SOLOPOS.COM - Chelin Indra S (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Ibu adalah role model terkuat dari kaum perempuan di berbagai penjuru dunia yang memiliki peranan penting bagi masa depan suatu generasi. Semua orang—kecuali Adam dan Hawa—lahir  dari rahim seorang perempuan.

Peran perempuan terlihat jelas dalam perjalanan peradaban manusia. Ada harga yang harus dibayar agar perempuan memiliki kebebasan menentukan jalan hidupnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perempuan dimaknai sebagai orang yang mempunyai vagina, biasanya dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, atau menyusui.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

Definisi tersebut secara tidak langsung menunjukkan kodrat perempuan sebagai makhluk Tuhan yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan memberikan kasih sayang kepada keluarga. Pada dasarnya perempuan juga memiliki banyak peran dalam kehidupan.

Peran perempuan dalam keluarga adalah sebagai anak untuk orang tuanya, istri untuk suaminya, dan ibu untuk anak-anaknya. Sedangkan pada peran yang lain, perempuan juga punya tanggung jawab sosial sebagai bagian dari masyarakat. Ini menjadi tantangan besar bagi mereka sepanjang massa.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, perempuan selalu memikul beban yang besar dalam kehidupan. Banyak kisah kehidupan masa lampau menjelaskan dan melegitimasi bahwa perempuan adalah makhluk yang harus tunduk dan patuh kepada laki-laki.

Inilah yang menjadi akar dominasi laki-laki terhadap perempuan hingga menciptakan sistem patriarki  di masyarakat. Pada masa Yunani kuno, perempuan sering dipaksa menuruti semua kehendak orang tua, termasuk menikah dengan laki-laki yang tidak disukai.

Setelah menikah, tugas mereka adalah merawat dan mendidik anak, tak ubahnya seperti para pengasuh anak pada masa kini. Pada masa kejayaan Romawi, masyarakat terbiasa memandang istri seperti anak yang harus selalu diawasi. Ketika seorang perempuan sudah menikah, segala yang dimilikinya beralih menjadi kekuasaan suami.

Para istri pada zaman itu tidak diizinkan ikut campur dalam pengambilan keputusan untuk urusan apa pun. Seorang istri pada masa itu tidak lebih sekadar barang pajangan dalam rumah tangga. Beberapa kepercayaan orang Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Dalam ikatan pernikahan, lelaki Yahudi berhak melakukan apa pun sesuka hati kepada istrinya. Sang istri tidak boleh mengeluh atas tindakan apa pun, bahkan yang tidak disenangi, dari sang suami. Pandangan serupa juga dianut masyarakat di jazirah Arab sebelum datangnya Islam.

Pada zaman jahiliah (zaman kebodohan—sebelum datangnya Islam) perempuan berada pada tingkat yang sangat rendah dan menjadi simbol keterbelakangan serta kehinaan. Mereka hidup dalam penghinaan dan tidak memiliki hak apa pun dalam keluarga, selain menuruti perintah sang suami.

Kesetaraan

Kedudukan perempuan mulai berubah setelah datangnya Islam yang membawa nilai-nilai keadilan dan kasih sayang. Islam memberikan perhatian yang besar terhadap kaum perempuan sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Islam mengajarkan tentang persamaan nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan dengan  tanggung jawab yang berbeda. Islam datang dengan ajaran saling menghormati harkat dan martabat antara perempuan dan laki-laki.

Ajaran Islam memperluas ruang gerak dan memenuhi hak-hak perempuan tanpa mengesampingkan hak kaum laki-laki dalam berbagai bidang. Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 34 secara eksplisit menjelaskan laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.

Ayat ini sering dimaknai begitu saja tanpa dikaji lebih mendalam untuk menekan perempuan agar tunduk dan patuh kepada laki-laki dalam segala hal, terutama dalam rumah tangga. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan ayat tersebut tidak langsung menyebut perintah yang menyatakan bahwa laki-laki wajib menjadi pemimpin, atau perempuan mesti menerima kepemimpinan laki-laki.

Pakar tafsir Al-Qur’an dari Minangkabau itu berpendapat ayat itu tidak mengandung makna amar (perintah), melainkan khabar (berita). Dia menafsirkan ayat tersebut sebagai berita bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan yang secara naluriah dalam konteks keluarga akan memberikan perlindungan kepada perempuan yang menjadi istrinya.

Pandangan yang sama juga dikemukakan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah. Dia menyatakan ayat tersebut menjelaskan ada dua pertimbangan yang membuat laki-laki dinyatakan sebagai pemimpin bagi perempuan.

Pertama, keistimewaan laki-laki baik secara fisik maupun psikologis yang lebih menunjang tugas kepemimpinan. Kedua, laki-laki telah membelanjakan hartanya untuk kepentingan perempuan. Laki-laki dan perempuan diciptakan dengan peran yang berbeda.

Ada beberapa kelebihan untuk menjadi seorang pemimpin yang diberikan Tuhan kepada kaum laki-laki, seperti ketahanan fisik dan psikis. Kendati demikian, Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada laki-laki, utamanya suami, tidak boleh mengantarkan pada kesewenang-wenangan.

Dibutuhkan komunikasi yang efektif dalam setiap rumah tangga agar tercipta keharmonisan dan tidak ada lagi keluhan tentang beban ganda (double burden) pada seorang istri yang memilih untuk berkarya di luar rumah untuk membantu menambah tabungan keluarga atau sekadar memenuhi aktualisasi diri sembari mengurus rumah tangga.

Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di sektor publik, tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya.

Tanggung jawab masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya para perempuan mengalami beban yang berlipat ganda. Besarnya peran dan tanggung jawab perempuan jika tidak diseimbangkan dengan baik dapat memengaruhi kesehatan mental, bahkan memicu keretakan dalam rumah tangga.

Peran ganda perempuan sudah terjadi sangat lama di masyarakat sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dianggap normal, padahal itu merupakan suatu bentuk ketidakadilan gender pada salah satu jenis kelamin.

Pada era saat ini, melihat perempuan karier adalah hal yang wajar. Dewasa ini banyak perempuan sukses menjadi pemimpin suatu organisasi. Terkadang beberapa sisi melihat perempuan berkarier harus mengorbankan keluarganya.

Manakah yang lebih baik? Berkarier atau berkeluarga? Jawabannya tentu semuanya baik karena setiap orang memiliki cara masing-masing untuk menjalani peran dan memikul tanggung jawab tersebut. Tidak ada yang lebih unggul maupun kurang.



Semua perempuan yang telah berkeluarga dan menjalani peran sebagai istri sekaligus ibu memiliki tantangan tersendiri yang membutuhkan dukungan dari laki-laki sebagai suami sekaligus kepala keluarga.

Menjadi ibu dan memilih berkarier tentu menghadapi tantangan yang luar biasa, terutama dalam hal membagi waktu antara karier dan keluarga. Tidak boleh ada yang dikorbankan, tetapi harus ada yang menjadi prioritas.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi13 Desember 2022. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya