SOLOPOS.COM - Sri Hastjarjo (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Peristiwa ”gesekan” atau silang pendapat antar-civitas academica sebuah perguruan tinggi tentang praktik menyatakan pendapat di lingkungan kampus sering menjadi berita di media massa.

Tindakan manajemen kampus membatalkan atau membubarkan forum pengungkapan pendapat atau diskusi oleh organisasi kemahasiswaan paling sering mengemuka. Ini dipandang sebagai tindak pembatasan atau pemberangusan kebebasan akademik.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Ketika peristiwa itu diamplifikasi oleh media melalui pemberitaan, publik yang membaca bisa berpersepsi bahwa manajemen kampus mengkhianati kebebasan akademik. Ketika peristiwa semacam ini dikaitkan dengan isu sensitif yang sedang membayang-bayangi kampus yang sedang mendapat perhatian khusus dari publik makin menjadi perhatian banyak orang.

Gagasan tentang kebebasan akademik dalam konteks kampus muncul pada awal abad ke-19.  Wilhem von Humbolt, seorang filsuf dan ahli ilmu bahasa, diberi mandat oleh pemerintah Prusia mendirikan universitas di Kota Berlin.

Humbolt menerapkan dua prinsip freedom of scientific inquiry, and the unity of teaching and research atau kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah dan terdapat kesatuan antara penelitian dan pengajaran (Muller, 1985).

Dapat dipahami bahwa konsep kebebasan akademik itu terkait upaya penelitian dan pengajaran untuk pengembangan keilmuan, bukan untuk hal-hal nonakademik atau nonkeilmuan.

Gagasan Humbolt diikuti dunia akademik di berbagai negara. American Association of University Professors and of the Association of American Colleges (asosiasi profesor dan kampus Amerika Serikat) mendeklarasikan 1940 Statement of Principles on Academic Freedom and Tenure (aaup.org).

Penyataan prinsip kebebasan akademik ini lebih berfokus pada kebebasan dosen atau pengajar dalam melakukan penelitian dan pengajaran; sedangkan bagi mahasiswa hanya disebut bahwa mereka punya kebabasan untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam pernyataan tersebut juga ditegaskan bahwa para dosen atau pengajar harus berhati-hati untuk menghindari hal-hal yang kontroversial yang sama sekali tidak terkait dengan mata pelajaran yang dibahas.

Ketika mereka berbicara atau menulis untuk publik, mereka bebas mengungkapkan pendapat ilmiah mereka tanpa rasa takut terhadap sensor institusional atau sanksi disiplin, tetapi mereka harus dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berbicara dalam kapasitas mereka sebagai akademisi dan bukan atas nama institusi mereka.

UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak yang dimiliki oleh akademisi di perguruan tinggi atas kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan untuk melakukan penelitian, menyebarluaskan, dan menerbitkan hasil penelitian, kebebasan untuk mengemukakan pendapat tentang institusi pendidikan tinggi, kebebasan dari penyensoran yang bersifat institusional dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam badan-badan perwakilan akademik (UNIECO, 1997).

Dokumen UNESCO tentang kebebasan akademik ini berfokus pada hak dan kewajiban dosen atau pengajar, hampir tidak memberi perhatian pada anggota civitas academica yang lain, termasuk mahasiswa maupun tenaga kependidikan.

Dokumen ini menegaskan bahwa kebebasan akademik seorang dosen atau pengajar itu tidak bisa dilepaskan dari code of conduct (kode etik) yang berlaku dalam profesi mereka (Savage dan Finn, 1999).

Di Indonesia

Regulasi utama yang menyebut dan menjamin kebebasan akademik di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 8 ayat (1) menyatakan secara eksplisit bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Penjelasan Pasal 8 ayat (1) itu menerangkan kata ”akademik” dalam terminologi ”kebebasan akademik” dan ”kebebasan mimbar akademik” adalah sesuatu yang bersifat ilmiah atau bersifat teori yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dan terbebas dari pengaruh politik praktis.

Artinya, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik berlaku untuk hal-hal yang sifatnya ilmiah, terkait dengan pengembangan teori ataupun implementasi teori yang relevan dengan bidang keilmuan seseorang.

Pasal 9 undang-undang tersebut menyatakan kebebasan akademik merupakan kebebasan civitas academica dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan tridharma.

Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya.

Dua pasal tentang kebebasan akademik itu lebih berfokus pada dosen atau pengajar. Lalu bagaimana dengan kebebasan akademik mahasiswa? Yang jelas, mahasiswa sebagai bagian dari civitas academica juga memiliki kebebasan akademik.

Pasal 13 ayat (3) menyebutkan bahwa mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.

Mengacu definisi kebebasan akademik, mahasiswa memiliki kebebasan untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab. Kita bisa menarik benang merah bahwa kebebasan akademik yang dijamin oleh undang-undang itu terkait dengan isu yang memiliki batasan tegas, yaitu domain akademik atau keilmuan.

Ketika ada anggota civitas academica merasa dibatasi atau bahkan dipasung haknya untuk berkumpul dan menyatakan pendapat di lingkungan kampus, ia perlu mengevaluasi ulang apakah isu yang dibawa itu masuk dalam domain pendalaman dan pengembangan keilmuan yang relevan?

Apabila iya, barulah bisa dikatakan a kebebasan akademiknya sudah dilanggar. Apakah civitas academica tidak boleh menyuarakan aspirasi untuk isu-isu nonakademik atau nonkeilmuan? Tentu saja bisa.

Regulasi yang menjamin adalah UUD 1945, khususnya Pasal 28E yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Jadi, tidak tepat untuk memberikan label kebebasan akademik ketika isu yang diangkat itu tidak ada kaitannya dengan pengembangan keilmuan.



Kebebasan akademik harus dikaitkan dengan pencarian, pendalaman, dan pengembangan keilmuan. Dalam menggunakan kebebasan akademik, anggota civitas academica harus mengikuti norma dan etika akademik, yang mengedepankan kejujuran dan integritas, objektivitas, berbasis data dan fakta, serta menghargai pandangan atau pendapat ilmiah dari pihak lain—termasuk yang berseberangan.

Mengirim pesan provokatif tanpa identitas jelas, bicara tanpa verifikasi data, mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat, serta walk-out ketika pihak lain akan menyatakan pendapat bukanlah sikap dan tindakan yang mencerminkan penghargaan pada norma dan etika akademik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 Agustus 2023. Penulis adalah pengajar Ilmu Komunikasi dan Vice Chair International Communication Association Indonesia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya