SOLOPOS.COM - Albertus Rusputranto PA Pegiat Forum Pinilih Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Albertus Rusputranto PA, Pegiat Forum Pinilih Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Sabtu (31/3/2012) dini hari, dalam sidang paripurna yang diwarnai walk out dua fraksi, DPR memutuskan untuk menyetujui penaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak). Meskipun kesepakatan yang terjadi mengarah pada penundaan waktu pelaksanaannya tetapi dipastikan paling cepat enam bulan, setelah ketok palu, harga BBM di negeri ini naik.

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Demonstrasi mahasiswa dan buruh di berbagai kota di Indonesia yang menolak rencana penaikan harga BBM, sekali lagi, tidak berhasil mengetuk hati nurani sebagian besar anggota DPR yang bersidang. Suara media (cetak maupun elektronik) yang mengawal perjuangan masyarakat penolak rencana penaikan harga BBM pun akhirnya tidak berkutik dengan keputusan sidang paripurna.

Tanpa menafikan usaha dari Fraksi PDIP, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Hanura, Fraksi PKS, media massa, demonstrasi mahasiswa dan buruh, beberapa elemen masyarakat yang lain serta beberapa tokoh, secara umum rakyat sudah menduga bahwa akhirnya rencana penaikan harga BBM bakal disetujui.

Hampir bisa dipastikan setiap rencana penaikan harga, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga usaha, di negeri ini selalu berhasil diwujudkan. Kalau pun terjadi kompromi paling hanya berbentuk penundaan waktu pelaksanaan. Pendek kata, rakyat negeri ini sudah terbiasa dengan praktik penaikan harga, apa pun; tidak ada kata turun untuk ”harga” di negeri ini kecuali harga diri!

Rakyat negeri ini sudah titen dengan fenomena ini. Itulah yang menyebabkan mereka lebih rileks dalam memantau perkembangan rencana penaikan harga BBM di televisi. Banyak dari mereka yang sejak awal sudah apatis,”Ngapain demonstrasi sampai begitu, harga BBM sudah pasti naik kok.” Rakyat mau tidak mau harus menjalani hidup dalam kondisi seperti ini. ”Yah, kalau bisa beli ya beli, kalau tidak ya enggak beli,” demikian akhirnya sikap yang bisa mereka ambil. Rileks saja, sebab sejauh ini mereka juga sudah niteni kalau kebanyakan mereka tetap akan membeli. Kenaikan harga, di negeri ini, seakan-akan adalah keniscayaan.

Kenaikan harga di negeri ini sudah biasa. Yang tidak biasa adalah penurunan harga. Alasan untuk menaikkan harga tidak pernah tidak logis. Selalu masuk akal meskipun belum tentu benar dalam ukuran kebenaran yang lain. Logika kenaikan harga-harga di negeri ini dilandaskan pada posisi nilai mata uang kita dibandingkan dengan dolar Amerika Serikat.

Inilah juga yang menyebabkan aliran tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri menderas. Honor tinggi merupakan alasan yang paling kuat yang menyebabkan mereka memberanikan diri mengadu nasib di negeri orang. Dalam kasus ini, yang perlu ditanyakan lagi, sebenarnya honor mereka (TKI) memang tinggi atau karena nilai mata uang kita yang rendah?
Kita menganggap kenaikan harga adalah keniscayaan, konsekuensi logis sebagai warga dunia. Seakan-akan memang demikianlah seharusnya. Mitos globalisasi begitu kuat dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik rakyat jelata maupun para elitenya. Penerimaan terhadap mitos inilah yang terus memosisikan negeri ini dalam posisi inferior, yang ”harus” menerima apa saja keputusan ”global”.

Kita lupa bahwa dolar bukan mata uang ”global”. Dolar yang dipakai sebagai ukuran mata uang di pasar global ini adalah dolar Amerika Serikat! Negeri ini seharusnya berani memecahkan mitos globalisasi, termasuk banyak lagi mitos global yang selama ini begitu saja kita konsumsi.

Mentalitas
Kita seharusnya bisa melihat bahwa mitos pasar global adalah upaya perluasan pasar dari negara-negara produsen untuk sebanyak-banyaknya keuntungan kapital. Upaya-upaya ini begitu canggih sehingga negara-negara yang dikuasainya merasa nyaman dengan bentuk kekuasaan yang mengungkungnya.

Tanpa disadari, kemenyerahan kita terhadap mitos pasar global yang diartikulasikan sebagai pasar bebas menghilangkan batasan komunitas bangsa. Keinternasionalan para konsumen mitos memudarkan nasionalisme, dan cara yang paling jitu adalah dengan mengungkungnya dalam bayangan kesetaraan. Menginternasional menjadi serupa candu bagi masyarakat dari negara-bangsa yang bermental inferior.

Indonesia adalah salah satu negara-bangsa yang tergila-gila dengan predikat internasional, sehingga banyak elite kita yang bangga mengimpor ikan laut, garam, bawang, buah-buahan, minyak bumi, film, gaya hidup, kurikulum sekolah dan banyak hal lagi yang seharusnya tidak perlu.

Bukankah aneh kalau Indonesia yang wilayah terluasnya adalah laut tetapi kita mengimpor ikan dan garam? Bukankah aneh negeri yang ”kayu dan batu jadi tanaman” mengimpor hasil bumi? Bukankah aneh negeri yang di beberapa sumur minyaknya disedot oleh perusahaan asing merasa kekurangan minyak? Bukankah aneh negeri yang di ujung timur wilayahnya menyimpan berlimpah emas tetapi nilai mata uangnya rendah?

Persoalan ekonomi di Indonesia tidak pernah terlepas dari mentalitas bangsa. Tentu persoalannya tidak sesederhana yang dibayangkan, tetapi apakah tidak mungkin kita memperjuangkannya? Benar bahwa harga bensin di Indonesia termasuk murah dibandingkan beberapa negara lain di Eropa yang notabene tidak mempunyai sumur minyak, namun benar pula bahwa harga bensin di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negaranya Hugo Chavez yang, sama seperti kita, mempunyai beberapa sumur minyak. Bedanya, Venezuela berani menasionalisasi tambang-tambang minyaknya sementara Indonesia bangga melayani tuan-tuan ekspatriat menyendoki hasil bumi kita!

Sebagaimana kenaikan harga, penurunan harga berbagai kebutuhan masyarakat sebenarnya bukan hanya persolan ekonomi belaka. Dua hal tersebut juga berhubungan langsung dengan persoalan harga diri bangsa, yang kemudian implikasinya pada seberapa mahal, atau seberapa murah, kita secara ekonomi, politik, sosial dan budaya, dihargai oleh bangsa-bangsa lain.

Beranikah pemerintah menerapkan kebijakan menurunkan harga minyak bumi dan berbagai kebutuhan pokok masyarakat? Ini adalah langkah awal untuk hadir dalam pergaulan internasional dengan lebih bermartabat, bukan dengan paket-paket pariwisata yang sangat orientalistik atau dengan paket-paket kurikulum sekolah, dari playgroup hingga perguruan tinggi, yang sok menginternasional, padahal hanya perkara bahasa pengantarnya bahasa Inggris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya