SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto

Solopos.com, SOLO – Fenomena Ida Dayak menyita perhatian publik negeri ini. Aksi penyembuhan yang dia lakukan mengundang decak kagum karena mempertontonkan keajaiban. Hanya berbekal minyak bintang, Ida Dayak dengan mudah dan terampil meluruskan tangan bengkok menjadi normal kembali.

Macam-macam kelainan tulang seperti skoliosis, lordosis, spondilosis, disembuhkan dalam hitungan menit. Termasuk stroke dan tunawicara sembuh oleh sentuhan perempuan asal Paser, Kalimantan Timur itu. Pasien Ida datang dari penjuru negeri. Status sosialnya pun beragam. Mulai dari kalangan atas sampai kalangan bawah.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Konon komedian Thukul Arwana sembuh dari stroke berkat ”kesaktian” Ida Dayak. Guruh Soekarnoputra memberikan testimoni tentang kehebatan Ida Dayak setelah jari tangannya yang tidak bisa ditekuk akhirnya normal kembali setelah diurut Ida Dayak.

Ada juga pasien datang jauh-jauh untuk mencari kesembuhan bagi anaknya yang selama sebelas tahun tunawicara. Fenomena Ida Dayak tentu dalam konteks peristiwa sosial historis bukan berdiri sendiri. Ada gejala sosial lain yang menjadi latar belakang antusiasme para pencari sarana kesembuhan atas sakit yang disandang.

Di mana pun Ida Dayak berpraktik akan diburu ribuan orang. Optimisme terhadap kesembuhan berkembang menjadi keyakinan totalitas. Pendekatan medis dengan sarana medis ”terkalahkan” oleh fenomena olesan minyak bintang dari Dayak. Ida Dayak terkenal karena endorsement orang-orang terkenal dengan didukung media sosial.

Peristiwa sejarah berulang. Kemunculan Ida Dayak sama dengan munculnya Ponari dengan batu petir pada 2009. Bocah kecil asal Jombang, Jawa Timur, itu dulu diyakini ”sakti” dan mampu menyembuhkan segala penyakit hanya dengan mencelupkan batu ke dalam air lalu airnya diminum atau dibasuhkan di bagian yang sakit.

Untuk menghindari mitos, penyembuhan model Ida Dayak dan Ponari diberi label penyembuhan alternatif atau nonmedis. Narasi historis mungkin yang paling memadai untuk memberikan penjelasan atas fenomena Ida Dayak. Ia harus dilihat dalam konteks peristiwa sejarah yang secara siklus bisa jadi pengulangan pada zaman dan lingkungan yang berbeda.

Budaya Tandingan

Secara substansi apa yang terjadi punya kesamaan. Bisa jadi apresiasi publik terhadap Ida Dayak secara masif adalah representasi kegelisahan sosial di masyarakat kita, terutama dari kalangan masyarakat kelas bawah, terhadap jaminan kesehatan dari negara.

Ribuan orang berdesak-desakkan hanya untuk mendapat kesembuhan dari khasiat minyak bintang yang seolah-olah menandingi metode diagnosis medis berdasar ilmu kedokteran yang canggih.

Sekalipun ilmu kedokteran melesat dengan inovasi akademis, faktanya banyak orang yang sakit dan keluarganya mengeluh akan bertambah ”sakit” ketika berobat ke rumah sakit. Berbeda dengan minyak bintang yang dioleskan Ida Dayak dengan harga Rp50.000, tetapi diyakini cespleng.

Secara kultural hadirnya Ida Dayak dapat dikatakan sebagai bentuk counter culture (budaya tandingan) atas fakta masih adanya dominasi dan otoritasi lembaga kesehatan secara medis pada era modern. Kita harus memandang ada makna historis di balik fenomena Ida Dayak, sekalipun tanpa komitmen terhadap arti keajaiban.

Memang tidak tepat membandingkan metode medis dan alternatif, tetapi mengapa banyak pasien dengan penyakit menahun tiba-tiba bergairah ketika fenomena penyembuhan ala Ida Dayak itu muncul? Itulah akar masalahnya. Bukan metode penyembuhannya.

Faktual masyarakat masih menghadapi soal aksesibilitas infrastruktur kesehatan modern yang senjang. Dua bulan lalu, seorang ibu hamil asal Desa Buniara, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, Jawa Barat meninggal dunia setelah ditolak melahirkan di RSUD Subang, Jawa Barat.

Hasil penelitian Tri Rini Puji Lestari dengan judul Pelayanan Rumah Sakit bagi Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Enam Wilayah Indonesia) yang dimuat Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 1, Agustus 2010 menyimpulkan pasien miskin akan mendapat pelayanan berbeda dibandingkan pasien yang membayar lebih.

Fakta memperlihatkan masih ada keharusan pasien membayar uang muka di rumah sakit meskipun Undang-undang Kesehatan melarangnya. Begitu juga menurut pernyataan anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng, yang dimuat di laman Ombudsman (Rabu, 1/3/2023). Ia mengatakan pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga untuk mendapat perlindungan dari negara.

Diskriminasi pelayanan kesehatan masih terus terjadi. Menurut Robert, dalam pelayanan di fasilitas kesehatan, pasien dengan pembiayaan sendiri dan asuransi cenderung lebih diutamakan. Sementara pasien (pengguna) BPJS Kesehatan selalu dianaktirikan.

Ida Dayak adalah simbol budaya tanding yang kemudian berkembang di alam bawah sadar masyarakat. Konsekuensinya, idiom ”orang miskin dilarang sakit” mendapat pembenaran melalui simbol Ida Dayak ini. Mereka yakin dengan kemujaraban minyak bintang dari Ida Dayak.

Banyak orang tidak sadar bahwa kesembuhan adalah sebuah probabilitas dan bukan kepastian. Seorang dokter (medis) tidak akan mengatakan bahwa dengan obat ini atau dengan obat itu ”pasti” sembuh.  Demikian juga tidak ada yang berani memastikan bahwa dengan minyak bintang (nonmedis) lantas waras…wiris…hilang semua penyakitnya.

Alternatif

Modernitas dunia medis dengan teknologi canggih ditandingi dengan mitos minyak bintang. Modernitas dunia medis itu dianggap berada di luar jangkauan wong cilik. Mereka harus membayar mahal untuk layanan USG, CT scan, medical ceck-up, memperoleh obat yang bermutu, biaya periksa dokter spesialis, biaya rawat inap, atau tindakan lanjutan lainnya.

Bukankah fasilitas puskesmas sudah ada di mana-mana?  Bukankah jumlah tenaga medis dan paramedis tersedia cukup? Bukankah industri farmasi juga dibangun di mana-mana? Mengapa ribuan orang, bahkan jutaan rakyat kita, masih menempuh jalan alternatif?

Jawabnya cukup jelas, bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan di negeri ini masih menjadi beban. Sementara Ida Dayak adalah murah dan berkah. Fenomena Ida Dayak tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan resultan dari lingkungan sosial terhadap pembangunan kesehatan yang masih belum memihak kepada rakyat kalangan bawah. Jangan salahkan mereka yang lebih percaya, bahkan yakin, sembuh dengan Ida Dayak dan minyak bintangnya daripada dokter dan sarana medisnya.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 April 2023. Penulis adalah pemerhati budaya dan pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya