SOLOPOS.COM - Ratusan pekerja melipat surat suara Pemilu 2024 di gudang penyimpanan logistik KPU GOR Bambu Runcing Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (4/1/2024). (Antara/Anis Efizudin)

Pekan lalu, Ketua DPRD Kabupaten Karanganyar mengkritik Penjabat Bupati Karanganyar karena memberikan ruang bagi mantan Bupati Karanganyar Juliyatmono dalam acara-acara resmi pemerintahan di kabupaten ini.

Pelibatan mantan Bupati Karanganyar itu dinilai tidak etis, apalagi dia saat ini sedang menjalani masa kampanye untuk pemilihan anggota DPR. Juliyatmono diketahui hadir, antara lain, di acara Gerakan Ijo Royo-Royo yang digelar Pemerintah Kabupaten Karanganyar pada Jumat (15/12/2023).

Promosi Mabes Polri Mengusut Mafia Bola, Serius atau Obor Blarak

Juliyatmono juga hadir di agenda Peresmian Gedung A RSUD Karanganyar pada Kamis (29/12/2023). Kemudian hadir lagi di acara Perayaan Natal Bersama Umat Kristiani di Kabupaten Karanganyar di Gedung Kebudayaan pada Kamis (29/12/2023) malam.

Pernyataan Ketua DPRD Kabupaten Karanganyar itu mungkin saja terdapat latar belakang politis, namun kritik yang disampaikan patut mendapat apresiasi di tengah budaya politik yang sering kali mengabaikan etika.

Memahami pentingnya etika dalam konteks politik dalam urusan membangun demokrasi yang sehat sebenarnya hal yang tidak boleh diabaikan. Penggunaan wewenang atau posisi dalam kepentingan politik seharusnya senantiasa memperhatikan standar etika yang tinggi.

Fenomena politik nir-etika kerap muncul, terutama terkait dukungan terhadap calon presiden atau calon wakil presiden. Ada aparat satuan polisi pamong praja yang mendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden tertentu yang memunculkan pendapat berbeda dari elite politik.

Ada yang menyatakan itu melanggar ketentuan netralitas apartur sipil negara atau ASN, ada yang menyatakan itu tak melanggar ketentuan. Satu fenomena dinilai berbeda hanya karena kepentingan politik.

Terjadinya perbedaan penafsiran ini menunjukkan ada celah yang dimanfaatkan untuk tujuan politis, namun secara etis hal ini menimbulkan keraguan akan netralitas aparatur negara. Politisasi tanpa memperhatikan etika di banyak daerah mungkin merupakan hasil dari teladan yang diberikan oleh elite nasional.

Ketika perilaku politik yang kurang etis terjadi di tingkat nasional, hal ini menjadi contoh yang dianggap sebagai kelaziman hingga ke level daerah, membentuk praktik yang tidak mengedepankan etika dalam berpolitik. Ketika guru kencing berdiri, niscaya murid kencing berlari.

Contoh lain, yang baru saja terjadi, adalah pertemuan empat mata antara Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga berstatus calon presiden nomor urut 2.

Tafsir apa pun akan berujung pemahaman bahwa pertemuan itu, tidak di Istana Negara, di luar jam kerja, adalah bentuk dukungan dari presiden aktif kepada seorang calon presiden. Ini berkebalikan dengan yang selalu dikatakan Presiden Joko Widodo tentang netralitas.

Imbauan, seruan, dan jargon bahwa aparatur negara dijamin netral dalam semua tahapan Pemilu 2024 ternyata bermakna ”politis”, yang terjadi tidak seperti yang diucapkan.

Dalam makna yang lain, dalam realitas didorong bahkan ditekan untuk tidak netral, tetapi dalam pernyataan formal menyatakan netral. Inilah buah berpolitik miskin etika, bahkan defisit etika.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya