SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i Mahasiswa Pondok Hj Nuriyah Shabran Universitas Muhammadiyah Surakarta Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Danang Muchtar Syafi’i
Mahasiswa Pondok Hj Nuriyah Shabran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Alumnus Lembaga Pelatihan
Jurnalistik SOLOPOS (LPJS). (FOTO/Istimewa)

Hari ini, 22 Januari, adalah hari kelahiran Antonio Gramsci. Ia masyhur dipanggil Gramsci. Namun, kini banyak orang lupa dengan pijar-pijar positifnya. Bahkan, dia terlupakan di kalangan akademisi. Gramsci memang mengaku tak ingin diidolakan dan tak ingin menjadi seorang idola.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

 

Tidak mudah memang mendiskusikan sosok Gramsci. Separuh kehidupannya ia habiskan di balik dinding berjeruji. Kendati demikian, Gramsci sanggup memperlihatkan dirinya sebagai seorang manusia yang hidup pada masanya dalam sebuah relasi dialektis yang sangat kompleks dan rumit. Namun, hidupnya penuh pencerahan dan buah pelajaran yang bisa dipetik.

 

Membicarakan Gramsci umumnya tak lepas daripada pengkajiannya tentang peranan akademisi. Bahasa Gramsci adalah intelektual organik. Menurut dia, yang perlu diubah itu adalah pola pikir dan pemahaman manusia  tentang dunia, serta norma prilaku moral agar mereka menjadi lebih baik, terutama pada generasi berikutnya (Roger Simon, 2004).

 

Bagi Gramsci, dunia ini memerlukan manusia cerdas dan bermoral. Manusia cerdas dan bermoral selalu berpijak pada tindakan sportif yang wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran. Itulah, menurut dia yang disebut generasi ideal. Generasi dengan keseimbangan antara kecerdasan dan moral. Hal ihwal ini bisa dilihat dari pesan dan perilakunya.

 

”Belajarlah karena kita akan membutuhkan segenap kecerdasan kita. Beragitasilah karena kita akan membutuhkan segenap antusiasme kita. Berorganisasilah karena kita akan membutuhkan segenap kekuatan kita”. Demikian salah satu wasiat beraroma intelektual itu. Sementara perilaku moralnya bisa tecermin dari kecintaan kepada ibunya.

 

Roh melankolis hingga ensiklopedis dari ibunya selalu ia hadirkan. Surat untuk ibunya telah berserakan sebelum ia di penjara, maupun hampir meninggal dunia setelah sekian lama dipenjarakan. Surat-surat cinta kepada ibunya adalah penjelmaan Gramsci sebagai manusia moralis.

 

Absurditas

 

Dalam sejarah kontemporer Indonesia, umumnya istilah akademisi dapat dipersamakan dengan sosok intelektual, cendekiawan, begawan atau inteligensia. Istilah tersebut dimaknai sebagai orang yang berpendidikan paripurna. Para akademisi punya rasionalitas tinggi dan bernas dengan kekayaan ilmunya.

 

Dunia akademis dan intelektual secara semantik tidak pernah dikonotasikan dengan dunia korupsi. Dunia korupsi adalah dunia tak akademis dan tak intelek. Dunia akademis dan intelektual secara semantik mempunyai konotasi sebagai sebuah ruang. Di dalamnya dikembangkan moralitas akademis.

 

Ketika para akademisi dan intelektual melakukan korupsi, konotasi yang segera berkembang di masyarakat adalah para akademisi dan intelektual itu ternyata juga tidak imun terhadap tidakan tercela. Padahal, korupsi bertentangan dengan nilai-nilai akademis dan intelektualitas. Pada gilirannya, dunia akademisi suram dengan adanya absurditas intelektual.

 

Sebuah negara terancam gagal mungkin benar-benar bisa terwujud: gagal total. Kegagalan ini hanya karena keserakahan yang terus dipertontonkan oleh para akademisi tak bermoral. Mahatma Gandhi sebenarnya pernah mengingatkan,”Bumi cukup untuk melayani keperluan semua manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan seorang manusia.”

 

Tanggung Jawab

 

Dunia kehidupan memerlukan lebih dari sekadar akademisi yang berumah di atas angin. Hidup yang sesungguhnya memerlukan pergumulan di dunia nyata. Bahkan, Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, turun kembali ke bumi setelah mikraj ke sidrat al-muntaha, untuk mengemban risalah menjadi pembawa obor rahmatan li al-‘alamin.

 

Mereka yang berilmu tinggi tidak cukup sekadar menjadi al-rasih al-‘ilm. Mereka pun harus menjadi ulul albab. Selain berilmu juga punya jiwa moralis sejati sekaligus harus menjadi al-muhtadun, penyebar kebenaran di muka bumi. Dengan kata lain, sebagai pembawa obor pencerahan.

 

Peran kaum akademisi bukan sekadar predikat dan identitas diri. Lebih penting lagi adalah tanggung jawab mereka dalam gerakan pencerahan nasional. Dalam bahasa Muhammadiyah adalah ”tanwir” yang bersifat mencerahkan sebagaimana kehadiran sinar terang di tengah gelap gulita kehidupan. Demikianlah laku mereka. Sosok manusia yang bertanggung jawab.

 

Muhammad Hatta turut menegaskan. Dalam buku Cendekiawan dan Politik (1983) dia menyatakan tanggung jawab seorang akademisi ialah intelektual dan moral. Intelektual karena mereka dianggap golongan yang mengetahui. Moral karena masalah ini mengenai keselamatan masyarakat sekarang dan kemudian.

 



Tanggung jawab mereka sebagai kaum ”bergelar” harus ditunjukkan. Moral mereka harus bisa tetap menjadi panutan masyarakat. Gerakan pencerahan diperlukan sebagaimana misi reformasi 1998 yang telah menjadi bagian dari perkembangan kontemporer bangsa ini. Kondisi bangsa ini berlarut-larut dalam krisis, mengalami demoralisasi dan krisis keteladanan kepemimpinan.

 

Bangsa ini juga terus mencari-cari panduan dan arah baru yang lebih membuka horizon positif bagi perjalanana ke depan. Hal itu menuntut peran-peran kaum intelektual dan para tokoh berwibawa yang membawa pencerahan, bukan sebaliknya. Para akademisi harus melibatkan diri dalam aksi pencerahan bangsa.

 

Apalah artinya ilmu yang bertumbuhan bak jamur di musim hujan, manakala tak membuahkan maslahat bagi hajat hidup orang banyak? Penyebanya, buah intelektual itu tak memperoleh pijakan kalbu yang suci. Apalah pula artinya jika teori dan pemikiran menjulang tinggi, tetapi kehilangan fungsi transformatif di dunia nyata?

 

Kini, manusia besar itu (Gramsci) telah mati. Manusia-manusia bisa datang dan pergi. Bisa diremukkan oleh badai. Namun, individu-individu manusia harus tahu bagaimana berkorban demi kejayaan dan masa depan, menggunakan intelektual dan moral sebagai bekal untuk menjemput kematian.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya