SOLOPOS.COM - M Rifdal Ais Annafis (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Apa yang kita ingat dari masa lalu? Agaknya ingatan selalu menggandeng sejarah yang tak ingin diam. Jan Marius Romein dalam suatu ketika menelaah (pada akhirnya) sejarah menceritakan tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Mungkin karena hal pelik demikian, saya menelusuri beberapa naskah–meski terkadang sejarah tak selalu menyenangkan. Saya diam-diam menaruh simpati: perang biologis dan perang senjata yang pernah terjadi di dunia nyata sama banyaknya.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Albert Camus yang dikutip N.H. Dini mengatakan dua jenis perang itu selalu menyergap tanpa disadari manusia. Saya menerka-nerka hal tersebut bukan tanpa sebab. Kemungkinannya adalah sikap kaum borjuis yang ingin memetak-metak kelas sosial dan demi hasrat pragmatis, juga politik.

Sekitar akhir abad ke-14 (1347-1351) di sela-sela perang senjata yang merangsek hampir setiap belahan dunia, pandemi terjadi dan maut hampir merenggut dua per tiga populasi Eropa dan terus menjalar ke sebagian besar Asia, China, dan Timur Tengah. Hampir 75 juta nyawa melayang.

Tentang maut, Goenawan Mohamad pernah menggubah puisi, “…// Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya di// ujung gang dan berjalan tak menentu//…” semacam rasa keputusasaan yang tak dibuat-buat.

Kemudian sejarah kembali mencatat wabah-wabah penting setelahnya bermunculan seperti Wabah Italia (1626-1631), Wabah Besar London (1665-1666), Wabah Besar Wina (1679), Wabah Besar Marseille (1720-1722) meski intensitasnya beragam. Wabah rasa-rasanya berhasil menggubah struktur sosial masyarakatnya.

Giovanni Boccacio dalam The Cameroon (1353) pernah mengungkapkan dan saya kira menggambarkan situasi sosial kala itu bahwa ketidakpastian untuk tetap bertahan hidup menciptakan suatu kecenderungan yang tak sehat pada masyarakat untuk (berpikiran bahwa) hidup hanya hari ini.

Rasa-rasanya relevansi ungkapan ini terus terbarui dengan dampak dan efisiensi berlanjut. Saya kemudian tertarik pada penelitian Sharon N. DeWitte dari University of South California yang mengemukakan persoalan lebih prinsipiel bahwa dampak black death, seperti itu sebutan orang-orang, bukan ditujukan untuk pemusnahan massal lalu merekonstruksi tatanan sosial dunia, tetapi lebih menyedihkan lagi: menyasar kaum lemah secara fisik dan psikis.

Di Eropa lebih ekstrem lagi. Kesempatan itu digunakan sejumlah kecil orang untuk memusnahkan kelompok-kelompok tertentu seperti orang Yahudi, biarawan, pengidap kusta, dan lainnya. Di sana, saya kira, politik menampakkan wajahnya yang lalim.

Bukan persoalan tersebut yang menarik perhatian saya, yang menarik dalam frasa Sharon adalah ”menyasar kaum lemah secara fisik dan psikis”. Tentu masyarakat pinggiran, jika konotasinya adalah Indonesia, menjadi kaum yang paling terkena dampak.

Tentang masyarakat marginal ini, rasanya hampir pasti selalu terdampak terutama persoalan psikis dan ekonomi yang dilatarbelakangi sosiokultur kala itu. Kebanyakan problem kejiwaan, kata Sigmund Freud, setelah ditelaah lebih jauh  berakar dari pengalaman masa kecil yang umumnya tidak menyenangkan.

Eagleton (1996: 436) mengabarkan juga kepada kita mengenai telaah Freud bahwa pengalaman masa kecil tidak selalu dapat ditangkap oleh ingatan secara sadar si individu (individual’s conscious mind) dan pada akhirnya, sebagaimana kutipan Minderoop (2011: 11), pengalaman masa kecil seseorang dapat memengaruhi kepribadian hingga dewasa.

Kenyataan demikian tak pernah dapat menampik bahwa hidup akan terus bekerja dengan sederhana; gedung-gedung selalu tumbuh, jalan beraspal seakan-akan merayap, hingga timbul pertanyaan, setelah semua ini apa yang kita siapkan untuk generasi mendatang? Generasi yang memiliki dampak psikis akibat keserakahan manusia?

Saya tiba-tiba ingat salah satu–jika boleh disebutkan—ketegangan tumpang tindih  antara kekuasaan dan nasib hari esok. Pada banyak mata pelajaran sejarah disebutkan pada kongres pengajaran tahun 1919, J.H. Gunning membacakan satu telaah lapangan yang ia saksikan dengan mata sebelah, dalam arti serderhananya, tanpa menangkap fenomena keseluruhan atau latar belakang sesuatu itu terjadi.

Trauma

Dalam sejarah, pada awal abad ke-20 sesuai imbauan Jenderal Van Heutsz, ada sekolah tiga tahun di dusun-dusun. Setelah beberapa waktu, kemungkinan yang dicetuskan sang jenderal tidak sesuai dengan upaya “balas budi” pemerintahan Hindia Belanda dalam usaha mengakomodasi masyarakat kala itu.

Gunning berpendapat, meminjam ungkapan Goenawan Mohamad, rakyat di desa ternyata tidak dipengaruhi semangat ”timur yang bangkit”. Ada kalanya telaah lapangan bisa saja disalahartikan. Ada kalanya persoalan-persoalan hanya dipandang sejauh mana berguna bagi komoditas itu sendiri, secara pragmatis dan praktis.

Di dalam kasus Gunning ini, saya curiga bahwa ia dalam beberapa kesempatan hanya menguji sejauh mana kesadaran masyarakat tentang pendidikan itu timbul tanpa, bisa saja, tidak serta-merta memikirkan dampak-dampak kebijakan yang telah diambil.

Kembali pada kesimpulan Minderoop, bahwa pengalaman masa kecil seseorang dapat memengaruhi kepribadiannya hingga dewasa. Mengapa orang tua dari anak-anak yang disasar untuk berpartisipasi dalam program ini tidak benar-benar menganjurkan untuk mengikuti imbauan sang jenderal adalah karena terpengaruh pengalaman masa sebelumnya mengenai penarikan upeti dalam setiap kegiatan yang diadakan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Mengapa demikian? Sebab-sebab sederhananya adalah dampak nyata dari perang itu sendiri. Ada semacam trauma menggunung sehingga mereka menjauhi. Perang yang tak berkesudahan pada batas-batas tertentu menyimpan hierarki mutlak yang pada akhirnya akan merubuhkan entitas sebuah bangsa, sebuah kehidupan.

Sejak meletusnya perang Rusia dan Ukraina awal tahun ini, setidaknya kita menemukan beberapa macam dampak. Secara nyata, yang dialami masyarakat desa di timur jauh Madura juga berdampak pada masyarakat dua negara ini.

Terlepas dari kubu pemenang atau kubu yang kalah, mereka secara sadar akan mulai meragukan sebuah iktikad pendidikan dan mulai trauma dengan berbagai macam perang. Akhirnya ketika pendidikan runtuh, ekonomi yang susah payah dibangun akan runtuh pula, dan akhirnya kehidupan akan sangat menyebalkan.

Apa yang kita ingat dari masa lalu? Sesuatu akan tumpang-tindih. Sesuatu pergi dan kembali. Sesuatu akan mulai dan berakhir. Sesuatu akan menemukan makna paling musykil tentang kehidupan. Berapa masa lagi? Setahunkah?  Sebulan? Kita lihat dan buktikan!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 September 2022. Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Yogyakarta, aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya