SOLOPOS.COM - Ali Usman

Ali Usman, Alumnus Magister Agama dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogja (JIBI/SOLOPOS/dok)

Indonesia berpenduduk lebih dari 240 juta orang dan sebagian besar beragama Islam. Indonesia tiap tahun mendapat kuota jemaah calon haji cukup besar dibandingkan negara-negara lain di dunia. Tahun ini, Indonesia mendapat tambahan kuota 10.000 orang sehingga total jumlah jemaah mencapai 221.000 orang.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Faktanya, kuota sebanyak itu masih tetap kurang. Itu dibuktikan makin banyaknya calon haji yang masuk dalam antrean daftar tunggu (waiting list). Jumlah peminat ibadah haji tahun demi tahun makin meningkat. Bahkan di beberapa daerah, antrean makin panjang, baru bisa bertolak ke Tanah Suci dua atau tiga tahun ke depan.

Kondisi itu tentu harus mendapat perhatian serius. Perlu dicarikan solusi yang tepat. Kita bisa maklum bila negera melalui Kementerian Agama (berinisiatif) memberlakukan aturan tegas pelaksanaan ibadah haji, hanya sekali seumur hidup.
Ketika kita melihat dari konteks ibadah an sich ada yang janggal dari kebijakan ini karena urusan ibadah yang bersifat vertikal tidak bisa dicampuri oleh siapa pun. Tetapi, karena ibadah ini melibatkan berbagai aspek, mulai sistem transportasi, pelayanan dan kuota yang ditetapkan oleh Arab Saudi, negara dalam hal ini Kementerian Agama tidak bisa diam.

Negara harus ikut campur mengurusi persoalan haji agar sistem penyelenggaraan haji bisa berjalan baik. Ketika sistem ini berjalan dengan baik, citra Indonesia juga menjadi makin baik.

Status sosial
Makin panjangnya antrean calon haji setiap tahun menunjukkan kemampuan ekonomi sebagian warga negeri ini meningkat, di samping keimanan mungkin juga membaik. Di sisi lain, kita juga tak bisa menutup mata setiap musim haji tetap saja ada orang yang pernah menunaikan ibadah haji kembali masuk dalam kuota, entah itu untuk kedua kalinya atau bisa juga yang kesekian kalinya. Padahal kita tahu, wajib menunaikan haji itu hanya satu kali, selebihnya sunah (anjuran).

Kenyataannya, memang tak sedikit orang (kaya) yang menjadikan ibadah haji sebagai ukuran keberhasilan. Ibadah haji lebih mereka tujukan untuk mengangkat status di tengah masyarakat, sehingga memilih untuk menunaikan ibadah haji berkali-kali. Rasanya kritik yang dilontarkan tokoh besar Islam atau Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, patut menjadi renungan, sehingga kita benar-benar mengerti apa sebenarnya tujuan berhaji. Bukan hanya sekadar melepaskan kewajiban.

Imam Al-Ghazali dalam karyanya itu menyatakan tidak sedikit orang yang berangkat menunaikan rukun Islam kelima tanpa lebih dulu membersihkan jiwa dan hati. Akibat tak mengerti aspek-aspek ibadah haji yang berdimensi psikis maupun etis, setelah berada di Tanah Suci mereka bahkan tak mampu menjaga diri dari perbuatan dosa, meski sekadar untuk tidak mencela.

Bagi yang melaksanakan haji berkali-kali, apa yang dipaparkan Al-Ghazali bahkan relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Di tengah masih banyaknya rakyat miskin, pada saat masih banyak orang-orang kesulitan mencari sesuap nasi bagi dia dan anggota keluarganya, masih ada saja orang kaya tidak peduli.

Tidak sedikit orang-orang berada lebih memilih menunaikan ibadah haji untuk kesekian kalinya ketimbang memberikan sedekah atau bantuan kepada orang-orang yang miskin papa di sekitarnya. Mereka lebih memilih menjalankan haji sunah berkali-kali, dengan sasaran mengangkat gengsi.

Aspek keadilan
Kita harus memaknai pembatasan ibadah haji hanya sekali dalam seumur hidup bagi setiap muslim di negeri ini pada aspek keadilan. Bagaimana negara mengatur rakyatnya yang beragama Islam agar bisa mendapatkan jatah yang sama untuk melaksanakan ibadah haji. Adalah tidak adil, ketika daftar jemaah haji hanya berisikan nama orang-orang kaya yang pada dasarnya sudah pernah, bahkan sudah menjalani ibadah lebih dari dua kali.

Bagaimana dengan orang-orang biasa yang dengan tekun menabung untuk mengumpulkan biaya sampai mencukupi, ketika pada waktunya, ternyata harus berebut kuota dengan mereka yang sudah beberapa kali naik haji? Di sinilah pentingnya fungsi Kementerian Agama ”memaksakan” tegaknya. Kita bisa mengerti bahwa kebijakan ini berat, tetapi harus dijalankan agar ada pemerataan, sekaligus mendidik warga negeri ini agar tidak terjerat dalam kesombongan karena merasa sudah beberapa kali menjalankan ibadah haji.

Masih ada solusi bagi mereka yang ingin tetap bisa kembali menjalankan ibadah haji dengan ibadah umroh yang bisa dijalankan kapan pun, karena pelaksanaannya tidak terikat waktu. Memang, kebijakan pembatasan ibadah haji ini tidak hanya bersinggungan dengan orang-orang kaya yang berhasrat bisa menjalankan ibadah haji setiap tahun, tetapi juga akan berbenturan dengan biro perjalanan ibadah haji yang dikelola swasta.

Dengan pembatasan ini, secara otomatis bisnis mereka akan cenderung stagnan karena tergantung kuota yang sudah dipatok oleh Kementerian Agama. Tetapi apakah Kementerian Agama harus takut kepada para pengelola biro haji swasta? Kalau konteksnya Kementerian Agama benar-benar berkomitmen memperbaiki sistem pengelolaan haji, mengapa harus takut?
Mudah-mudahan ketentuan haji sekali seumur hidup tidak hanya membuka jalan atau memberikan kesempatan bagi orang-orang yang akan menunaikan rukun Islam kelima itu untuk pertama kalinya, tetapi juga bisa membuka hati para orang berkecukupan untuk bersedekah, ketimbang naik haji berulang kali karena gengsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya