SOLOPOS.COM - Anicetus Windarto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO – Kebutuhan  untuk keluar dari masalah dilematis tentang pendangkalan akademis, termasuk perjokian karya ilmiah, semakin perlu diwujudkan agar panggung akademis baru dalam dunia pendidikan tinggi dapat lahir sebagai wahana pembaruan intelektual publik.

Khusus di Indonesia, meski masalah dilematis ini belum terlalu mendesak untuk diperbincangkan, menjadi penting untuk mewaspadai dengan jeli bahwa selama ini tampak ada yang mangkir atau absen dalam kehidupan akademis, yang jika tidak diberi perhatian secara memadai akan berdampak serius dalam kehidupan intelektual publik kita.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Seperti telah dikaji oleh Benedict Anderson di koran Bangkok Post (28 June 2010) dan dipertajam oleh Pierre Marthinus di koran The Jakarta Post (15 Juli 2010), bahwa kalangan intelektual hanya menjadi kalangan “perekayasa kebijakan” (policy architects) dalam masyarakat yang semakin plural dan tanpa batas ini.

Itu artinya mereka yang sesungguhnya berkemampuan menembus dan melestarikan pengetahuan lama dan rahasia itu sekadar memproduksi beragam ilmu yang menyenangkan untuk ditonton dan membahagiakan untuk dinikmati.

Itulah mengapa kalangan intelektual semacam ini ibarat peniup seruling bagi ular (snake charmer) yang suka menari-nari begitu mendengar bunyi yang dimainkan. Dengan permainan seperti itu, para pembuat kebijakan yang berperan sebagai penyambung lidah rakyat itu tidak lebih hanya mengikuti apa yang dimainkan oleh kaum intelektual hingga saat ini.

Permainan yang kerap mengabaikan suara dan kepentingan rakyat itu mudah ditebak sekadar menghasilkan pro dan kontra yang seolah-olah menggantung di awang-awang. Contohnya, terkait dengan penanganan berbagai kasus korupsi, yang diperdebatkan selalu hanya berkutat pada jumlah uang yang telah membuat negara mengalami kerugian dan rakyat menjadi semakin miskin, bahkan sengsara.

Seakan-akan uang itu adalah milik nenek moyang yang telah dicuri dan wajib untuk dikembalikan. Sementara pada kenyataannya, belum ada satu pihak pun yang pernah mengaku merasa malu telah melakukan tindak pidana yang membuat banyak orang menderita.

Para koruptor yang tertangkap tangan bahkan justru dengan tersenyum lebar sembari melambai-lambaikan tangan tampil di media mirip dengan artis-artis kenamaan. Tak mengherankan, ketika diadili dan divonis dengan hukuman penjara sekalipun, mereka masih dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun menjalaninya karena seperti ada jaminan bahwa kehidupan mereka tidak akan jauh berbeda dengan hidup bebas di luar sana.

Banal

Inilah yang membuat masyarakat merasa ragu-ragu dan pesimistis bahwa hukum telah ditegakkan dengan seadil-adilnya. Oleh sebab itu, hukum yang selama ini lebih sering terasa tajam ke bawah dan tumpul ke atas bukanlah isapan jempol belaka, bahkan semakin dimaklumi saja alias dipandang sebagai banal semata.

Sebaliknya, kalangan intelektual yang di mata publik beraksi seperti pawang singa (lion tamers) justru semakin langka dan dibuang dari pikiran. Mereka yang selalu berbekal cambuk dan kursi kecil untuk mengajari hewan-hewan yang dipandang liar dan buas itu malah disingkirkan dan, jika perlu, diasingkan agar dapat segera menuntaskan masalah daripada sekadar mendengar kritik yang hanya memerahkan telinga dan muka.

Kalangan intelektual ini  tampak lebih sering menjadi “musuh” bagi mereka yang gemar membalikkan punggung terhadap kekejaman-kekejaman. Masuk akal di tengah masyarakat yang selalu dibuat tidak stabil dalam berpendapat, mereka lebih rela mengorbankan nyawa sesama mereka.

Mereka dengan jelas dan tegas akan menolak, bahkan menghantui, siapa pun yang masih berpegang pada keyakinan yang lebih sukar digoyang daripada pengetahuan. Bukan kebetulan jika sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer dapat ditunjuk sebagai representasi atau penampakan dari mangkirnya intelektual publik kita saat ini.

Pram yang telah diakui sebagai sastrawan kenamaan itu bukan saja telah membuktikan kemahakaryaannya seperti lewat tetralogi Pulau Buru, tetapi juga perjuangannya yang bukan semata-mata “shadow boxing“. Dengan kata lain, seluruh karya sastranya tidak hanya untuk membuat para pembacanya sekadar “berlatih bertinju dengan bayangannya sendiri”, melainkan justru bertarung di ring yang telah disiapkan.

Karena itulah, Pram sama sekali tidak pernah memanfaatkan mitos-mitos yang dipandang justru meniadakan nalar dalam setiap karyanya seperti pantangan untuk mengenakan baju hijau ketika berkunjung ke pantai selatan. Konon bagi siapa pun yang melanggar pantangan itu akan terseret ombak lantaran dibawa oleh Nyai Rara Kidul sebagai penguasa pantai selatan.

Justru segenap mitos itu dia lawan dengan menggunakan nalar bahwa baju hijau adalah simbol dari seragam pasukan Belanda yang tak terkalahkan dan berkuasa secara dominan di setiap koloninya, termasuk Hindia Belanda. Tentu, Pram memiliki nalar yang khas sebagai bagian dari kaum intelektual publik di Indonesia.

Dengan kekhasannya itulah, Pram telah memainkan peran dan memberi sumbangan yang tidak kecil dalam dunia akademis. Penting untuk selalu diwaspadai dengan jeli bahwa yang mangkir dari intelektual publik itu tidak pernah hilang begitu saja. Tetap diperlukan segenap upaya untuk mendidik generasi baru dari intelektual publik yang mampu membongkar setiap pemangkiran dan menata ulang agar siap dan mampu keluar dari dilema kapitalisme akademis.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Maret 2023. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya