SOLOPOS.COM - FX Triyas Hadi Prihantoro, Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Solo

FX Triyas Hadi Prihantoro, Guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Solo

Masa Orientasi Siswa (MOS) sudah menjadi habitus (budaya) pada tahun ajaran baru. Semua siswa baru harus mengikuti masa orientasi (pengenalan). Di SMP dan SMA serta yang sederajat dikenal dengan nama MOS.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Dinas pendidikan dan kebudayaan daerah sebenarnya telah mengantisipasi dengan mengeluarkan edaran mengenai standard operational procedure (SOP) pelaksanaan MOS. Dengan standar itu, diharapkan MOS jauh dari kekerasan (perpeloncoan) baik seacara fisik maupun mental.

Nyatanya MOS sudah menjadi budaya bagi siswa senior untuk melakukan aksi balas dendam kepada junior. Padahal MOS mempunyai nilai strategis. MOS dengan segala implikasinya merupakan kegiatan legal. Sayang pengemasannya yang sering disalahartikan sehingga membuat siswa baru dan orangtua resah.

Akhirnya kepanjangan MOS sering dipelesetkan menjadi masa orangtua susah. Susah secara lahir karena mereka harus memenuhi tuntutan aksesori dari panitia yang sering aneh-aneh dan tidak masuk akal. Secara psikis, mereka juga khawatir anak mereka mengalami kekerasan fisik (bullying). Jadi, tidak hanya siswa baru yang stres, orangtua juga mengalami hal sama.

Dalam MOS, senior dan pendamping memiliki peran yang sentral. Mereka menjadi sorotan peserta MOS. Merekalah yang kali pertama dilihat, lalu diikuti, ditaati, dicermati, ditakuti dan dipatuhi perintah mereka. Makanya, sangat sayang sekali bila dalam MOS, mereka bersikap, bertutur kata dan bertindak yang kurang patut. Oleh karena itu, hindari perkataan (verbal), sikap, tindak tanduk maupun perbuatan kekerasan (bullying) dalam MOS.

 

Keteladanan

Sebaliknya, MOS perlu diisi dengan kegiatan positif dan keteladanan. Dibutuhkan semangat saling menghormati, menghargai, tepa slira, toleransi dalam kehidupan dunia pendidikan.

Budaya MOS harus berubah. Apa yang tertulis dalam surat edaran SOP MOS  yang menekankan pada pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN) harus ditaati oleh semua pihak. Semangat nasionalisme, wawasan kebangsaan, patriotisme, cinta Tanah Air, wawasan Nusantara, wawasan wiyata mandala, budaya tertib dan disiplin, benar-benar diaplikasikan.

Para tokoh bangsa mulai sedih dan khawatir terhadap anak muda yang mulai luntur dalam kecintaan kepada bangsa dan negara. Mudahnya generasi muda terbawa emosi lalu melakukan tindakan brutal dan tawuran membuktikan absurdnya mental spiritual, moril dan karakter mereka.

Cara untuk menanganinya adalah dengan membumikan kembali empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman dan penghayatan anak muda terhadap empat pilar itu kadang masih rendah. Tidak jarang anak muda sekarang tidak tahu isi Pancasila, tidak hafal dalam menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan beberapa lagu wajib serta tidak mengenal lagi tokoh-tokoh perjuangan bangsa.

Keterlibatan anggota TNI, birokrat dan tokoh masyarakat dalam MOS tidaklah tabu. Sebab, pembelajaran karakter anak muda diperlukan dari pengalaman tokoh-tokoh tersebut.

Dalam menangani anak muda, kita perlu meminjam istilah pendidikan dari Drijarkara “memanusiakan manusia muda”. Karena itu, kegiatan MOS harus berbingkai keteladanan. Harapannya, siswa baru merasa dihargai eksistensi mereka dan berusaha meniru para seniornya baik melalui materi, contoh nyata dan perbuatan. Buatlah komunikasi yang baik. Hilangkan bentuk kekerasan, balas dendam, kegiatan/penugasan yang aneh-aneh. Ganti dengan memupuk persaudaraan, kasih sayang dan keteladanan.

Masa orientasi adalah sarana fundamental untuk membangun citra yang baik. Dalam MOS, pendidikan berkelanjutan terbangun dan terjalin. MOS sebagai upaya dini untuk saling belajar, mendengarkan, memperhatikan, menghargai semua pihak yang terlibat dalam aktivitas.

Diharapkan, para pegiat MOS bekerja sama, bahu-membahu, membantu, berinteraksi dan membangun peradaban baru dalam lingkungan sekolah mereka. Masa depan sekolah merupakan tanggung jawab bersama sebagai satu keluarga besar dalam komunitas sekolah. Lewat sekolah, dibentuk  karakter anak.

Perubahan pola MOS dan keteladanan berkarakter perlu dimulai sejak sekarang. Sebagai bangsa yang beradab, kita sudah jenuh dengan suguhan di media televisi yang kurang mendidik. Orientasi keteladanan dalam MOS dimaksudkan untuk menghindari bentuk penyimpangan, perpeloncoan, keangkuhan, kekerasan, balas dendam dan hukuman.

Calon siswa ditumbuhkan jiwa sosial, rasa simpati, empati dengan semangat menolong dengan memberikan contoh baik secara visual melalui kegiatan kemanusiaan. Demi membangun kekompakan, kerja sama, jejaring dan loyalitas dibutuhkan  kegiatan semacam out bound.

Oleh karena itu budayakan MOS yang baru dengan merevitalisasi MOS yang konstruktif, berkarakter dan menumbuhkan kecintaan,  kebanggaan berbangsa dan bertanah air Indonesia.

Karena itu, guru harus total dan aktif dalam melakukan pengawasan kepada senior/alumni/pengurus OSIS yang sering kebablasan dalam melaksanakan MOS. Paling tidak, lakukan sesuai pedoman standar.

Harapannya, MOS bukan jadi momok namun representasi dari kegembiraan dan kekangenan dalam  berbagai kegiatan positif, berkarakter dan visioner. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya