SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Masihkah  peristiwa kelam yang dikenal sebagai tragedi Mei 1998 layak dan pantas untuk diingat dan dikenang? Meski sudah 25 tahun berlalu, peristiwa yang sedemikian mencekam lantaran diwarnai dengan aksi perusakan, pembakaran, dan penjarahan itu telah meninggalkan luka dan trauma yang begitu mendalam, khususnya bagi sebagian besar warga etnis Tionghoa di Indonesia.

Peristiwa itu yang kemudian dikenal sebagai puncak gerakan reformasi 1998 dengan ditandai lengsernya Presiden Soeharto mendudukkan peristiwa Mei 1998 tetap menjadi tragedi kemanusiaan yang setara dengan pembunuhan massal pada 1965-1966.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Tak mengherankan banyak pihak, baik secara personal maupun komunal, menuntut agar pengusutan kasus kekerasan pada tragedi Mei 1998 dituntaskan di bawah payung hukum yang pasti dan adil. Seorang pemuda, sebut saja Tommy, yang pada 1998 baru berumur dua tahun,  mengharapkan pengusutan tragedi itu dapat dituntaskan dan diselesaikan lantaran terkait dengan masa depan bangsa.

Tentu agak mengejutkan bahwa Tommy yang tidak sepenuhnya mengalami tragedi itu masih punya harapan akan terungkapnya misteri tragedi Mei 1998. Harapan ini tentu saja bukan semata-mata jatuh dari langit, tetapi ada cerita dan cita-cita yang turut membentuknya.

Dalam buku yang berjudul Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Marjin Kiri, 2018), Benedict Anderson menunjukkan bahwa peran anak-anak SD, SMP, dan SMA pada akhir zaman penjajahan Belanda amat menentukan berdirinya Republik Indonesia.

Berkat keberanian dan/atau kenekatan merekalah, perang melawan pasukan bersenjata modern mampu dihadapi hanya dengan berbekal ”restu kiai” dan ”bambu runcing”. Sungguh suatu perjuangan yang luar biasa dan tak terperikan karena sulit untuk dibantah bahwa tanpa pemuda, tak ada perlawanan sedahsyat itu, yang berujung diplomasi.

Dalam sejarah Indonesia pemuda baru mendapatkan saat dan tempat yang tepat pada masa revolusi 1945-1949. Pada masa itulah sebutan pemuda bukan sekadar slogan atau jargon demografis (sudah puber dan belum menikah) belaka, melainkan tanda yang sangat terhormat dan disegani karena dapat ikut berpolitik dan berperang.

Sebutan itu berlaku baik untuk cewek maupun cowok. Masalahnya adalah pemuda yang ditakuti oleh para pemimpin Belanda karena dipandang liar (wilde jongen), suka mengancam, menculik dan menahan, bahkan membunuh, pendidikannya tidaklah tinggi. Mereka tidak punya konsep politik yang jelas dan jarang berideologi.

Pengalaman mereka sangat terbatas dan tidak mampu berbahasa asing. Maka tak mengherankan ketika berhadapan dengan dunia luar mereka kerap merasa minder. Inilah yang mengakibatkan para pemuda kebanyakan hanya menjadi backing dari para pemimpin Indonesia yang mampu menangkap hasrat, keinginan, dan harapan mereka.

Hal ini pun bukan jaminan bahwa pemuda akan menjadi ”anak buah” yang patuh dan setia. Mereka bisa dengan cepat berubah ketika merasa bahwa para pemimpin justru menjadi pengkhianat atau menjadi lunak.

Apa yang diharapkan Tommy agar pemerintah ”menuntaskan dan menyelesaikan” pengusutan tragedi Mei 1998 agaknya mencerminkan semangat pemuda revolusioner pada masa lalu. Tanpa ada (semangat) pemuda seperti Tommy tidak mudah untuk mengharapkan ada kepedulian terhadap peristiwa Mei 1998.

Bahkan, sesudah 25 tahun berlalu, belum ada satu pun bentuk pertanggungjawaban negara yang diwujudkan dengan membawa para pelaku ke pengadilan, khususnya untuk tragedi Trisakti. Apalagi meski sudah ada rekomendasi dari tim gabungan pencari fakta tragedi Mei 1998, apa pun lembaga negaranya justru tidak bisa berbuat apa-apa.

Mungkin harapan Tommy tidak serevolusioner para pemuda pada masa lalu, bahkan bisa jadi justru dengan mudah dihalau karena tidak ada lagi kekuatan-kekuatan yang penting dan dapat diandalkan untuk menuntaskan dan menyelesaikan pengusuran tragedi Mei 1998.

Dengan kata lain, peristiwa itu sudah menjadi involusi politik pasca-Orde Baru yang tidak dapat ditentukan lagi kapan dan di mana akan dituntaskan, apalagi diselesaikan. Ironis memang. Namun, harapan yang dinyatakan oleh Tommy sebenarnya masih dapat menjadi ”jalan keluar” untuk mengobarkan kembali semangat ala ”revoloesi pemoeda” dalam menindaklanjuti pengungkapan tragedi Mei 1998.

Meski terkesan ”liar”, semangat pemuda paling tidak telah ditempa oleh empat nilai dasar, yaitu kesederhanaan, semangat kerja sama, solidaritas, dan keikhlasan. Dengan demikian, tak ada pamrih apa pun yang diharapkan dari pemuda seperti Tommy yang masih berharap peristiwa Mei 1998 dapat dijadikan pelajaran, khususnya dalam konteks historis/sejarah, untuk membangun republik ini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Mei 2023. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya