SOLOPOS.COM - Moh Rofqil Bazikh (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Paul  Tillich(1886-1965), seorang teolog, pernah mengatakan agama mampu merasuki sisi terdalam pemeluknya. Sejarah panjang agama, secara spesifik Islam, menunjukkan itu. Banyak fenomena yang mengeksplanasi kita tentang kekuatan agama.

Agama mampu merasuki sisi terdalam pengikutnya. Pada era digitalisasi kini kekuatan agama makin masuk ke sisi terdalam pemeluknyta. Pengajian, ceramah, dan aktivitas keagamaan makin intensif di platform digital dan selalu terbarukan.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Agama mempunyai sisi dinamis dan tidak rigid. Bisa menyesuaikan dengan zaman. Ini sekaligus gambaran media digital memenuhi kebutuhan kita. Kebutuhan primer hingga tersier semuanya nyaris dipenuhi oleh media digital. Media digital saat ini tidak hanya melayani kebutuhan masyarakat yang sifatnya empiris.

Tidak hanya memenuhi hasrat manusia yang material, tetapi juga memenuhi kebutuhan nonmaterial. Konten-konten religius diproduksi karena menarik banyak atensi publik. Utamanya atensi positif dari kaum milenial—dan generasi Z—yang sedang mencari jati diri (Mike, 2019).

Konten-konten religius mendapat banyak atensi positif. Mampu memantik anak-anak muda mengaplikasikan Islam secara formal: hijrah. Lema ini beberapa tahun belakangan mencuat dan disokong oleh kekuatan media digital.

Fenomena hijrah mempunyai tempat tersendiri di lingkaran kaum muda yang sedang mencari jati diri. Anak muda yang merasa bosan dengan ingar bingar pergaulan bebas menjadikan ini sebagai jalan pulang.

Dari aspek sosiologis, hijrah adalah manifestasi gerakan sosial keagamaan baru yang menjadi langkah alternatif menanggulangi problem krisis identitas dalam aspek religiositas individu dan tindak-tanduk sehari-hari.

Hijrah sebagai transformasi religius yang diaplikasikan dalam perubahan perilaku beragama dalam wadah kolektif. Sebagai gerakan sosial hijrah dibutuhkan untuk memantik kesadaran ihwal pentingnya agama bagi kehidupa manusia.

Dari mana asal konsep hijrah itu? Dalam sejarah Islam hijrah adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Dalam konteks yang spesifik, perpindahan dari Mekkah ke Madinah. Kini term tersebut mengalami reduksi yang lumayan besar dan asosiasi yang berbeda.

Berpindah dari yang semula setengah-setengah dalam mengimplementasikan nilai normatif Islam menuju implementasi yang kafah, setidaknya dalam barometer mereka. Pergeseran makna ini menarik dan penting dibicarakan.

Dalam tesmak saya, pemaknaan lema hijrah telah mengundang kontestasi. Secara faktual banyak yang menjadi oposan bagi kalangan ini. Aliansi tersebut kemudian berebut dan mencoba mempersoalkan konsep hijrah kontemporer. Itu sah-sah saja.

Saya masuk di medan kontestasi dengan mengetengahkan konsep hijrah yang lebih kontekstual. Kendati tidak menolak secara penuh konsep hijrah yang dikenal belakangan, juga tidak menerima secara utuh. Ada bagian-bagian yang penting untuk direkonstruksi sehingga lebih relevan.

Pada era kiwari hijrah ala kaum milenial adalah perpindah dari yang sebelumnya kurang kafah dalam mengaplikasikan ajaran agama menuju kekafahan. Dalam konsep lain disebut ”kelahiran kembali”.

Krisis Lingkungan

Dalam istilah para sarjana studi agama disebut intrakonversi. Konversi dari yang semula tidak begitu ketat dalam mengaplikasikan ajaran agama menuju implementasi yang totalitas. Dalam membentuk makna hijrah yang baru ini saya menggunakan pendekatan apresiatif-kritis.

Saya mengapresiasi makna hijrah yang kini menjadi dogma di kalangan generasi kiwari ditambah kritik. Ini penting menuju pemaknaan yang sempurna dan tidak hanya menjadi proses pembenahan diri.

Pemaknaan hijrah yang seperti itu kurang memberi kemaslahatan karena hanya berhenti pada titik pembenahan diri pribadi. Makna baru hijrah yang saya ajukan melampaui itu semua. Lebih jauh lagi hijrah ini dapat ditiupi roh baru untuk lebih memerhatikan relasi manusia dengan alam.

Dengan demikian terjadi tiga kelindan erat yang sirkular antara manusia, alam, dan Tuhan. Diskursus tentang alam(ekologi) memang nyaris tidak ditemukan dalam gagasan hijrah yang berkembang kini.

Krisis lingkungan dan iklim adalah tema paling eksostis belakangan, selain tema kerusakan moral remaja. Rasa-rasanya tidak cukup asosiasi makna hijrah hanya pada pembenahan moralitas.

Untuk memberikan pemaknaan yang progresif patut kiranya melihat isu paling strategis belakangan: isu lingkungan. Perlu upaya agar agama tidak terbatas pada ibadah ritual dan pembenahan moral.

Agama tidak hanya rules terkait dengan relasi vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan manusia. Agama juga melibatkan eksistensi alam yang urgen diperhatikan. Dengan demikian, muncul konsep hijrah yang ekosentris.

Dengan instrumen ini diharapkan mampu mewujudkan kaum muda yang berwawasan ekologis. Kaum muda yang menolak watak eksploitatif terhadap alam dan menentang segala bentuk industri ekstraktif yang merusak.

Misi utama hijrah ini bukan perbaikan moral semata-mata, melainkan perhatian terhadap kerusakan lingkungan dan deforestasi besar-besaran. Dengan kerangka seperti itu, saya rasa spirit hijrah rebih relevan dan memberikan gerakan yang progresif. Beranjak ke kesalehan sosial, bahkan kesalehan ekologis.

Inilah makna hijrah yang saya ajukan dan sebagai usaha lompat pagar dari pemaknaan hijrah yang biasa. Selama ini makna hijrah dimonopoli kelompok yang sering menutup diri di hadapan kerusakan lingkungan. Sudah saatnya kita rebut makna itu dan kita teriakkan dengan lantang!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Januari 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya