SOLOPOS.COM - Nayla Khanza Wijaya (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Pulau  Rempang di Provinsi Kepulauan Riau beberapa waktu terakhir menyita perhatian banyak pihak di Indonesia, terutama para aktivis lingkungan, aktivis pembela hak-hak masyarakat adat,  dan aktivis hak asasi manusia.

Pulau ini menjadi pusat sengketa lahan antara masyarakat setempat, pemerintah, PT Makmur Elok Graha, serta perusahaan swasta yang terlibat dalam pembangunan dan pngembangan proyek Rempang Eco City.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Pembangunan dan pengembangan kawasan industri di Pulau Rempang menimbulkan konflik hak atas tanah, hak asasi manusia, dan kepentingan investasi bagi pemerintah. Dukungan pemerintah terhadap proyek ini masih menjadi perdebatan.

Di satu sisi, proyek ini menawarkan peluang investasi yang signifikan dan menjanjikan pemberdayaan masyarakat setempat sebagai tenaga kerja. Di sisi lain, masyarakat adat setempat menentang pembangunan tersebut karena khawatir akan kehilangan tanah dan warisan budaya mereka.

Keputusan pemerintah yang menetapkan Rempang Eco City sebagai proyek strategis nasional berdampak pada masyarakat adat setempat. Pembangunan proyek-proyek strategis nasional, penguasaan lahan dan infrastruktur, menjadi penyebab utama konflik-konflik ini.

Hak asasi manusia yang paling banyak dilanggar adalah hak atas kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Berawal dari rencana pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco City yang akan memanfaatkan seluruh wilayah pulau seluas sekitar 16.500 hektar membuat masyarakat setempat menentang kebijakan ini.

Investor dan pemerintah akan menggusur atau merelokasi paksa masyarakat setempat. Tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran dan protes sejumlah masyarakat. Ada beberapa kekhawatiran yang dihadapi masyarakat.

Pertama, kehilangan warisan budaya. Penduduk asli Pulau Rempang terdiri atas Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya. Mereka telah menempati dan mengelola Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun.

Tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Ketika mereka digusur maka hal ini dapat melanggar hak–hak masyarakat adat karena jika mereka direlokasi maka warisan budaya asli akan hilang.

Kedua, ketidakpastian hukum. Masyarakat Pulau Rempang mengkhawatirkan relokasi mereka tidak memiliki kekuatan hukum sebelum sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) atas Pulau Rempang diperoleh.

Masyarakat Pulau Rempang juga khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan kompensasi yang layak atas tanah dan rumah mereka setelah direlokasi. Kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan tidak terbuka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.

Ketiga, dampak pada mata pencarian dan pariwisata. Relokasi dalam kebijakan ini tentu akan berdampak pada mata pencarian masyarakat setempat.

Apabila pembangunan Rempang Eco City terealisasi dapat mengakibatkan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang diperlukan untuk mata pencarian mereka, seperti perikanan, peternakan, dan pertanian.

Ketidakpastian yang  tumpang tindih atas status lahan dan konflik agraria menimbulkan ketegangan yang mengancam kesejahteraan sosial dan budaya masyarakat adat Pulau Rempang.

Keempat, sosialisasi searah tanpa mendengar aspirasi warga. Kebijakan pemerintah tentang relokasi warga Pulau Rempang dan pembangunan Rempang Eco City masih belum jelas arahnya dan belum konsepnya belum terbuka bagi masyarakat.

Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap tidak memperhatikan aspirasi masyarakat dan lebih bersifat kepentingan sepihak. Demonstrasi dan protes masyarakat hingga berujung kericuhan merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menuntut keadilan atas tanah adat mereka.

Kelima, kekhawatiran terhadap pelanggaran hak asasi manusia atau HAM. Masyarakat adat telah lama menempati dan mengelola pulau itu. Kini mereka merasa keberadaan mereka terancam oleh rencana pembangunan Rempang Eco City tersebut.

Ancaman dan intimidasi yang diterima masyarakat Pulau Rempang terkait rencana relokasi tersebut semakin memperjelas adanya dugaan pelanggaran HAM.

Proyek investasi seharusnya tidak boleh merugikan hak-hak masyarakat adat dan seharusnya kewajiban daan hak konstitusional masyarakat adat harus dilindungi dan ditegakkan.

Keputusan yang reaktif dan bersifat searah akan berdampak negatif bagi masyarakat. Ini jelas sangat merugikan bagi masyarakat adat setempat dan hal ini bersifat menguntungkan hanya salah satu pihak, yaitu investor.

Masalah mendasar yang harus disadari adalah kebijakan di Pulau Rempang itu dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat adat tentang hilangnya warisan budaya, ketidakpastian hukum, berdampak pada mata pencaian dan pariwisata, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Oktober 2023. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya