SOLOPOS.COM - Oriza Vilosa (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Beras mahal. Beras ganti harga. Itu kata-kata yang sering terdengar belakangan ini. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan akan memasifkan program pompanisasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian demi ketahanan pangan Indonesia.

Air dari sungai, terutama di Jawa, akan dipompa agar bisa mengairi lahan persawahan. Fenomena dan dampak El Nino yang masih berlangsung, kata Amran, adalah alasan mendasar program itu harus bergulir.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Presiden Joko Widodo belum lama ini menyatakan dunia berubah. Dulu banyak negara yang mau mengirim—mengekspor—beras ke Indonesia. Kini Indonesia disebut susah payah melobi negara produsen beras agar mau mengirim beras ke Indonesia.

Negara-negara itu sedang pasang kuda-kuda menghadapi potensi krisis pangan global. Bank Dunia pada awal Februari 2024 melaporkan harga beras 26% lebih tinggi dibanding bulan sebelumnya.

Apabila dibandingkan dengan pada Januari 2020, harga beras kini meningkat 51%. Mereka juga menyebut dampak El Nino dan pembatasan ekspor oleh India menyebabkan harga beras dunia naik.

Pernyataan Direktur Bisnis Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog), Febby Novita, malah mencuri perhatian. Dia menyatakan harga beras dunia meningkat salah satunya gara-gara warga di Eropa beralih makan nasi dari sebelumnya mengonsumsi gandum.

Eropa dia sebut kini memborong beras dari Thailand dan Vietnam, namun dalam catatan lembaga survei Statista, negara-negara di Eropa tak masuk lima besar konsumen beras.

Statista mencatat China sebagai konsumen beras tertinggi, sebanyak 149.920.000 metrik ton, disusul India sebanyak 118.000.000 metrik ton, Bangladesh sebanyak 37.600.000 metrik ton, Indonesia sebanyak 35.800.000 metrik ton, lalu disusul Vietnam, Filipina, Thailand, Burma, Jepang, dan Nigeria.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Thailand menjadi negara pengirim—pengekspor—beras terbesar ke Indonesia pada 2023, yakni sebanyak 1,38 juta ton. Vietnam menjadi eksportir beras terbesar kedua ke Indonesia, yaitu sebanyak 1,15 juta ton sepanjang 2023.

Pakistan dan Myanmar menjadi negara berikutnya, namun volume ekspor mereka masing-masing hanya 309.000 ton dan 141.000 ton. Beras memang menjadi makanan pokok orang Indonesia, namun sebenarnya tak hanya Indonesia yang tergantung pada beras.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian Dunia, lebih dari 50% penduduk dunia bergantung pada beras. Kebutuhan penduduk dunia atas beras sebagai makanan pokok kini mencapai 80%. Sebanyak 95% pasokan beras dunia diproduksi negara berkembang.

Sayangnya, menurut FAO, pertumbuhan produksi beras melambat sejak 1990. Sumber daya lahan dan air untuk perluasan produksi beras global makin terbatas. Menurut BPS, luas panen padi pada 2023 sekitar 10,20 juta hektare.

Lahan seluas itu memproduksi 53,63 juta ton gabah kering giling. Jika dikonversi, produktivitas itu menyumbang 30,90 juta ton beras. BPS mencatat luas lahan padi juga berkurang 255.790 hektare pada 2023. Produktivitas gabah kering giling menurun sebanyak 1,12 juta ton (2,45%) dibanding tahun sebelumnya.

Kementerian Pertanian melalui Peta Jalan Pengembangan Komoditas Pertanian Strategis Menuju Indonesia Sebagai Lumbung Pangan Dunia 2045 merancang skenario.

Skenario dalam peta jalan yang diterbitkan pada 2016 itu dimulai dari swasembada, daya saing, produksi melimpah dan stabil, ekspor, lalu menjadi lumbung pangan dunia yang ditandai dengan ekspor berkelanjutan.

Untuk urusan budi daya padi, peta jalan tersebut kini memasuki masa penguatan sistem produksi (2020-2024). Penguatan sistem yang dimaksud melalui kelembagaan, inovasi teknologi, rantai pasok, dan logistik. Semua pihak butuh jujur menilai cita-cita lumbung pangan apakah sudah berjalan di trek yang benar atau belum.

Dari sudut pandang lain, dalam masalah inflasi pangan Indonesia mendapat label biru muda dari Bank Dunia lewat Peta Inflasi Pangan. Label itu diberikan setelah pemutakhiran data pada Juni 2023. Inflasi pangan Indonesia diberi nilai 1,7 dan kategori <2 dan berkembang menjadi -1,8 dengan kategori <0.

Beras dan pangan menjadi cukup rumit untuk dibahas, padahal negeri ini memiliki catatan sejarah pertanian yang cukup tua. Sejarawan Universitas Padjadjaran, Etty Saringendyanti, menyebut jejak kemampuan pertanian negeri ini ada sejak zaman Hindu-Buddha.

Menurut mantan Kepala Pustaka Kementerian Pertanian, Gayatri K. Rana, relief pertanian ada di prasasti Mulawarman dari era Kerajaan Kutai Kertanegara serta prasasti Purnawarman dari era Kerajaan Tarumanegara.

Menurut catatan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang mengutip pernyataan Stephen Oppenheimer dalam buku Eden In The East, pertanian di Indonesia tertata rapi. Pertanian di Indonesia terbukti mendahului dunia pertanian pada masa revolusi neolitikum di Timur Jauh atau Rusia dan negara-negara sekitarnya.

Oppenheimer menyebut budi daya ketela rambat dan talas di Indonesia tercatat pada 15.000 dan 10.000 tahun Sebelum Masehi. Budi daya beras di Thailand tercatat sejak 7.000 sampai 6.000 tahun Sebelum Masehi.

Anggap saja semestinya dua negara berbagi ilmu agar ketahanan pangan masing-masing terjaga, apalagi mereka memiliki hubungan lewat jalur perdagangan bernama Jalur Sutra. Minimal subsitusi pangan menjawab permasalahan beras langka, beras mahal, dan seterusnya.

Memang benar Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Karanganyar masuk 10 besar daerah dengan indeks ketahanan pangan tertinggi pada 2022 versi Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Kabupaten Boyolali ada di peringkat ke-34 dan Kabupaten Klaten di peringkat ke-49. Bapanas menganalisis indeks ketahanan pangan dengan sembilan indikator, salah satunya rasio konsumsi normatif.



Peringkat itu tak cukup menghibur para petani sebagai produsen beras. Realitas kehidupan mereka sulit dijadikan dongeng pengantar tidur, apalagi regenerasi petani di Soloraya susah disebut sukses.

Alih-alih pekerjaan sebagai petani malah dituding paling banyak menyumbang kemiskinan seperti disebut BPS Wonogiri. Untuk itulah, jika benar beras masih menjadi primadona pangan maka fakta-fakta di atas cukup menjadi dasar penetapan Indonesia darurat peduli beras.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Maret 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya