SOLOPOS.COM - Purwanto, Peneliti Madya Ekonomi Sumberdaya Ketua Kelompok Peneliti Sosial-Ekonomi BPTKPDAS Solo (ist)

Purwanto, Peneliti Madya Ekonomi Sumberdaya Ketua Kelompok Peneliti Sosial-Ekonomi BPTKPDAS Solo (ist)

Peraturan Daerah (Perda) Kota Solo No 9/2011 tentang Retribusi Daerah khususnya tentang  pengelolaan parkir menuai banyak kritik.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Kritik tersebut khususnya ditujukan kepada kenaikan tarif parkir yang sangat tinggi bagi masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.

Apakah masalah mendasarnya hanya tentang tarif yang tinggi?

Pengelolaan parkir merupakan bagian dari public services obligation, kewajiban pemerintah menyediakan layanan publik. Layanan publik yang dibutuhkan masyarakat dalam pengelolaan parkir adalah kendaraan yang dititipkan aman dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat lainnya.

Masyarakat meyakini kendaraan yang diparkir di tempat parkir resmi aman dari pencurian. Di sisi lain, dengan memanfaatkan area parkir resmi tidak mengganggu anggota masyarakat lainnya, seperti macetnya jalan, semrawutnya orang lalu-lalang dan pemandangan yang tidak nyaman akibat posisi kendaraan yang diparkir tidak teratur.

Untuk memberikan pelayanan parkir, pemerintah menarik retribusi dari pengguna layanan tersebut. Namun, penggunaan uang penerimaan  parkir itu sering salah konsep.

Penggunaan pendapatan negara dari retribusi berbeda dengan pajak. Pendapatan negara dari retribusi seharusnya dikembalikan untuk perbaikan jenis pelayanan yang sama kepada masyarakat.

Retribusi parkir seharusnya digunakan untuk perbaikan sarana perparkiran. Sedangkan pendapatan dari pajak, penggunaannya terserah pemerintah untuk pembiayaan  pembangunan sektor apa.

Untuk itu saya menggugah para pakar hukum untuk mengkaji ulang istilah retribusi dan pajak ini sehingga pemerintah tidak disalahkan oleh masyarakat yang semakin cerdas ini tentang penarikan dan pemanfaatan pendapatan negara dari retribusi ini.

Tarif parkir progresif diberlakukan berdasar Perda Kota Solo No 9/2011. Tarif progresif tersebut didasarkan pada jenis kendaraan dan lokasi parkir yang “gemuk” dan yang “kurus”.

Di negara maju jamak diterapkan tarif parkir progresif, parkir satu jam kedua lebih mahal dari jam pertama dan seterusnya. Selama ini, tarif parkir progresif ini juga sudah diberlakukan di beberapa tempat parkir di Kota Bengawan ini yang dikeloal pihak swasta. Hanya, cara pandangnya berbeda.

Tarif parkir progresif di Indonesia pada umumnya bertujuan agar pengelola parkir memperoleh pendapatan yang lebih besar sedangkan di negara maju agar pemakai jasa layanan parkir tidak memboroskan sumber daya ruang parkir dan waktu karena akan mengganggu atau mengurangi kesempatan anggota masyarakat lainnya untuk memanfaatkan sumber daya tersebut.

Di samping itu, kondisi ini merupakan proses pendidikan masyarakat secara tidak langsung agar memanfaatkan sumber daya secara efektif dan efisien.

Diskon
Bukankah orang Jawa memiliki pesan adiluhung dari nenek moyang: gemi nastiti. Gemi nastiti jangan hanya diartikan sempit untuk mengelola uang dan barang pribadi tetapi juga harus diimplementasikan dalam pengelolaan barang publik yang digunakan untuk kesejahteraan orang banyak.

Pembinaan kepada pengelola perparkiran khususnya tukang parkir harus terus digalakkan.

Kewajiban memakai seragam dan menjaga keamanan kendaraan yang diparkirkan harus lebih ditekankan. Masih banyak tukang parkir yang hanya mementingkan kendaraan konsumen yang akan keluar dari tempat parkirnya dan kurang memperhatikan kendaraan yang sedang melintas di jalan utama.
Mereka sering bilang “terus-terus”,  padahal di belakangnya sedang ada kendaraan yang melintas sehingga kawan saya orang Skotlandia yang mengajar di English Fisrt (EF) Solo, sering menyebutnya sebagai “Terus Man”.

Kenaikan tarif parkir yang mencapai 4-5 kali lipat, apakah tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi rumah tangga, khususnya masyarakat ekonomi menengah ke bawah?

Bila seseorang atau pedagang yang setiap hari pergi ke pasar, di  rumah tangga harus mengalokasikan anggaran 30 x Rp 2.000 = Rp 60.000.
Mahasiswa yang setiap hari harus makan tiga kali, untuk biaya parkir harus mengalokasikan anggaran minimal Rp 180.000 per bulan.

Padahal salah satu penggerak ekonomi Kota Solo yakni banyaknya mahasiswa dari luar daerah sehingga transfer uang yang masuk ke Kota Solo cukup tinggi.

Peningkatan alokasi pengeluaran rumah tangga untuk parkir tersebut merupakan economic disincentive, menimbulkan biaya ekonomi tinggi.

Jangan sampai orang enggan ke pasar, ke mal, atau makan di luar hanya karena sayang untuk bayar parkir sehingga pelaku bisnis akan merugi. Bagi rumah tangga ekonomi menengah ke atas, tarif parkir yang tinggi  merupakan pembelajaran agar tidak sering-sering berbelanja.

Mereka cukup sekali sepekan berbelanja karena barang belanjaan  yang mudah busuk dapat diawetkan di dalam kulkas sehingga hemat waktu, bahan bakar, mengurangi kemacetan dan kesemrawutan.

Sebelum menerbitkan Peraturan Walikota Solo tentang perpakiran yang akan diberlakukan pada 2012, masih ada hal yang harus dilakukan oleh Pemkot Solo dan pengelola parkir swasta di Kota Bengawan ini, yakni menyediakan ruang parkir yang nyaman dan tidak mengganggu pengguna jalan lainnya,  meninjau kembali tarif parkir yang didasarkan pada willingness to pay–keinginan dan kemampuan pelanggan untuk membayarnya, pembinaan kesadaran seluruh pengelola parkir bahwa tugasnya merupakan bagian dari pelayanan publik yang menginginkan keamanan, keselamatan dan ketertiban, penempatan kendaraan harus sesuai dengan garis satuan ruang parkir dan perlu melengkapi persyaratan teknis seperti seragam dan name tag.



Diskon tarif parkir bagi mahasiswa dan pelajar juga perlu dipertimbangkan sehingga tidak memberatkan mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya