SOLOPOS.COM - Dian Ahmad P.B.

Baru-baru ini terdapat perdebatan hangat yang sangat menarik antara Presiden Joko Widodo dengan salah seorang pakar ekonomi senior Faisal Basri.

Hal yang diperdebatkan adalah tentang hilirisasi nikel dan dampaknya pada perekonomian Indonesia.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Presiden Joko Widodo menungkapkan bahwa hilirisasi nikel telah memberikan dampak yang signifikan di mana sebelumnya Indonesia hanya mendapatkan Rp17 triliun dari ekspor.

Setelah hilirisasi maka nilainya meningkat menjadi Rp510 triliun. Peningkatan nilai ekspor tersebut akan berdampak pada negara melalui pajak dan penerimaan negara nonpajak.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Faisal Basri. Ia beranggapan hilirisasi nikel menguntungkan industrialisasi China.

Pertama, hilirisasi nikel yang dilakukan adalah pengolahan produk hanya feronikel atau Nickel Pig Iron (NPI) yang 99% diekspor ke China.

Yang menjadi masalah adalah tidak ada pungutan sama sekali untuk olahan biji nikel seperti yang diterapkan untuk ekspor sawit, sehingga penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil.

Faisal Basri bahkan menyatakan hilirisasi nikel merupakan karpet merah bagi perusahaan smelter China dan sangat sedikit memberikan nilai tambah nasional.

Ia menyatakan sepenuhnya mendukung industrialisasi, namun menolak bentuk kebijakan hilirisasi nikel yang dilakukan sekarang.

Pemerintah saat ini menegaskan demi memanfaatkan momentum transisi energi terutama pada Electric Vehicle (EV), Indonesia harus menjadi negara yang berperan signifikan.

Hal ini karena Indonesia memiliki sumber daya untuk membuat salah satu komponen paling mahal pada EV yaitu baterai lithium-ion.

Jenis baterai lithium-ion yang dipakai mayoritas EV di dunia adalah jenis Lithium Nickel Mangan Cobalt Oxide (NMC).

Nikel menjadi bahan material mayoritas, karena semakin tinggi nikel maka semakin besar kapasitas yang dimiliki. Hal itu membuat negara yang memiliki sumber daya nikel sangat diuntungkan.

Pemerintah menyatakan Indonesia harus segera meninggalkan ekspor bahan mentah, sehingga hilirisasi perlu dilakukan untuk mendapatkan nilai tambah berlipat ganda.

Produsen Baterai Kendaraan Listrik

Bahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia, Antam, Inalum, Pertamina, dan PLN membentuk holding bernama Indonesia Battery Corporation (IBC) untuk merealisasikan ambisi menjadi produsen baterai kendaraan listrik global.

Saat ini ada dua perusahaan raksasa yang bekerja sama yaitu Contemporary Ampere Techonology Co. Limited (CATL) dari China dan LG Energy Solution (LGES) dari Korea Selatan untuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik.

Dikutip dari berita CNBC, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Setian Hario Seto, menyatakan ekosistem baterai sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan selesai satu sampai dua tahun lagi.

PT Polimikro Berdikari Nusantara (PBN) adalah start up dari PUI-PT Teknologi Penyimpanan Energi Listrik UNS telah memproduksi material katoda komersial sejak 2021, dari penelitian yang dilakukan sejak 2018.

Sebagai perusahaan yang bergerak dalam sektor energi terbarukan terutama material baterai katoda, PBN akan mendapatkan dampak yang signifikan dari kebijakan pemerintah.

Misalnya, setelah melakukan penelitian sejak 2018 hingga mencapai tahap komersialisasi, keterbatasan sumber daya membuat PBN mau tidak mau mematok harga lebih tinggi daripada pesaing luar negeri.

Hal itu karena produksi belum mencapai keunggulan skala ekonomi, sehingga yang dapat ditawarkan saat ini adalah dari segi pelayanan.

Namun, baru-baru ini pemerintah memasukkan dua perusahaan pembuat material baterai terbesar di dunia seperti CATL dan LG Chem.

Salah satu alternatif cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan membuat sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

TKDN adalah kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menyerap hasil karya bangsa.



Namun pada pelaksanaannya, realisasinya cukup sulit. Misalnya pada sertifikasi TKDN dari produk yang diajukan seharusnya bisa mendapatkan TKDN lebih dari 80%.

Karena salah satu material dominan yaitu nikel tidak memiliki TKDN, persentase turun menjadi 26,07%. Padahal nikel didapatkan dari perusahaan yang berada di Indonesia.

Sejauh ini kebijakan pemerintah terhadap hilirisasi nikel berfokus pada pembentukan ekosistem EV secepat mungkin agar tidak kehilangan momentum, sehingga mendatangkan dua perusahaan raksasa pembuat material katoda.

Harapan pengusaha lokal adalah adanya kerja sama atau penyerapan barang hasil produksi. Jika bersaing di pasar bebas, tentu akan kalah baik dari segi harga maupun spesifikasi karena yang dilawan adalah perusahaan raksasa di tingkat global.

PBN tidak menentang adanya perusahaan besar yang datang di Indonesia karena tentu akan menyerap banyak tenaga kerja. Namun diharapkan hal tersebut tidak mematikan pengusaha lokal, dan justru bisa berkolaborasi agar hilirisasi dapat memakmurkan negeri sendiri.

Artikel ini ditulis oleh Dian Ahmad Pratama Bunayah Sudian, S.E., M.T., CMO PT Polimikro Berdikari Nusantara dan juga alumni Magister Teknik Industri Universitas Sebelas Maret (UNS).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya