SOLOPOS.COM - Agustinus Heruwanto (Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Salah satu hal yang sering kali menjadi pembicaraan tentang kegiatan sekolah adalah pekerjaan rumah. Pro dan kontra terhadap pekerjaan rumah ini muncul terkait dengan kegiatan belajar anak-anak.

Mereka yang pro mengatakan bahwa pekerjaan rumah untuk anak itu sangat diperlukan. Hal tersebut terkadang menjadi tolok ukur bahwa sekolah yang banyak memberikan pekerjaan rumah kepada anak manandakan bahwa sekolah tersebut sekolah yang hebat.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Mereka akan menilai sebaliknya ketika anak tidak pernah mendapatkan pekerjaan rumah dari sekolahan. Mereka akan mempertanyakan tentang keberadaan sekolah anaknya tersebut.

Bagi yang pro, pekerjaan rumah dapat menghindarkan siswa dari terus bermain dan dapat membantu siswa menyiapkan pelajaran berikutnya. Bagi yang kontra, pekerjaan rumah akan mengurangi waktu bersosialisasi di rumah, apalagi kalau pejerjaan rumah itu hanya memindah aktivitas dari sekolah ke rumah.

Persoalan lain muncul ketika orang tua mengetahui anak mendapatkan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Orang tua yang masih memiliki anak-anak di tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama sering kali mengeluh karena mereka disibukkan oleh pekerjaan rumah anak yang tidak dapat mereka pecahkan sendiri.

Pekerjaan rumah akhirnya memunculkan ketegangan antara orang tua dengan anak-anak. Ketika hal ini terjadi tentu gambaran pekerjaan rumah sebagai simbol sekolah yang kredibel mulai diragukan oleh orang tua.

Sering pekerjaan rumah juga menjadi beban bagi peserta didik. Nilai negatif yang muncul tentu saja bahwa anak justru menjadi tidak antusias dengan pekerjaan rumah itu. Bagaimana dengan pandangan Kurikulum Merdeka tentang pekerjaan rumah?

Berbagai pihak menyatakan bahwa dalam Kurikulum Merdeka pekerjaan rumah untuk anak tidak ada lagi, namun ada juga yang menyatakan bahwa pekerjaan rumah diperlukan. Tentu pekerjan rumah itu tidak sekadar memberi tugas yang tidak terselesaikan di sekolah.

Timothy Walker dalam buku Teach Like Finland (Gramedia, 2017) menjelaskan sesuatu yang menarik untuk kita cermati. Timothy menyatakan di Finlandia, salah satu negara yang menjadi poros pendidikan dunia, tetap ada pekerjaan rumah untuk peserta didik.

Pekerjaan rumah untuk peserta didik diberikan sebagai sarana untuk memberdayakan anak-anak sepulang sekolah. Timothy menjelaskan bahwa pekerjaan rumah yang diberikan relatif sedikit dan dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat.

Pekerjaan rumah yang diberikan merupakan pekerjaan rumah yang sederhana dan peserta didik dipastikan bisa menyelesaikan sendiri tanpa harus merepotkan orang tua. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa waktu pembelajaran di Finlandia lebih pendek daripada yang dijalani anak-anak di Indonesia.

Jam belajar anak-anak sekolah dasar di Finlandia hanya sekitar 24 jam setiap pekan. Melihat kenyataan yang seperti ini dengan kondisi yang berbeda, kita memang tidak bisa serta-merta menjadikan yang terjadi di Finlandia sebagai acuan kita.

Realitas di Finlandia tidak dapat dijadikan dasar dalam memutuskakn untuk menyatakan perlu atau tidak pekerjaan rumah diberikan kepada peserta didik. Lebih urgen untuk kita perhatikan tentu adalah sejauh mana peserta didik merasakan kesejahteraan dalam belajar.

Memberdayakan belajar peserta didik melalui pekerjaan rumah tentu bukan hal yang 100% salah karena memang kenyataan otak kita memerlukan hal tersebut, namun dengan memberikan beban pekerjaan yang terlalu banyak tentu akan berbanding terbalik dengan makna memberdayakan itu.

Senapas dengan harapan Kurikulum Merdeka, pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa hendaknya memupuk kreativitas siswa dan dapat benar-benar dikerjakan secara mandiri oleh peserta didik.

Ketika anak secara mandiri dapat menyelesaikkan pekerjaan rumah maka pekerjaan rumah benar-benar akan dapat memberdayakan belajar anak dan orang tua tidak akan lagi menjadi pemain kedua dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang diterima dari sekolah.

Pekerjaan rumah yang diberikan kepada peserta didik hendaknya bukan sekadar melanjutkan materi atau mengulang materi pelajaran di sekolah, tetapi bisa menguatkan pemahaman tentang materi dalam kehidupan sehari-hari.

Pekerjaan rumah juga harus membuka jawaban yang beragam dari peserta didik karena mereka akan mendapatkan sumber belajar yang berbeda-beda. Misalnya, pekerjaan rumah tentang makhluk hidup, peserta didik bisa diberi pekerjaan rumah untuk menuliskan nama mahluk hidup yang ada di rumah.

Tugas ini tentu akan menghasilkan jawaban yang berbeda-beda dari setiap peseta didik. Hal lain yang harus kita lihat tentu bahwa pekerjaan rumah ini tidak berujung pada sanksi yang diberikan kepada peserta didik.

Peserta didik yang belum mengerjakan bisa diminta tetap belajar dengan teman lainnya yang sudah mengerjakan sehingga anak tidak akan terbebani, tetapi tetap mendapat pengalaman baru.

Akhirnya, tentang perlu tidaknya pekerjaan rumah untuk peserta didik, jawabanya tentu bukan sekadar perlu atau tidak, tetapi sejauh mana pekerjaan rumah yang diberikan memberikan manfaat kepada makna pendidikan yang sebenarnya bagi peserta didik.

Hal lain yang tidak boleh kita lupakan adalah sejauh mana pekerjaan rumah tersebut membentuk kemandirian anak dan juga memberikan kesejahteraan bagi mereka sehingga akan selalu muncul kemauan untuk belajar.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Februari 2024. Penulis adalah guru SMA Pangudi Luhur St. Yosef  Kota Solo dan SMP Pangudi Luhur Bintang Laut Kota Solo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya