SOLOPOS.COM - Priyadi, Mahasiswa IAIN Surakarta Santri Pengajian Malem Senin (FOTO/Istimewa)

Priyadi, Mahasiswa IAIN Surakarta Santri Pengajian Malem Senin (FOTO/Istimewa)

Perbedaan intelektual dan nonintelektual bukanlah kemampuannya untuk memakai kesanggupan nalarnya. Tiap orang normal diwarisi kemampuan itu. Perbedaan hakikinya adalah seorang intelektual lebih menonjol di tengah orang-orang nonintelektual berbekal kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan mengikuti pikiran orang lain (Selo Sumardjan, 1976).
Namun, benar bahwa sejarah diri kaum intelektual kerap kali di persoalkan dalam wilayah kekuasaan. Wacana pengetahuan dan kekuasaan telah menjadi dominasi dalam pembentukan Indonesia dan konstruksi identitas intelektual (Mawardi, 2010). Barisan kaum ”intelektual” terdahulu, hasil didikan sekolah corak Eropa, sebagian besar menjadi orang penting dalam mengantar hadirnya Indonesia secara de facto dan de jure.
Mereka pelopor dan pelahir dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka melakukan perubahan dan merumuskan konsep baru terhadap negara baru:  Indonesia. Dasar negara dibuat dan berbagai regulasi hadir. Berbagai ranah dicoba untuk diatur. Tapi, perubahan dan pembaruan—baik dalam struktur politik, hukum, ekonomi dan pendidikan—tersebut tetap saja memiliki imajinasi serta rujukan ala Eropa.
Dalam ranah pendidikan pun, seakan terdapat proses pengeropanan pendidikan formal (sekolah dasar hingga perguruan tinggi) meski berjalan merangkak. Di ranah inilah kemudian orang-orang dengan sebutan kaum intelektual dilahirkan dan disebut sebagai orang berintelektual setelah rampung menempuh jenjang struktural pendidikan formal.
Mereka, kaum intelektual itu, kemudian dipercaya oleh masyarakat untuk membawa tujuan kolektif berupa kesejahteraan, lantas dikehendaki untuk menjadi pemimpin. Pemimpin di dalam struktur sosial masyarakat membawa fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi agar tujuan kolektif tercapai dan terjaga nilai-nilai sosio-kultural masyarakatnya.
Dilihat dari tinjauan struktural-fungsional, ada interaksi dua arah antara pemimpin dan pengikut. Diperlukan persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari pihak kedua (pengikut) oleh pihak pertama (pemimpin) [Kartodirdjo, 1984]. Kehadiran Soekarno jadi pemimpin tertinggi setelah penjajahan sungguh tidak semata sebab kemampuan intelektualnya. Dia dikehendaki dan dimaui oleh massa rakyat.

Promosi Ada BDSM di Kasus Pembunuhan Sadis Mahasiswa UMY

Transaksional
Soekarno dikehendaki untuk hadir sebagai pemimpin atas persetujuan dan dukungan dari para pengikutnya, yakni massa rakyat. Pendidikan formal Soekarno hingga mencapai perguruan tinggi (puncak pendidikan formal) menjadikan ia termasuk dalam golongan kaum intelektual. Tapi, ini bukan alasan mendasar bahwa ia kemudian pantas menjadi pemimpin. Ia dikehendaki! Ia dilahirkan! Ia direstui!
Argumentasi Syaeful Achyar di Mimbar Mahasiswa SOLOPOS (31/1/2012) berjudul Menjejak Kepemimpinan Intelektual  kiranya terlalu berlebihan. Dia terlalu berharap bahwa kampus sebagai rahim ampuh untuk melahirkan pemimpin. Realitasnya, kampus sangat jarang memberikan mahasiswa bekal kepemimpinan. Kampus sebagai institusi pendidikan formal hanya menawarkan ilmu-ilmu aplikatif dan siap pakai dalam rentetan bursa kerja.
Kampus sebagai basis pendidikan dengan format pengajaran rasionalitas, sedikit demi sedikit menjadikan orang-orang kemudian saling berhubungan secara transaksional dan pragmatis. Ada untung dan rugi yang dihitung. Kultur rasional-transaksional kemudian terpelihara hingga para awak kapal dalam bahtera bernama kampus menjejaki karier awalnya sebagai politisi amatir.
Perebutan kursi Badan Eksekutif Mahasiswa dilaksanakan dengan model partai dan model pemilihan seperti yang dilakoni oleh negara. Model seperti ini adalah model yang merepotkan orang lain! Model yang merepotkan massa rakyat. Betapa tidak? Untuk menjadi pemimpin harus memaksa orang untuk repot memilihnya lantas menyetujuinya jadi pemimpin!
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan Soekarno dahulu. Ia dan Hatta dikehendaki, disetujui,  kemudian dipercaya oleh massa rakyat untuk duduk di kursi pemimpin, bukan memaksa rakyat memilih mereka jadi pemimpin. Model kepemimpinan saat ini dengan gaya formal dan menihilkan kepemimpinan informal mengandung beberapa risiko.
Beberapa di antaranya adalah suka main perintah, pemaksaan (militeristik) dan menyedot sumber daya rakyat. Kepemimpinan informal adalah kepemimpinan member, bederma, totalitas. Kepemimpinan formal bawaan pendidikan formal membentuk nalar transaksional sebab kepemimpinan dikemudikan pada rel politik-ekonomistik, bukan rel politik murni. Selalu menghitung untung dan rugi.
Nalar seperti ini membentuk pemimpin menjadikan ia sendiri seakan ”bapak yang harus bermurah hati melindungi anak-anaknya”. Sebaliknya, anak-anak harus menerima dengan rasa hormat dan terima kasih terhadap apa yang diberikan oleh bapak (Shiraisi, 2009). Tanpa dan tak boleh protes!

Nalar kultural dan spiritual mesti dipunyai seorang pemimpin. Bukan nalar rasional-transaksional. Seorang pemimpin dengan nalar kultural akan membawa ”anak-anaknya” tetap pada jalur tradisi sebagai identitas dan berpijak dengan kakinya sendiri. Ditambah nalar spiritual, pemimpin akan memiliki rasa serta memiliki etika publik sebab memiliki tanggung jawab kepada Tuhan yang ia yakini.
Dan dengan model pemimpin seperti ini, intelektualitas seseorang seperti yang dikatakan oleh Soemardjan di muka, memiliki kemampuan untuk melawan kecenderungan mengikuti pikiran (bangsa) lain karena memiliki pijakan kultural jelas. Pemimpin dengan didikan nalar kultural dan spiritual inilah yang kini sulit untuk dilahirkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya