SOLOPOS.COM - Didik G Suharto, Dosen Administrasi Negara FISIP UNS (FOTO/Istimewa)

Didik G Suharto, Dosen Administrasi Negara FISIP UNS (FOTO/Istimewa)

Ada dua hal kontras. Di satu sisi pihak-pihak (kelompok/pribadi) yang memiliki akses terhadap anggaran negara (APBN/APBD) seolah-olah dengan mudah memanfaatkan  anggaran itu bak milik pribadi. Pos-pos anggaran yang kadang tak jelas urgensinya bisa dengan mulus dibiayai melalui anggaran negara.
Bahkan sering dengan nominal yang berlebihan, sehingga muncul pemborosan-pemborosan. Sejumlah kasus proyek di DPR yang belakangan ini banyak disorot media merupakan sebagian contoh di antaranya. Di sisi lain, terdapat sebagian kaum marginal yang sama sekali tidak memiliki akses terhadap anggaran.
Mereka tidak mempunyai channel kepada elite-elite pengambil kebijakan (decision makers) yang bisa ”mengotak-atik” anggaran. Mereka–dari kelompok marginal–inilah yang sering tidak merasakan manisnya anggaran negara. Proyek untuk mereka tergantung kepekaan atau ”belas kasihan” dari sebagian decision makers.
Nasib kaum marginal akan semakin tergencet ketika sumber daya (baca: keuangan negara) yang tersedia terbatas. Hampir dapat dipastikan kepentingan kelompok marginal merupakan prioritas kesekian setelah usulan atau kepentingan dari pihak-pihak penguasa anggaran terpenuhi.
Dampaknya bisa diduga, proyek-proyek untuk masyarakat luas–meski sangat penting dan mendesak–akan tersingkir oleh proyek dari pihak yang menguasai anggaran. Fenomena kerusakan bangunan sekolah, terabaikannya pembangunan jembatan atau jalan rusak dan terbengkalainya fasilitas umum lain adalah beberapa contoh yang banyak dihadapi masyarakat.
”Hukum besi” relasi anggaran semacam itu menurut akal sehat harus diakhiri. Anggaran negara sejatinya adalah anggaran publik. Pemasukannya dikumpulkan dari publik atau masyarakat. Secara logika harus diberdayakan bagi kemaslahatan masyarakat pula.
Untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan, pemborosan atau bentuk ”pengkhianatan” anggaran lainnya, publik harus menjadi bagian dari anggaran. Dan sebaliknya, anggaran (baik dari proses penyusunan hingga evaluasi serta pemanfaatannya) harus menjadi bagian dari publik.
Prinsipnya, publik bisa merasakan manfaat atau memengaruhi pemanfataan anggaran negara. Minimal mereka harus tahu dari mana dan ke mana anggaran negara dibelanjakan.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Tiga Harus Dipenuhi
Paling tidak ada tiga hak publik yang mesti dipenuhi untuk mendorong pewujudan harapan tersebut. Pertama, hak publik untuk terlibat secara aktif dalam proses penyusunan anggaran. Keterlibatan publik dalam tahapan penyusunan anggaran melalui public hearing selama ini tampak sekadar sebagai pemenuhan syarat administratif (prosedural) daripada menghasilkan sesuatu yang substansial.
Demikian pula halnya dengan mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang sesungguhnya dimaksudkan untuk menjaring aspirasi masyarakat, juga hanya sebagian kecil yang terakomodasi. Hasil akhir dari proyek/kegiatan yang didanai APBN/APBD tetap di tangan para ”eksekutor” tim anggaran di legislatif/eksekutif.
Apabila menginginkan ada kontrol publik yang lebih kuat terhadap anggaran, publik semestinya diberikan kesempatan untuk memasuki wilayah lebih dalam saat proses penyusunan anggaran. Publik tidak hanya bisa bersuara pada awal pembahasan anggaran, namun dapat mengawalnya hingga detik-detik akhir penyusunan anggaran.
Tujuannya tidak cuma untuk memastikan bahwa anggaran yang sedang disusun berbasis (pro) kepentingan publik, tetapi juga untuk mengeliminasi terjadinya ”otoriterianisme” dalam penyusunan anggaran. Asumsinya, ada pengawasan publik berarti ada check and balance.
Kedua, hak publik untuk mengawasi pelaksanaan anggaran. Bukan hanya saat penyusunan anggaran terjadi penyimpangan. Saat implementasi juga merupakan wilayah rawan terjadi penyimpangan anggaran. Modusnya seperti mark up, lelang yang asal-asalan, proyek fiktif atau bentuk manipulasi yang lain.
Akses publik untuk memantau pelaksanaan anggaran penting dilakukan agar ruang gerak koruptor atau para pemboros semakin sempit. Perlu ada mekanisme yang bisa memaksa pengguna anggaran menyampaikan informasi kepada publik secara periodik terkait proyek/kegiatan yang sudah atau sedang dilaksanakan.
Alangkah lebih baik pula bila publik memiliki hak penelusuran awal pemakaian anggaran negara. Penyalahgunaan anggaran atau pemborosan anggaran lebih leluasa terjadi karena ada lorong-lorong gelap yang tertutup oleh akses informasi publik.
Ketiga, hak publik untuk mengevaluasi anggaran. Persoalan evaluasi anggaran, apalagi oleh publik, selama ini bukan sesuatu yang umum. Evaluasi anggaran oleh publik diharapkan menjadi terobosan baru untuk mengontrol para penyelenggara negara terutama dalam hal anggaran.
Melalui evaluasi, publik akan mengetahui konsistensi antara perencanaan (penyusunan) anggaran dengan pelaksanaannya. Publik juga bisa menilai efisiensi dan efektivitas sebuah program/proyek. Evaluasi publik secara umum akan bermanfaat untuk menjamin akuntabilitas pengeluaran setiap sen anggaran negara.

Transparansi & Partisipasi
Ketiga hak publik di atas merupakan satu rangkaian yang diharapkan menjadi solusi atas maraknya berita-berita negatif tentang anggaran negara. Kata kunci dari upaya-upaya tersebut ialah transparansi dan partisipasi.
Anggaran negara diperkirakan akan sulit terbebas dari perilaku korup, kolutif dan boros bila tidak ada transparansi dari para aparatur negara dan partisipasi dari publik dalam mengawal anggaran negara.
Keterlibatan publik dalam tahapan penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi anggaran tersebut  bukan dimaksudkan untuk mengintervensi atau menggusur peran lembaga-lembaga yang ada, tetapi untuk mendorong dan melengkapi tugas/fungsi masing-masing lembaga.
Untuk mewujudkan hak-hak publik yang disampaikan di atas, diperlukan perangkat hukum yang kuat dan tegas. Harus ada aturan main untuk menjembatani perwujudan hak-hak tersebut. Juga perlu ada sanksi ketika hak-hak itu dihambat atau sebaliknya disalahgunakan.
Sangat disadari bahwa pelaksanaan hak-hak publik atas anggaran negara memiliki tingkat resistensi tinggi. Lembaga-lembaga yang selama ini ada dan mempunyai ”hak istimewa” hampir dapat dipastikan kurang welcome dengan kehadiran publik dalam setiap tahapan anggaran.
Perilaku itu wajar, mengingat kontrol publik pada hakikatnya berpotensi menjadi pembatas bagi kewenangan lembaga-lembaga negara. Dan karena ada batas-batas itu pula diharapkan setiap lembaga tetap berada dalam kewenangan dan koridor etik masing-masing. Tanpa itu, anggaran negara mungkin saja hanya menjadi ajang ”permainan” para elite selamanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya