekonomi dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.  Kapitalisme telah mengakibatkan banyak terjadi kesenjangan sosial antarmasyarakat dan ketidakadilan.

Apakah kampus akan diarahkan dalam kerangka berpikir ini? Glokalisasi muncul sebagai satu bentuk gerakan antiglobalisasi yang berkembang. Para pakar mendefinisikan glokalisasi sebagai globalization with local flavour.

Globalisasi tidak ditolak, tetapi untuk menerapakannya perlu disesuaikan dengan tradisi lokal. Siapa yang tidak kenal dengan waralaba raksasa asal Amerika, McDonalds dan KFC? Kisah sukses dua waralaba tersebut tidak terlepas dari glokalisasi.

Kita dapat dengan mudah menemukan mereka di hampir semua negara di dunia.  Dua waralaba tersebut mampu bertahan karena dapat memahami dan memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai selera lokal.

Pada menu makanan, misalnya, mereka mengusung cita rasa lokal khas Indonesia, namun tetap dibungkus dengan nuansa modern khas Barat, seperti menu burger dengan rasa rendang, burger balado, dan sebagainya.

Sally Merry dan Peggy Levitt telah menulis konsep vernakularisasi ketika bicara tentang hak asasi perempuan. Ia menulis the process of vernacularization converts universalistic human rights into local understandings of social justice (Merry dan Levitt, 2017: 213).

Vernakularisasi berarti proses pembahasaan konsep-konsep asing ke dalam bahasa lokal agar lebih mudah dipahami. Ide-ide tentang hak perempuan yang universal dapat dibumikan. Dalam hal lain, penelitian yang dilakukan kolega saya di Van Vollenhoven Institute, Leiden, Hoko Horii, tentang perkawinan anak di Bali, ternyata menemukan hal yang mengejutkan.

Ia berangkat dari asumsi mengapa cara pandang Barat begitu negatif dalam melihat kasus perkawinan anak dan melabeli praktik tersebut sebagai tradisional. Ia kemudian meneliti secara faktual, mencari jawaban, dan menantang asumsi di atas.

Ia menyimpulkan bahwa perkawinan anak merupakan solusi terhadap problem yang ditimbulkan oleh dunia modern. Perkawinan anak lebih disebabkan oleh kehamilan yang tidak direncanakan di luar nikah.

Kebijakan dan program harus diarahkan untuk mengatasi akar penyebab ini bukan dengan menghujat perkawinan anak (Horii, 2020). Sally Merry, Peggy Levitt, dan Hoko Horii tentu tidak alergi dengan konsep global tentang hak asasi perempuan atau anak.

Bagi mereka, konsep global tersebut perlu dicari relevansinya dalam konteks lokal. Ide tentang perkawinan anak pada ranah global ternyata berbeda dengan ide tentang perkawinan anak pada konteks lokal Bali.

Rektor baru Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta, Toto Suharto, menggunakan istilah glokalisasi sebagai visi pengembangan kampus. Glokalisasi ditawarkan sebagai jalan tengah untuk menangkap potensi internasionalisasi, tetapi disesuaikan dengan sumber daya kampus.

Konsep ini terasa relevan. Internasionalisasi dilakukan tidak serta-merta, tetapi didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan kampus. Untuk ini, dia mengusung konsep moderate global-local Islamic university.

Walaupun terpengaruh oleh produk global, namun glokalisasi memberi peluang mengembangkan potensi budaya lokal untuk lebih menonjol dan tetap terjaga kelestariannya melalui cara baru.

Internasionalisasi bisa jadi merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan mutu lulusan mahasiswa, juga meningkatkan keterserapan mereka di dunia kerja, tetapi hal ini bukan satu-satunya jalan.



Meningkatkan kualitas pendidikan dan penelitian tetap harus menjadi prioritas. Internasionalisasi adalah keniscyaan tetapi glokalisasi merupakan jalan tengah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Oktober 2023. Penulis adalah alumnus Leiden University dan Wakil Dekan I Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya