SOLOPOS.COM - Rudi Hartono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Angka 271 sedang jadi pembicaraan, seperti angka keramat. Itu angka tentang potensi kerugian negara, yakni Rp271 triliun, dalam kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada 2015-2022.

Sebanyak 16 orang ditetapkan sebagai tersangka. Uang senilai itu jika ditulis dengan angka lengkap adalah Rp271.000.000.000.000 atau Rp271.000 miliar. Ada yang mengandaikan uang tersebut jika ditumpuk bisa membentuk gedung pencakar langit.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Apabila menabung Rp1 miliar per hari, untuk mendapatkan Rp271 triliun membutuhkan 271.000 hari atau 742 tahun. Banyak yang gagal memahami kemunculan angka Rp271 triliun tersebut. Angka itu dianggap seluruhnya berwujud uang, padahal angka itu adalah akumulasi potensi kerugian negara yang mayoritas dalam bentuk kerugian lingkungan/ekologi kawasan hutan.

Kerugian kawasan hutan meliputi kerugian lingkungan/ekologi senilai Rp157,83 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp60, 28 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp5,26 triliun. Totalnya Rp223,37 triliun.

Kerugian luar kawasan hutan terdiri atas kerugian lingkungan/ekologi Rp25,87 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp15,20 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp6,63 triliun. Totalnya Rp47,70 triliun.

Artis Sandra Dewi disebut-sebut dalam kasus ini. Dia istri dari salah seorang tersangka, Harvey Moeis. Warga kemudian menghubung-hubungkan kasus tersebut dengan kemewahan hidup Sandra Dewi dan suaminya. Wajah Sandra Dewi dan suaminya tersebar luas di jagat maya. Perundungan, cacian, hujatan mengarah ke Sandra Dewi.

Banyak orang salah sasaran. Mereka tanpa berpikir panjang mencaci artis Dewi Sandra dengan komentar-komentar negatif nan sadis. Dewi Sandra dan Sandra Dewi jelas orang yang berbeda, meski sama-sama artis. Perilaku semacam ini sangat disayangkan.

Warga yang menyadari Dewi Sandra menjadi korban salah sasaran hujatan menyebut para perundung sebagai pendukung salah satu pasangan calon presiden yang pada Pemilu 2024 memprogramkan makan gratis. Mereka menyebut kejadian yang menimpa Dewi Sandra itu menunjukkan pentingnya program sekolah gratis dibanding makan gratis.

Mereka yang merasa benar tak kalah sadis dalam membalas perundungan-perundungan terhadap Dewi Sandra. Mereka seperti tak menyadari telah terjebak dalam pemikiran yang sama dengan para pelaku, sama-sama merundung.

Fenomena ini menggambarkan setiap individu memiliki sisi jahat. National Geographic Indonesia pernah memberitakan setiap manusia memiliki dark triad atau tiga serangkai gelap. Ini berdasar penelitian yang dilakukan dua peneliti pada 2002 dan diterbitkan dalam Journal of Research and Personality.

Tiga sisi jahat manusia itu adalah narsisme, machiavellianisme, dan psikopat. Narsisme adalah perasaan superior dan berhak, tetapi di balik kemegahan biasanya ada rasa tidak mampu. Machiavellianisme adalah sifat orang yang sangat manipulatif, bersedia menipu orang lain untuk mendapatkan yang mereka inginkan, dan memiliki pandangan sinis tentang dunia.

Psikopat kurang empati dan dingin secara emosional, impulsif, dan cenderung mengambil risiko besar. Menurut Paul Hokemeyer, seorang psikoterapis, inti tipe-tipe ini adalah ketidakpedulian terhadap orang lain dan obsesi pada diri sendiri.

Fenomena Dewi Sandra dan Sandra Dewi mempertegas literasi digital kita yang rendah. Berdasarkan data dari Institute for Management Development (IMD), Indonesia berada di urutan ke-51 dari 63 negara dalam urusan literasi digital. Data ini diperkuat pernyataan ekonom senior dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani.

Dia menyebut tingkat literasi digital di Indonesia hanya 62%. Angka tersebut paling rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 70%. Status Literasi Digital di Indonesia 2023, hasil survei kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC), menunjukkan nilai total indeks literasi digital Indonesia pada 2023 berada di level 3,65 dari skala 1-5 poin.

Angka ini termasuk tinggi, namun ada dua dari empat indikator yang berkaitan dengan kemampuan pengguna Internet dalam mengecek ulang informasi dari Internet dan lainnya yang menurun. Dua indikator yang skornya merosot adalah digital skills dan digital culture. Dua indikator lainnya meliputi digital safety dan digital ethics yang meningkat.

Skor digital skills atau indikator kecakapan digital turun dari 3,52 pada 2022 menjadi 3,50 pada 2023. Pilar ini mengukur kemampuan pengguna Internet menggunakan komputer atau ponsel, mengunggah/mengunduh data, mengecek ulang informasi dari Internet, dan lainnya.

Skor digital culture atau indikator budaya digital juga menurun, dari 3,84 pada 2022 menjadi 3,81 pada 2023. Pilar ini mengukur kebiasaan pengguna Internet mencantumkan nama kreator/pengunggah asli saat mengunggah ulang konten, membuat unggahan dengan mempertimbangkan perasaan pembaca dari suku/agama/pandangan politik berbeda, menikmati dan berbagi konten seni budaya Indonesia di ruang digital, dan sebagainya.

Skor digital safety atau indikator keamanan digital meningkat dari 3,12 pada 2022 menjadi 3,29 pada 2023. Pilar ini mengukur kemampuan pengguna Internet mengidentifikasi berbagai ancaman di komputer atau gawai pribadi, kebiasaan mencadangkan data, pelindungan data pribadi, dan sebagainya.

Skor digital ethics juga meningkat, dari 3,68 poin pada 2022 menjadi 3,99 pada 2023. Pilar ini mengukur kepekaan pengguna Internet dalam mengunggah konten tanpa izin, berkomentar kasar di media sosial, hingga menghargai privasi di media sosial.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 April 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya