SOLOPOS.COM - Karsono

Karsono

Dosen Pendidikan Seni Prodi PGSD
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta

Promosi Mendamba Ketenangan, Lansia di Indonesia Justru Paling Rentan Tak Bahagia

Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa…
Pembangun insan cendekia…

Banyak orang mahfum bahwa epigraf (kutipan) di atas adalah bagian akhir lagu Hymne Guru karya Pak Sartono. Namun sepertinya tidak banyak yang paham bahwa kini, bagian paling akhir teks lagu itu sudah berubah. Institusi yang berperan dalam perubahan teks lagu tersebut adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS Surakarta. Bahkan, untuk mendapatkan keabsahan perubahan teks lagu, dekan FKIP UNS, Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, secara khusus meminta ijin kepada Pak Sartono. Akhirnya, Pak Sartono-pun mengijinkan perubahan. Dan, dalam acara penganugerahaan FKIP Awards pada 9 September 2011, Pak Sartono untuk pertama kalinya menyanyikan teks lagu versi perubahan tersebut, bersama civitas akademika FKIP UNS.
Pertanyaan mendasar atas perubahan teks lagu Hymne Guru di atas adalah, mengapa diubah? Apa tujuannya? Apa alasannya? Bukankah perubahan berkonsekuensi sosiologis yang luas ? Kenyataannya, harus diakui hingga kini perubahan tersebut belum tersosialisasi dengan baik. Perubahan baru diketahui oleh lingkup FKIP UNS. Itu pun terbatas pada mahasiswa yang lulus dan diwisuda, karena memang Hymne Guru menjadi lagu wajib dalam acara wisuda FKIP UNS. Berdasarkan realitas tersebut, menarik untuk mendiskusikan Hymne Guru dalam wacana perubahan teks dan konteks, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini.
Dalam konteks musikologi, Hymne sebenarnya adalah sejenis nyanyian pemujaan, terutama ditujukan untuk memuja Tuhan, Dewa-dewa, pahlawan, dan tokoh-tokoh agung. Secara khusus tidak ada pembeda antara jenis lagu Hymne dengan jenis nyanyian yang lain, kecuali hanya pada muatan teks yang berisi pujian tersebut. Dan ciri ini muncul secara kuat dalam Hymne Guru ketika teks lagu diawali dengan kata “terpujilah wahai engkau ibu bapak guru”. Artinya, Hymne Guru, telah menempatkan guru sebagai figur penting, tinggi, agung, bahkan dapat disejajarkan dengan pahlawan. Ya, pahlawan tanpa tanda jasa.

Konteks yang berubah
Teks  lagu Hymne Guru tidak sekedar memuji guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Lebih dari itu, diksi dalam keseluruhan teksnya yang sederhana dan lugas, justru mampu menghadirkan citra guru sebagai insan yang lebih dari manusia biasa. Lihat saja epigraf di atas, guru dianalogikan sebagai pelita dalam kegelapan. Guru disamakan dengan embun penyejuk dalam kehausan. Sederhananya, guru dalam perspektif teks lagu ini, tidak saja dipandang sebagai pendidik dan pengajar. Lebih dari, itu figur guru dicitrakan sebagai sosok yang memiliki daya inspiring dan empowering. Luar biasa ! Bukankah figur guru seperti ini yang dalam kajian Furqon Hidayatullah (2010) disebut sebagai guru sejati ?
Citra ideal dan agungnya guru dalam teks lagu tersebut tentu dapat dipahami, karena pada masa Hymne Guru diciptakan–tahun 1980–sosok guru memang lekat dengan dunia keilmuan dan dunia pengabdian. Saat itu, duabelas tahun orde baru berkuasa, pendidikan Indonesia masih berada dalam situasi yang kurang menguntungkan. Jumlah guru rasionya sangat kurang dibanding jumlah siswa. Hal ini membuat guru dipandang sebagai pusat pencerahan. Guru dianggap bisa segalanya, tidak hanya pandai secara keilmuan, tetapi juga mumpuni secara sosial. Oleh karena itu, di masyarakat guru menempati “kasta” yang tinggi.  Bahkan, dalam budaya Jawa muncul idiom untuk guru sebagai orang yang Pana ing  pamawas lebdha ing  pitutur (luas dalam wawasan dan mumpuni dalam bertutur). Tidaklah mengherankan jika akhirnya guru mampu menginspirasi dan memberi kekuatan pada lingkungannya.
Sayangnya, peran strategis dan status sosial guru tersebut, kontradiktif dengan kondisi kesejahteraan ekonominya. Anggaran pendidikan yang minim membuat kehidupan ekonomi guru masuk dalam kategori menengah ke bawah. Pada saat itu, gaji guru, terutama yang pegawai negeri, tergolong rendah. Ditambah lagi model pemberian tunjangan makan keluarga yang berwujud “beras jatah” kualitas jelek, dengan sistem pengambilan antri, lebih menguatkan citra buruk kehidupan ekonomi guru kala itu. Kondisi tersebut menyebabkan profesi guru tidak diminati. Dampaknya, tidak banyak anak muda yang bersedia, atau bahkan sekedar bercita-cita jadi guru. Realitas inilah yang dengan sangat cerdas diartikulasikan Pak Sartono dengan ungkapan “pahlawan tanpa tanda jasa”. Rela mengabdi dan berkorban meskipun imbalannya tidak sepadan.
Kenyataan konteks sosio-ekonomis guru di atas tentu saja sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Dalam rentang 32 tahun sejak Hymne Guru tercipta, telah banyak kebijakan pendidikan bermunculan, yang tentu saja lebih berpihak pada guru. Seiring reformasi tata kelola negara, dan seiring bertambahnya anggaran pendidikan, bersamaan dengan itu pula perbaikan kesejahteraan guru terjadi. Itikad baik pengelola negara untuk memberi porsi 20% APBN bagi sektor pendidikan, berdampak positif bagi perbaikan kesejahteraan guru. Di antara berbagai kebijakan, dua kebijakan yang telah mengubah nasib sekaligus citra guru-terutama guru PNS-adalah kenaikan gaji yang disesuaikan dengan standar kelayakan hidup, dan kebijakan pemberian tunjangan profesi.
Cerita manis tentang guru pun berlanjut. Kini, profesi guru adalah profesi primadona banyak orang. Lihat saja, angka keketatan masuk program keguruan di beberapa perguruan tinggi sudah sebanding dengan keketatan masuk program kedokteran. Hal yang tentu saja tidak pernah terjadi dalam rentang tiga dasawarsa sebelumnya. Lihat juga, betapa banyak orang yang rela menjadi guru honorer dengan harapan suatu saat akan diangkat menjadi guru PNS. Ya, faktor pendapatan agaknya merupakan faktor dominan yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk berbondong-bondong ingin menjadi guru. Tentu saja, karena jadi guru sekarang ini menjanjikan imbalan pendapatan yang menggiurkan. Bayangkan, mendapatkan gaji layak, menerima kenaikan gaji berkala setiap tahun, menerima gaji ke-13, ditambah tunjangan profesi setelah melewati proses sertifikasi.
Dengan demikian, fenomena berubahnya teks lagu Hymne Guru tersebut memang tampak jelas berkaitan kuat dengan perubahan konteksnya. Muncul kesadaran bahwa figur guru kini perlu direkonstruksi, meskipun itu hanya dalam sebuah lagu. Tidak relevan lagi jika saat ini guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Alasannya, kinerja guru bukan lagi pengabdian semata, tetapi telah dijamin oleh undang-undang sebagai kerja profesional. Dan profesionalitas tentu berhak mendapat imbalan “pahala dunia”. Oleh karena “pahala dunia” yang setimpal inilah maka guru kemudian dituntut menjadi agen pembangun “insan cendekia”. Sebuah cita-cita ideal sekaligus rekonstruksi figur guru yang dibutuhkan dewasa ini.
Sayangnya, rekonstruksi ideal figur guru tersebut masih saja hanya berhenti pada tataran teks lagu. Jujur harus diakui, ada banyak realitas kehidupan guru yang kontradiktif dengan puja-puji indah dalam Hymne-nya. Sebagai figur yang harusnya membangun insan cendekia, ternyata masih ada saja guru yang menganjurkan siswanya menyontek. Masih ada guru yang lancung dalam sertifikasi. Masih ada guru yang tega menyiksa siswanya. Masih ada guru yang malas mengajar karena berbisnis. Padahal, betapa negri ini merindukan sosok guru yang inspiring dan empowering. Guru yang mampu sung tuladha – mangun karsa – handayani. Guru yang namanya selalu abadi di sanubari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya