SOLOPOS.COM - Didik G Suharto (FOTO/Dok)

Didik G Suharto (FOTO/Dok)

Dosen Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Ada benang merah yang bisa ditarik dari rencana penggunaan hak interpelasi sejumlah anggota Komisi VI DPR terkait Keputusan Menteri (Kepmen) BUMN No KEP-236/MBU/2011, yakni bahwa untuk melakukan perubahan birokrasi terbukti tidak mudah.
Langkah Menteri BUMN, Dahlan Iskan,  untuk memangkas rantai birokrasi tidak semudah seperti yang dibayangkan. Pemikiran-pemikiran inovatif seolah menemui jalan buntu ketika berhadap-hadapan dengan birokrasi. Ide-ide kreatif terkadang harus berhenti saat menemui tebing terjal dalam sistem birokrasi.
Birokrasi kita secara umum tampaknya masih menunjukkan kebekuan. Kebekuan birokrasi antara lain terlihat dari respons yang rendah terhadap perubahan, terjebak dalam rutinitas dan miskin inovasi. Akibatnya, birokrasi terkesan kurang ”ramah” terhadap upaya-upaya untuk perbaikan.
Ini terlihat dari sistem, kultur, maupun perilaku dalam birokrasi yang sulit mengikuti harapan-harapan perubahan ke arah lebih baik. Reformasi birokrasi yang sudah digelorakan sejak lebih dari satu dekade lampau yang hingga kini belum menemukan wujud idealnya juga menguatkan sinyalemen tersebut.
Kenyataannya, birokrasi masih identik dengan kelambanan, rumit, tak efektif,  tak efisien dan bentuk red tape birokrasi lain.  Suntikan atau dorongan perubahan yang diembuskan oleh sebagian kecil orang sepertinya belum mampu mengubah wajah umum birokrasi kita.
Langkah-langkah konkret beberapa pemimpin–sebut misalnya Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Walikota Solo Joko Widodo–untuk membenahi manajemen dan kinerja birokrasi, meskipun banyak dipuji, tidak sedikit yang meragukan efektivitasnya untuk memperbaiki sistem dalam jangka panjang.
Para pemimpin yang dianggap berhasil menata birokrasi lewat best practices penyelenggaraan pemerintahan, diragukan keberlanjutannya. Akankah terobosan-terobosan para pemimpin tersebut menghasilkan sistem yang mantap sehingga ketika mereka tidak lagi menjabat praktik-praktik positif birokrasi tetap berlangsung?
Atau best practices tersebut ikut hilang seiring lengsernya pemimpin? Rasa pesimistis semacam itu biasanya muncul saat membayangkan birokrasi kita masih kuat mempertahankan sistem dan kultur lamanya.

Realitas
Diakui atau tidak, realitas birokrasi kita masih didominasi praktik administrasi publik tradisional. Sistem dalam birokrasi terkadang justru menjauh dari prinsip-prinsip sebagaimana dituntut oleh paradigma administrasi publik modern.
Sebagai contoh adalah paradigma new public management (the efficiency drive, downsizing and decentralization, in search of excellence, dan public service orientation) serta paradigma new public service (democratic citizenship,  model komunitas dan civil society, organisasi humanis dan lain-lain).
Realitas birokrasi seperti itulah yang kemudian menjadikan langkah inovasi maupun perubahan yang dikembangkan dalam birokrasi penuh dengan risiko. Jika tidak bijak dan terencana baik, inovasi birokrasi bisa berbenturan dengan masalah lain, misalnya persoalan hukum atau aturan administratif.
Upaya membuat terobosan baru bisa jadi justru dipersalahkan jika tidak didukung payung hukum yang jelas. Hal ini dilandasi kenyataan bahwa sistem administrasi perencanaan, implementasi, maupun evaluasi anggaran masih sangat kaku, formalistis dan terkadang masih sentralistis. Penyelenggaraan pemerintahan pun sering cuma terpaku pada proses, bukan melihat output/outcome.
Padahal, realitas di lapangan berlangsung sangat dinamis yang menuntut respons cepat serta fleksibilitas tinggi. Institusi pemeriksa, pengawas, maupun penegak hukum sangat mungkin belum memiliki kesamaan pandangan dalam hal penerapan inovasi birokrasi. Di sisi lain, pedoman aturan (payung hukum) cenderung tidak mampu mengikuti dinamika di lapangan.
Inovasi birokrasi juga bisa menemui benturan dari internal birokrasi terkait kompetensi dan kesiapan pegawai dalam mendukung program pimpinan. Sejauh mana kualitas dan komitmen para birokrat akan menentukan sejauh mana efektivitas inovasi birokrasi.
Birokrat yang cenderung dilenakan oleh situasi ”apa adanya” dan selama ini menikmati privilese, hampir dapat dipastikan tidak senang dengan kebijakan reformasi birokrasi yang bisa jadi akan menggusur perilaku-perilaku tidak produktif yang sudah menjadi rutinitas dan kebiasaan.

Perbaikan Sistem
Oleh karenanya, upaya reformasi birokrasi perlu dilakukan secara simultan. Setidaknya ada beberapa pekerjaan rumah untuk membenahi birokrasi kita agar lebih responsif terhadap perubahan.
Pertama, sistem perekrutan dan pengembangan sumbar daya manusia (SDM). Syarat untuk menciptakan birokrasi yang profesional adalah tersedianya SDM berkualitas. Syarat ini terutama ditentukan oleh proses perekrutan yang diharapkan bisa memberikan modal awal bagi birokrasi.
Birokrasi pemerintahan tampaknya perlu pegawai-pegawai yang berjiwa inovatif, kreatif dan melayani. Oleh karena itu, proses penempatan pegawai dan pengangkatan pejabat semestinya memperhitungkan aspek kompetensi, komitmen dan jiwa entrepreneurship dari (calon) pegawai.
Kedua, persoalan kelembagaan birokrasi. Selama ini birokrasi sering diidentikkan dengan struktur gemuk yang cenderung boros dan tidak terkoordinasi sehingga tidak sinergis. Struktur organisasi hendaknya dirancang sesuai kebutuhan nyata sehingga menjadikan organisasi responsif terhadap tuntutan masyarakat. Idealnya secara struktural birokrasi dibuat agar mampu bergerak fleksibel, efektif dan efisien. Bukan seperti selama ini yang didominasi formalisme dan pemborosan.
Ketiga, pengukuran kinerja. Kinerja pegawai/unit kerja harus terukur untuk bisa menilai prestasi kerja mereka. Kejelasan atas parameter kinerja ini bermanfaat dalam rangka pembinaan kepegawaian dan untuk menentukan reward and punishment setiap pegawai. Dalam konteks ini, implementasi PP No 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS sangat ditunggu eksistensinya.
Terkait peningkatan kinerja pegawai, birokrasi perlu memperhatikan kebutuhan akan penghasilan yang memadai, adil dan bermartabat sesuai output pegawai. Bagaimana pun, tuntutan sikap profesional harus dibarengi oleh ketersediaan upah memadai atau adanya faktor pemenuhan kesejahteraan.
Keempat, pembenahan terhadap sistem-sistem penunjang, terutama sistem regulasi dan penganggaran. Perbaikan atas regulasi perlu untuk menjamin kepastian hukum. Kejelasan dan ketegasan aturan main dalam birokrasi penting untuk memberikan rambu-rambu bagi setiap pegawai sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Di sisi lain, para birokrat juga tidak dipersalahkan karena bertindak tanpa dasar hukum.
Sedangkan pembenahan terhadap sistem anggaran diperlukan untuk menopang perwujudan visi dan misi birokrasi. Konsep anggaran berbasis kinerja seharusnya tidak hanya dimaknai sebatas persoalan pemenuhan aspek administratif semata, namun yang lebih penting adalah menyangkut hal-hal substantif.
Terakhir, untuk memecah kebekuan birokrasi jelas memerlukan ”martil” yang andal. Perlu pemimpin yang memiliki jiwa visioner, berani, berkomitmen dan siap berkorban untuk menggerakkan gerbong birokrasi agar bisa berlari cepat.
Kultur birokrasi yang sudah telanjur mengakar kuat membutuhkan keteladanan pemimpin jika hendak memperbaikinya. Perbaikan budaya dalam birokrasi perlu waktu lama dan perjuangan berat.
Ketiadaan sistem yang kondusif bagi upaya inovasi birokrasi serta tidak adanya pemimpin yang bisa menjadi panutan dan mampu mengelola birokrasi secara efektif mengakibatkan masa depan birokrasi kita tampaknya masih dilanda kebekuan dan lambat dalam merespons tuntutan perubahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya