SOLOPOS.COM - Abdul Jalil (Istimewa/Solopos)

Solopos.com, SOLO – Beberapa  waktu lalu food vlogger Magdalena atau Mgdalenaf dihujat warganet. Ia menjadi bahan pergunjingan online di berbagai platform.

Akar hujatan itu pernyataan Magdalena di salah satu podcast bahwa dirinya kerap dipandang sebelah mata oleh pemilik usaha kuliner yang produknya akan direviu.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Dia datang di salah satu tempat makan dan tidak dijamu, padahal ia sudah menunjukkan jumlah followers di media sosialnya kepada pemilik tempat makan itu.

Publik menganggap itu sebagai kesombongan dan jemawa seorang pesohor media sosial. Jumlah pengikutnya di media sosial memang sangat banyak. Magdalena memiliki 4,23 juta subscribers di Youtube dan 2,4 juta followers di Instagram.

Sikap jemawa itu membuat warganet geram dan mengkritik. Tidak seharusnya seorang reviewer makanan diperlakukan istimewa oleh pemilik restoran.

Perlakuan istimewa itu membuat reviu produk maupun tempat tidak alami. Penuh rekayasa. Pereviu akan sulit menyampaikan penilaian secara jujur ketika ”dijamu”.

Reviu oleh influencer ini tentu berpengaruh terhadap keputusan followers dan warga memutuskan membeli atau tidak. Saat ulasan yang disampaikan tidak jujur, tentu akan menimbulkan kekecewaan, kecuali konten tersebut adalah iklan atau konten berbayar.

Secara etika seharusnya konten yang demikian harus diberi keterangan tertentu supaya tidak mengelabui konsumen. Saya pernah menjadi ”korban” reviu bodong influencer kuliner.

Saat itu saya tertarik mencicipi makanan yang direviu selebgram. Kelihatannya enak. Saya membeli makanan itu. Ternyata makanan tersebut tidak sesuai dengan penjelasan si influencer.

Bukan soal rasa karena itu relatif, tapi tentang bahan dan cara memasak makanan yang membuat ”tidak nyaman”. Beberapa waktu lalu seorang perempuan kreator konten membuat konten soal steak di salah satu restoran.

Perempuan ini kecewa karena yang dia pesan tidak sesuai dengan yang datang. Dia memesan lima steak daging dengan tingkat kematangan yang berbeda-beda dan ditumpuk menjadi satu.

Juru masak menyatakan itu tidak bisa karena akan merusak cita rasa. Saat berkomunikasi dengan juru masak, pelayan yang mengantar steak tadi “dibentak-bentak” oleh juru masak.

Kekecewaan itu dicurahkan si kreator konten di media sosial. Si kreator konten mengaku kecewa atas pelayanan restoran itu. Meski yang dibentak pelayan, dia merasa juru masak tersebut membentak dirinya.

Dua karyawan itu diberi surat peringatan oleh manajemen restoran. Konten tersebut mendapat ulasan negatif dan hujatan dari warganet. Food vlogger ini dianggap tidak mempunyai empati dan tak tahu etika.

Keributan demikian bukan kali ini saja terjadi. Banyak kasus demikian di media sosial. Kemungkinan besar kasus-kasus serupa akan terus terjadi. Kemunculan influencer dan pesohor media sosial tidak terlepas dari meningkatnya aktivitas masyarakat di dunia maya.

Para pesohor itu merasa punya kuasa karena memiliki pengikut sangat banyak. Modal pengikut ini kemudian menjadikannya sebagai sosok influencer yang mengklaim bisa “memengaruhi” pengikutnya untuk membuat suatu keputusan.

Semakin banyak pengikut, seorang influencer semakin merasa di atas awan. Merasa orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan diirinya. Hal demikian menyiratkan si influencer merasa superior dan menganggap lawannya inferior.

Begitu juga kreator konten. Pembuatan konten yang nirempati dan minim wawasan adalah bentuk lain dari sikap angkuh. Sebelum mengunggah konten yang penuh asumsi, ada baiknya kreator memverifikasi lebih dulu hal-hal yang tidak sesuai keinginannya.

Sikap ini untuk menghindari dampak buruk dari konten tersebut. Hanya bermodalkan kamera dan rasa percaya diri banyak yang langsung melabeli diri sebagai food vlogger.

Konten-konten yang mereka bikin kering, tanpa pengetahuan berarti bagi publik. Karakter demikian tampaknya sangat banyak di lingkungan maya kita.

Menurut Sigmund Freud, sikap narsistik merujuk orang-orang yang merasa dirinya penting secara berlebihan dan ingin terus mendapatkan perhatian. Narsistik melahirkan dehumanisasi.

Orang-orang narsis merasa lebih unggul daripada orang lain dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Orang yang merasa ingin terus diperlakukan istimewa oleh orang lain adalah indikasi dari seseorang yang mengalami gejala narsistik akut.

Media sosial yang memiliki audiens banyak memang terkadang membuat orang lupa menginjakkan kaki. Seharusnya seorang influencer terus belajar dan memperbaiki wawasan supaya konten berdampak pada peningkatan pengetahuan publik. Bukan hanya kepentingan bisnis dan konten tanpa memperhatian nilai-nilai bagi masyarakat.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 April 2023. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya