SOLOPOS.COM - Ronny P. Sasmita (Istimewa/Dokumen pribadi)

Belajar dari pengalaman negara-negara Asia Timur yang mengalami kemajuan ekonomi secara cepat, seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan China, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia pun semestinya berbasiskan pada ekspor dan investasi, selain menjaga level konsumsi rumah tangga di tingkat moderat.

Jika memakai pendekatan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan (biasa dikenal dengan pendekatan developmental state),  industrialisasi berjalan bersamaan dengan hilirisasi di mana pemerintah memberikan dukungan penuh kepada pelaku ekonomi domestik (membatasi investasi asing), baik dukungan infrastruktur dan modal (capital), kemudahan akses pembiayaan perbankan (represi finansial), kemudahan regulasi, aneka rupa insentif, dan sokongan pembiayaan research and development (pembiayaan bersama) untuk menghasilkan produk-produk baru yang berdaya saing di pasar global (ekspor).

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Dengan pendekatan nasionalistik tersebut, ketiga negara di atas berhasil menjadi pemain global dengan merek sendiri yang memiliki competitive advantage cukup tinggi, seperti Toyota, Mitsubitsi, Daihatsu, Sony, Kodak, Samsung, Hyundai, KIA, LG, Accer, TSMC (produsen microchip Taiwan), Foxcon (perakit Iphone milik Taiwan), dan lain-lain. Merek-merek besar ini memiliki puluhan ribu mitra lokal untuk pengadaan spare part dan lainnya yang ujungnya akan menggerakkan ekonomi dalam skala massif di negara mereka

Jika menggunakan perspektif China, foreign direct investment (FDI) atau investasi langsung asing menjadi landasan utama ekonomi dengan membuka banyak kawasan ekonomi khusus (special economics zone) untuk investor asing dengan berbagai insentif dan kemudahan, mulai dari pajak yang rendah, aturan gaji yang tidak terlalu tinggi, harga energi yang rendah, perizinan yang cepat, tingkat korupsi yang rendah, dan penyediaan infrastruktur lengkap. Target utamanya, selain pasar domestik, adalah pasar ekspor

Sejalan dengan itu, China kemudian menyiapkan pemain dalam negeri (national champion) secara perlahan tapi pasti, sehingga pelan-pelan pemain domestik China bisa bergerak dari imitator menjadi innovator, dari produsen barang murah menjadi produsen barang bermerek, seperti Oppo, Huawei, Xiaomi, BYD (mobil listrik), industri baterai EV yang tangguh, industri metalurgi, industri keuangan yang berskala global, dan lain-lain. Langkah teknis awal China adalah dengan mendorong lahirnya perusahaan-perusahaan subskontraktor yang bermitra dengan investor-investor asing. Perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya berhasil menjadi pemain domestik yang sangat penting dalam menopang daya tawar ekonomi China di hadapan perusahaan-perusahaan asing, selain peran penting yang dimainkan BUMN-BUMN China.

Pelajarannya, selain penyiapan infrastruktur dasar dan infrastruktur industri sebagaimana yang telah dimulai oleh Jokowi, pertama, keempat negara tersebut bisa melakukan lompatan ekonomi secara cepat dan terukur karena dua sumber pertumbuhan utama ekonomi, yakni ekspor dan investasi. Sementara ekonomi Indonesia justru meniru model Amerika Serikat pasca-Perang Dunia Kedua, yakni terlalu bertumpu pada “konsumsi” atau konsumerisme, di saat supply chain (rantai pasok) domestik dan kapasitas produksi dalam negeri belum memiliki landasan yang kuat.

Walhasil, Indonesia terus memanjakan konsumen domestik dengan barang-barang jadi yang justru diimpor dari negara lain, agar mendapatkan barang murah demi hasrat konsumsi masyarakat terpenuhi di satu sisi dan menjaga inflasi tetap rendah di sisi lain. Tapi, struktur dan fundamental ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena tidak memiliki basis dan kapasitas produksi yang kuat. Inilah yang sedang dialami Amerika Serikat, sebagai bentuk kemunduran ekonomi negeri Paman Sam sejak 1980-an, sebelum Joe Biden menyuarakan kembali isu domestic supply chain (rantai pasok domestic) untuk Amerika Serikat pada 2020 lalu (Jack Buffington, Reinventing The Supply Chain. A 21st Century Covenant with America, 2023)

Kedua, ekspor dan investasi (untuk ekspor) harus terintegrasi dengan global supply chain (rantai pasok global). Artinya, Indonesia tidak bisa memaksa diri menjadi produsen kendaraan listrik atau penguasa baterai dunia, karena China, Jepang, Taiwan, Korsel, Eropa, atau Amerika Serikat telah lebih dahulu memiliki teknologi dan fundamental industri yang jauh lebih siap dibanding Indonesia. Namun, Indonesia bisa menjadi penguasa salah satu atau beberapa produk setengah jadi atau produk jadi pelengkap dari kendaraan listrik, yang bisa diproduksi di Indonesia dengan dukungan bahan baku, SDM, dan industri yang ada.

China bisa mengalahkan Amerika Serikat dan Eropa dalam bidang kendaraan listrik karena China menganggap dirinya tidak akan pernah mampu menyaingi Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa untuk mobil konvensional berbasiskan internal combution engine (ICE/berbasiskan bahan bakar minyak), sehingga China lebih dahulu menyiapkan industri dan teknologi untuk menghasilkan segala sesuatu yang terkait dengan kendaraan listrik, yang belum terlalu dikuasai atau belum terlalu dikembangkan oleh negara maju. Tapi, China tak bisa berdiri sendiri dalam bidang tersebut. China bergantung pada Chile dan Australia atas lithium, pada Kongo atas Cobalt, pada Amerika, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Belanda atas microchip, pada Indonesia, Rusia, dan Australia atas nikel, dst.

Ketiga,  investasi dan ekspor harus ditopang oleh kapasitas industri yang baik dan teknologi yang mutakhir. Untuk itu dibutuhkan inovasi secara berkelanjutan. Nah, inovasi lahir dari aktifitas research and development yang terbiayai dengan baik. Karena itu, pemerintah China, Jepang, Korsel, Taiwan, dan Amerika Serikat bekerja sama dengan pelaku industri dan perguruan tinggi untuk mendorong sebanyak mungkin kegiatan riset, yang melahirkan produk-produk baru atau proses-proses industri baru yang dipatenkan secara baik, yang hasil akhirnya bisa bersaing di pasar domestik maupun pasar global.

Biaya riset bersama tersebut, berkaca kepada China, Jepang, atau Korsel, dibiayai bersama oleh pemerintah dan dunia usaha. Misalnya untuk Indonesia, pemerintah bisa mendirikan lembaga riset untuk pengembangan komoditas nikel, timah, batu bara, CPO, dan lain – lain, atau lembaga riset untuk pengembangan baterai kendaraan listrik, lembaga pengembangan smartifikasi kendaraan listrik yang bekerja sama dengan perusahaan teknologi (start up), lembaga pengembangan produk-produk elektronik lainnya, dan lain-lain, yang semuanya dibiayai secara bersama oleh pemerintah dan pelaku usaha terkait.

Keempat, riset yang berkualitas harus didukung oleh ketersediaan SDM-SDM yang unggul, peneliti-peneliti yang hebat dari ekosistem perguruan tinggi dan dunia pendidikan yang hebat pula. Untuk itu, sistem pendidikan harus benar-benar dikuatkan berdasarkan spesialisasi yang jelas. Pendidikan semestinya berbasiskan STEM (science, technology, engineering, dan math) agar bisa melahirkan generasi muda pemikir, peneliti, inovator, dan entrepreneur. Sementara di sisi lain, pendidikan berbasiskan vocasional untuk penyediaan tenaga kerja berkualitas dengan hard dan soft skill untuk penopang indstrialisasi dan hilirisasi, harus pula dilengkapi.

Kelima, aktivitas industri yang ditopang oleh inovasi (RnD) membutuhkan pembiyaan yang cukup, karena itu harus didukung oleh kebijakan keuangan yang supportif. Pemerintah harus mendorong perbankan dan lembaga pembiayaan domestik untuk menunjukkan keberpihakan kepada pelaku industri di sektor-sektor penting (represi finansial) yang didukung oleh aktivitas riset, bukan hanya sektor yang dibiayai APBN,  misalnya memberikan kemudahan akses modal dan suku bunga yang kompetitif, yang didukung secara penuh oleh pemerintah (singkroniasi kebijakan moneter dan industrialisasi hilirisasi)

Keenam, secara umum harus diklasifikasi secara jelas sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif, komparatif, dan sektor dominan, untuk kemudian dilakukan pendekatan secara sektoral. Misalnya, Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada komoditas CPO, tapi sayangnya Indonesia baru mampu mengekspornya dalam bentuk mentah, sementara CPO bisa menghasilkan banyak produk turunan yang bernilai tambah.

Meskipun dengan mengekspor CPO mentah, Indonesia masih memiliki keunggulan komparatif, karena Indonesia bersama dengan Malaysia menjadi dua negara produsen CPO terbesar di dunia, tapi jika Indonesia memiliki fondasi industri yang didukung SDM, alokasi fiskal untuk RnD, regulasi yang supportif, insentif yang cukup, dan lain-lain, untuk mengolah CPO menjadi berbagai produk turunan yang aman dan berkualitas, maka Indonesai tidak saja akan memiliki  CPO sebagai sektor dominan dan CPO yang berkeunggulan komparatif, tapi juga produk turunan CPO berkeunggulan kompetitif yang bisa bersaing dengan minyak sayur buatan Eropa atau menghasilkan biodiesel yang bisa mempercepat proses transisi energi nasional. Semoga.

(Esai ini telah dimuat di Harian Umum Solopos, Senin (28/8/2023). Ronny P. Sasmita adalah Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya