SOLOPOS.COM - Pratika Rizki Dewi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tanggal  8 Maret setiap tahun diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini berakar pada demonstrasi kelompok perempuan sosialis di New York, Amerika Serikat, pada 8 Maret 1908. Mereka menuntut jam kerja yang lebih manusiawi, upah yang lebih baik, dan hak perempuan untuk memilih (Adams, 2014).

Secara resmi 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1975 (Brereton eds., 2007). Ada banyak peringatan yang didedikasikan secara langsung maupun tidak langsung bagi perempuan, misalnya peringatan Hari Valentine pada 14 Februari yang secara tidak langsung identik dengan perempuan.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Perayaan Valentine mulai diperingati pada abad ke-15 di Italia. Dari Italia kemudian menyebar ke negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Umumnya Valentine dirayakan dengan cokelat atau bunga dari laki-laki yang diberikan kepada perempuan yang istimewa.

Hari Valentine bertepatan dengan hari pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.  Tempat Pemungutan Suara 34 Manahan, Kota Solo, dihiasi balon berbentuk hati berwarna merah muda, lengkap dengan kelambu yang juga berwarna senada. Pemilu 2024 diadakan bertepatan dengan Valentine yang diidentikkan dengan perempuan.

Penting untuk melihat di mana letak perempuan dalam pemilu menggunakan framing studi kasus yang terjadi. Perempuan dalam pemilu dapat dibicarakan dari sisi negatif maupun positif. Dari sisi positif,  misalnya, seorang calon anggota legislatif (caleg) asal Jawa Timur, Kondang Kusumaning Ayu, viral di media sosial.

Ia dipilih karena parasnya yang cantik, padahal apabila dilihat secara lebih detail, posisi Kondang di kertas suara bukanlah di nomor urut atas yang mudah terlihat oleh mata. Nam adia berada di nomor urut ke-10. Parasnya yang cantik membuat dirinya unggul dengan perolehan 1.489.209 suara per 17 Februari 2024.

Itu menempatkan dia di posisi empat besar. Dari segi negatif, fenomena Kondang ini dapat dikaitkan dengan male gaze. Dia dipilih banyak orang karena parasnya yang cantik, terutama di mata lelaki, bukan karena para pemilih memang mengetahui rekam jejak, prestasi, atau program kerjanya.

Ini melanggengkan celotehan lu cantik, lu aman” yang kerap bergulir liar di masyarakat. Sisi negatif senada juga terjadi di kancah nasional, layaknya blame the woman dalam Pemilu 2024 ini. Blame the woman dapat didefinisikan sebagai pelabelan negatif kepada perempuan.

Perempuan dianggap memiliki kekuatan besar yang bisa memengaruhi orang lain untuk berbuat kejahatan. Akar blame the woman berlangsung panjang, misalnya ketika perempuan yang dianggap sebagai penyihir pada abad ke-15 hingg ke-18 di Eropa, ditangkap, diburu, dan dibunuh.

Di Skotlandia, contohnya, perburuan penyihir (witch-hunt) menewaskan 1.500 perempuan (Levack, 2015). Dalam kasus pemilu, blunder blame the woman dilakukan oleh calon wakil presiden nomor urut 3, Moh. Mahfud Md. melalui pernyataan bahwa banyak suami yang terjerat kasus korupsi karena tuntutan istri.

Pembicaraan negatif lain dalam rangkaian Pemilu 2024 juga melekat pada calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming. Pencalonan dia kerap dikaitkan dengan politik misogini. Misogini secara sederhana adalah kebencian, prasangka buruk, maupun penghinaan kepada perempuan.

Istilah ini mulai populer pada 1970-an ketika gelombang feminisme kedua menguat di Eropa dan Amerika Serikat. Pencalonan Gibran sebagai penamping calon presiden Prabowo Subianto dilekatkan dengan peran Ibu Negara Ny. Iriana, sang ibunda, yang disebut sebagai dalang di balik segala kekisruhan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan langkah Gibran.

Dalam kaitan dengan Gibran, sosok Iriana ini akan selalu menjadi pihak yang dianggap rakus dan diincar sebagai sasaran kebencian. Calon wakil presiden nomor urut 1 juga tidak bisa dikatakan bersih dari pembicaraan negatif mengenai perempuan.

Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyindir Yenny Wahid dalam laman Twitter atau X. Cak Imin mengatakan Yeni bukanlah bagian Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), bahkan Yeni disebut Cak Imin sebagai seorang yang membuat partai politik, tetapi tidak bisa meloloskan partainya sendiri.

Sindiran ini dibuat sebelum masa kampanye Pemilu 2024, tetapi perselisihan Cak Imin dengan keluarga Presiden Ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid ini bergulir terus hingga pada masa kampanye. Yang dilakukan oleh Cak Imin dapat dikategorikan sebagai mansplaining atau meremehkan perempuan.

Bak dua sisi mata koin, kalau ada sisi negatif tentu ada pula sisi positif. Membicarakan perempuan pada hari perempuan ada secercah harapan yang patut disandarkan di pundak para perempuan yang kelah terpilih duduk di lembaga legislatif.

Kendati calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilu 2024 tidak ada yang berasal dari kelompok perempuan, setidaknya jumlah perempuan caleg patut diapresiasi, yakni 37,7%. Ini melebihi standar minimal 30%. Semoga tetap melebihi 30% saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan nama-nama yang berhasil mendapatkan kursi di lembaga legistaltif.

Apabila mereka—para perempuan—terpilih, isu-isu perempuan dapat mereka perjuangkan, bukan sekadar kepentingan pribadi atau partai politik. Isu-isu kekerasan seksual, perempuan pekerja migran, bahkan revisi kebijakan afiramtif persentase perempuan di lembaga legislatif harus disuarakan supaya banyak perempuan menjadi semakin berdaya dan berani.

Lebih dari itu, terkhusus untuk Kondang, ada pekerjaan besar yang menanti, yakni mengubah pola pikir masyarakat secara umum dan para lelaki secara khusus. Kondang harus membuktikan bahwa ketika dirinya terpilih, ia yang dituding mendulang suara hanya karena parasnya yang cantik ternyata mampu menunjukkan kinerja nyata.

Begitu pula para perempuan lain di lembaga legislatif yang perlu juga untuk menunjukkan kinerja mereka agar tidak ada lagi masyarakat, khususnya lelaki, yang punya sikap blame the woman, misogini, maupun meremehkan perempuan.

Membicarakan hal ihwal perempuan pada Hari Perempuan Internasional—yang baru saja berlalu—adalah ekspresi harapan para perempuan akan dibicarakan secara positif berdasar prestasi serta kinerja dan tidak lagi diperlakukan bak pembawa masalah.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Maret 2024. Penulis adalah alumnus Pascasarjana Program Studi Sejarah Gender University of Glasgow di Skotlandia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya