SOLOPOS.COM - Nadia Shafiana Rahma(Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Kota Solo sebagai  the spirit of Java  akan selalu penuh dengan tradisi, ritus, dan simbol yang hidup dan terjaga (diuri-uri). Haul atau khol salah satunya. Haul/khol  berasal dari kata bahasa Arab haala-yahuulu-haulan yang berarti satu tahun atau mencapai satu tahun (sanah).

Jalaludin  As-shuyuti dalam kitab Syarh ash-Shudur bi Syarhilal al-Mauta wa al-Qubur (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996) menyatakan haul mengacu pada Nabi Muhammad yang setiap tahun ziarah ke makam syuhada perang uhud (yazuru syuhada uhud kula haul). Di makam para syuhada, Nabi berdoa dengan mengeraskan suaranya.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Keselamatan dan kesabaran atas kamu semua. Inilah sebaik-baik rumah, tempat kembali  (salamun alaikum bima shabartum fani’ma ‘uqbad dar).  Tradisi haul Nabi ini kemudian diikuti dan dilestarikan oleh Abu Bakar, Umar, dan Ali (tsumma Abu Bakar yaf’alu mitsla dzalik, tsumma Umar, tsumma Usman). Hadis diriwayatkan oleh Baihaqi dari Al-Waqidi.

Secara akademis ada beberapa pendapat  dari mana  muasal haul atau ritual kematian sampai kepada kita saat ini. Pertama, tradisi haul ada sejak zaman pra Islam di Nusantara, tepatnya pada masa Hindu dan Buddha.

Kedua, haul berasal dari Campa muslim (Vietnam Selatan) yang migrasi ke Nusantara lalu mengenalkan tradisi mereka yang diperoleh dari  Turkistan, Persia, Bukhara, dan Samarkand. Ketiga, haul berasal dari Hadramaut yang dibawa secara langsung ke Nusantara oleh para pedagang dan juru dakwah.

Tampaknya kuncinya bukan pada dari mana muasal tradisi haul, tetapi pola akulturasi penyebaran Islam yang menyebabkan haul tetap ada dengan nuansa keagamaan dan budaya  seperti sekarang ini.

Dalam tradisi masyarakat Kota Solo, haul dimaknai sebagai tradisi rutin peringatan meninggalnya tokoh, seperti syekh, wali, sunan, kiai, habib, dan lain-lain yang dilaksanakan setahun sekali pada tanggal meninggalnya untuk memperingati jasa, perjuangan, karomah, keteladanan, akhlak, dan keutamaannya.

Haul adalah ritus untuk orang yang meninggal setelah perjalanan kematian hari pertama (ngesur tanah), ketiga (telung dinan/telung dina), tujuh hari (pitung dinan/pitung dina), empat puluh hari (petangpuluhan/petangpuluh dina), seratus hari (satusan/satus dina), satu tahun pertama (mendhak pisan), satu tahun kedua (mendhak pindho), seribu hari (nyewu), dan haul/khol (peringatan kematian setiap tahun).

Pada mendhak pertama dan kedua sebetulnya bisa dikatakan sebagai haul (setahun setelah kematian), namun pada peringatan haul sangat jarang yang menyebut mendhak (mendhak hanya digunakan untuk setahun pertama dan kedua).

Haul  di Solo  dilakukan  di banyak  tempat, mulai dari keraton, masjid keraton, pesantren, balai kota, sampai di rumah-rumah penduduk. Haul  Habib Ali Al-Habsyi, penyusun kitab yang mendunia Simt al-Durar fi Akhbar Mawlid Sayyid al-Bashar di Pasar Kliwon, Kota Solo, adalah salah satu haul skala besar.

Haul-haul para tokoh jamak dihadiri ribuan orang sampai ratusan ribu orang.  Masih banyak lagi ulama di Solo yang juga dihauli seperti K.H. Muhammad Sulaiman Tegalsari dan K.H. Idris, salah satu kiai di Kota Solo yang nyantri langsung kepada Mbah Sholeh Darat Semarang.

Lebih banyak lagi adalah tradisi haul yang hidup di tengah masyarakat yang sifatnya lebih terbatas, di kampung-kampung dan keluarga. Haul pada para pendiri kampung, kiai kampung, dan juga para orang tua yang dihauli oleh para putra putrinya.

Besar kecilnya haul biasanya sangat dipengaruhi kemasyhuran sang tokoh yang dihauli di tengah masyarakat dan kemasan acara haul, misalnya haul K.H. Ahmad Siroj, K.H. Ahmad Umar Abdul Manan, K.H. Dimyathi Termas. Jemaah yang hadir puluhan ribu orang.

Pada haul  Habib Ali Al-Habsyi yang lebih dikenal dengan haul Solo, jemaah yang hadir lebih dari dua ratus ribu orang. Haul ini dihadiri bukan hanya oleh masyarakat Solo dan sekitarnya, namun dari penjuru Indonesia, termasuk dari luar negeri seperti Amerika, Kanada, Australia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan negera-negara sekitar Hadramaut.

Ritus haul pada prinsipnya, siapa pun tokohnya, yang paling utama adalah membaca zikir, tahlil, berdoa untuk sang tokoh semoga mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah SWT. Tahlil bisa dilaksanakan dengan langsung berziarah ke makam dan atau di majelis haul.

Pada sebagian diadakan khataman Al-Qur’an, bisa bil ghaib (melantunkan Al-Qur’an tanpa melihat teks/hafalan) maupun bin nadhar (membaca teks Al-Qur’an). Ada juga pembacaan selawat dengan hadroh.

Biasanya juga disertai pembacaan jasa dan perjuangan sang tokoh yang disebut dengan manaqib. Ada beberapa testimoni dari para pihak yang mengerti sang tokoh. Juga ada pengajian umum yang disampaikan oleh penceramah kiai, habib, dan tokoh agama lainnya.

Sebagai  momentum berkumpulnya begitu banyak orang, haul selalu ada aspek perdagangan dan ekonomi serta wisata. Kematian begitu dimuliakan, dislameti (selamatan), dan dihauli karena merupakan bagian perjalanan manusia kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi) yang pasti dialami semua manusia.

Hidup  hanya mampir minum  (urip iki mung mampir ngombe). Hidup hanya menjalani  (urip iki mung saderma nglakoni). Menerima apa yang menjadi pemberian-Nya (nrima ing pandum).

Begitu tak berdayanya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa, maka manusia untuk kembali harus  teguh pada  sejatining urip dan menjadi manusia yang   sugih tanpa bandha (kaya tanpa harta).

Manusia juga diajarkan digdaya tanpa aji (tak terkalahkan tanpa kesaktian), nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa pasukan), menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan), trimah mawi pasrah (menerima juga pasrah).

Suwung pamrih tebih ajrih (jika tanpa pamrih tak perlu takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang meskipun ada duka dan suka), anteng mantheng sugeng jeneng (tidak macam-macam membuat nama baik terjaga).

Haul sesungguhnya mengingat kematian (dzikr al-maut). Meneladani perjuangan, kerja keras, dan kebaikan (uswatun hasanah). Supaya manusia hatinya damai dan tenteram (qalbun salim), hidupnya baik (hayatan thoyyibah)), dan  selamat ketika menjemput kematian (husnul khatimah). Inilah wong apik (orang baik) dan wong putih (orang putih).

(Esai ini terbiat di Harian Solopos edisi 7 November 2023. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Bahasa Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta dan Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya