SOLOPOS.COM - Muh Hasyim, Guru SMAN 1 Solo Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS)

Muh Hasyim, Guru SMAN 1 Solo Alumnus Lembaga Pelatihan Jurnalistik SOLOPOS (LPJS) (JIBI/SOLOPOS/dok)

Membaca berita di berbagai media yang membahas hasil evalusi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang kegagalan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), membuat saya sebagai guru yang mengajar di RSBI merasa sangat prihatin. Betapa tidak, program RSBI yang dimulai pada 2005 hingga sekarang dinyatakan gagal total.
RSBI di seluruh Indonesia berjumlah 1.305 sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA/SMK diharapkan bisa menjadi SBI. Tenyata tidak ada satu pun yang lolos dalam penilaian.  Penyebab kegagalan adalah tidak terpenuhinya jumlah guru yang menyandang  gelar S2. Syarat RSBI bisa menjadi SBI harus memiliki minimal 10 persen guru S2 untuk level SD, 20 persen untuk level SMP dan 30 persen untuk level SMA dan SMK.
Memperhatikan tujuan awal program RSBI yang disosialisasikan pada workshop yang saya ikuti pada 2005 jelas sangat bagus. Pertama, RSBI bertujuan melaksanakan amanat Pasal 50 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam regulasi tersebut dinyatakan pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Hal ini mutlak diperlukan karena menjamin masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang berkualitas standar internasional (kemudian berubah menjadi bertaraf internasional). Sekolah harus terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pendidikan dan perkembangan teknologi di tingkat internasional. Untuk menghadapi perkembangan tersebut, sekolah sebetulnya sudah dibekali keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya secara efektif dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Kedua, untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah di Indonesia di berbagai bidang. Dengan melihat kenyataan kondisi kurang baik di bidang manajemen, kurikulum, fasilitas, pelayanan, penyediaan kursi untuk siswa miskin,  proses belajar mengajar dan sistem evaluasi di sekolah-sekolah pada umumnya (pada waktu itu),  maka sekolah mutlak harus ditingkatkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional apabila bangsa ini tidak ingin ketinggalan semakin jauh dari bangsa-bangsa maju yang lain.
Sekolah yang bertaraf internasional  minimal memiliki hal-hal sebagai berikut. Pertama, sistem manajeman yang terbuka, transparan dan akuntabel (baik manajemen SDM, keuangan maupun manajemen informasi). Kedua, fasilitas yang diperlukan oleh siswa dan guru (bukan fasilitas yang diinginkan kepala sekolah) dalam proses belajar mengajar secara memadai. Ketiga, pelayanan yang memuaskan bagi pengguna pendidikan (siswa, orangtua, masyarakat yang menggunakan output sekolah).
Keempat, kursi bagi siwa kurang mampu sehingga dapat mengakomodasi anak bangsa dari keluarga miskin yang berprestasi (sekarang banyak sekolah yang sudah mengalokasikan 20% kursi untuk siswa miskin). Kelima, proses belajar mengajar yang dapat meningkatkan minat, bakat dan potensi siswa secara maksimal sehingga dapat menghasilkan lulusan yang dapat disejajarkan dengan lulusan luar negeri (tidak hanya sekadar membekali siswa supaya lulus Ujian Nasional). Keenam, sistem  evaluasi yang mementingkan kualitas, tanggung jawab dan kejujuran (tidak hanya evaluasi yang menyesuaikan kriteria ketuntasan minimal  yang diminta).
Program RSBI yang diluncurkan pada 2005 dalam perkembangannya dinilai sebagian masyarakat sebagai sekolah yang salah konsep, sekolah mahal,  sekolahnya anak orang kaya, sekolah yang eksklusif, sekolah yang mendiskriminasi anak bangsa, sekolah yang menimbulkan ketidakadilan di masyarakat, sekolah yang mendapat dana sangat besar tetapi tidak bisa meningkatkan mutu secara signifikan dan berbagai tuduhan negatif yang lain. Penilaian seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi apabila program ini dikembangkan dengan benar dan dijalankan sebagaimana mestinya.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Mutu
Hambatan utama mungkin terletak pada, pertama, keterbatasan kemampuan motor penggerak di sekolah dalam mendayagunakan sumber daya, mengelola fasilitas dan dana secara efektif, dan dalam keberanian melakukan inovasi. Kedua, minimnya guru yang punya kompetensi tinggi, motivasi tinggi  dan kemauan dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Untuk mengatasi kegagalan yang ditemukan Kemendikbud dalam evaluasi RSBI yaitu kurangnya jumlah guru yang berpendidikan S2 semestinya ini sangat mudah diatasi oleh pemerintah. Yang perlu dilakukan hanya membantu pendanaan dan memberi kesempatan kepada guru-guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Apalagi  Kemendikbud memiliki dana bantuan peningkatan kualifikasi pendidikan yang belum terserap optimal.  Menurut Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, serapan bantuan tersebut hanya 50 persen.
Untuk menjadikan sekolah yang bertaraf internasional seharusnya tidak hanya terfokus pada syarat memenuhi jumlah guru yang berpendidikan S2, akan tetapi harus mendesain ulang programnya. Dalam mendesain ulang perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama, perlu penelitian yang mendalam untuk memperoleh konsep yang jelas agar sekolah tidak bingung memahami apa yang harus diperkuat, apa yang dikembangkan dan mana yang dituju.
Kedua, perlu penekanan pada kompetensi kepala sekolah dan guru. Ketiga, perlu mempertimbangkan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran bidang studi bukan Bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris oleh guru yang hanya pandai berbicara atau yang kurang menguasai bahasa dengan baik justru akan merusak kompetensi berbahasa siswa. Keempat, perlu pengaturan keuangan yang berimbang antara pengembangan fisik, pengembangan kurikulum dan pengembangan SDM.
Kelima, perlu pengaturan keuangan yang efektif dan transparan sehingga tidak menimbulkan kesan RSBI adalah sekolah komersial. Keenam, perlu penekanan pada kualitas proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan alat seperti laptop, LCD dan VCD. Ketujuh, penekanan mata pelajaran tidak hanya bidang IPA (Fisika, Matematika, Kimia dan Biologi) tapi juga mata pelajaran bahasa dan IPS yang banyak diminati siswa yang ingin melanjutkan belajar ke luar negeri.
Kedelapan, perlu pengembangan karakter sosial dan budaya bangsa. Kesembilan, perlu memperhatikan jumlah mata pelajaran yang harus dipelajari siswa. Kesepuluh, perlu dibuat definisi dan nama yang baru pada program peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air karena nama RSBI sudah tidak berkenan di hati sebagian warga Indonesia. Dengan usaha peningkatan mutu pendidikan yang terus menerus diharapkan dapat menemukan formula pembentukan Sekolah Bermutu Internasional (SBI) yang cocok bagi bangsa Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya