SOLOPOS.COM - Suranto Tjiptowibisono (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tudingan  pelanggaran etika publikasi dalam kehidupan kampus mencoreng para dosen dan calon guru besar. Ini telah masuk scientific missconduct yang dikaitkan dengan aturan dan kebijakan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sebagai penyebabnya.

Tentu ini menjadikan dugaan yang dapat diperkirakan mendekati kenyataan kalau tidak ingin dikatakan “keaslian jati diri calon guru besar”. Pelanggaran etika publikasi ilmiah sungguh tidak terpuji di tengah keprihatinan bangsa yang kini harus menghadapi kondisi dunia yang tidak sedang baik-baik saja.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Kampus-kampus di negeri ini sedang berbenah agar layak sejajar dengan perguruan tinggi luar negeri dalam rangka memajukan pendidikan nasional. Kualitas dosen sangat memengaruhi kualitas kemajuan institusi.

Semakin banyak tenaga pendidik bergelar doktor akan menjadi penyangga utama kemajuan pengembangan keilmuan yang ditekuni. Puncak karier dosen adalah jabatan fungsional tertinggi, yaitu profesor atau guru besar.

Standar minimal pencapaian jabatan tersebut tentu harus mengacu aturan. Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi memformulasikan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, salah satunya publikasi di jurnal internasional bereputasi.

Sebenarnya syarat yang harus dipenuhi calon guru besar dengan publikasi di jurnal ilmiah bereputasi adalah “syarat biasa” yang dapat dipenuhi kalau seorang dosen mengabdi di perguruan tinggi yang memadai, research university atau learning university.

Ketika dua jenis perguruan tinggi tersebut telah diformulasikan, budaya menulis hasil penelitian tentu dapat dipublikasikan di jurnal bergengsi yang terbit di dalam negeri maupun luar negeri.

Rasanya sangat tidak elok ketika seorang dosen ternyata masih mempermasalahkan mengapa harus membuat karya ilmiah dan dipublikasikan di jurnal yang diakui oleh komunitas profesinya.

Kontemplasi kesadaran pribadi tentang kelayakan karya ilmiah yang ditulis adalah bagian dari proses yang harus dilalui sebelum merasa layak menyandang jabatan profesor, sebelum merasa layak menjadi guru besar.

Ketika calon guru besar masih merasa kewajiban memublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi terlalu berat dan mengada-ada, sebenarnya ada nafsu amarah yang belum dapat ditaklukkan.

Hakikat jati diri dosen, kewajiban, dan konsekuensi sebagai dosen perlu direnungkan. Ada faktor psikologis yang diuji dan dipertanyakan tentang respect for other, termasuk penerimaan hasil penilaian orang lain sebagai kenyataan.

Tugas ini mesti dimaknai sebagai takaran/ukuran norma kepatuhan dalam merespons penilaian karya orang lain yang ditugaskan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Terknologi dalam proses ini.

Varian Guru Besar

Ekspresi penolakan dalam bentuk verbal dan ekspresi tingkah laku adalah bentuk nyata tentang kesiapan psikologis seorang calon guru besar. Kematangan secara psikologis tampaknya akan mewarnai seseorang untuk menjadi santun dan matang dalam mengemban jabatan tertinggi di kampus.

Akankah pribadi guru besar cepat menyesuaikan dan berubah total seiring dengan waktu yang berjalan menjadi pribadi yang matang, santun, dan berjiwa besar? Ini proses yang dialami sejak awal pengurusan menjadi guru besar.

Proses menjadi guru besar sebenarnya merupakan proses akademis biasa, namun boleh jadi ada calon guru besar yang belum siap secara mental. Tuntutan kehendak dan harapan tertentu mengubah kemauan menjadi ambisi yang kemungkinan tidak terkendali.

Ini terekspresi dalam bentuk ucapan dan tingkah laku yang bisa jadi kurang etis atau bahkan tercermin menjadi sifat-sifat asli yang selama ini terpendam.

Jabatan guru besar/profesor adalah jabatan yang sangat terhormat dan penuh tanggung jawab akademis dan moral yang disertai dengan suri teladan kebaikan.

Tingkah laku seperti memberi teladan ketika mendapatkan amanah memimpin dan dapat menciptakan serta membangkitkan semangat dan menumbuhkan jiwa yang kuat dan tangguh dalam pelaksanaan tridarma perguruan tinggi adalah hal yang perlu selalu digelorakan sewaktu berada di antara mereka.

Guru besar seharusnya menjadi sumber motivasi, sumber dorongan, dan pemberi nasihat ketika suatu saat berada di belakang sehingga dapat melecut dosen lainnya ke arah yang lebih baik.

Apabila saat ini ada yang menganggap syarat menjadi guru besar dengan publikasi di jurnal internasional bereputasi terlalu berat kiranya proporsi angka kredit bisa dipertimbangkan.

Pertimbangan itu misalnya dengan mengubah persentase tidak lagi 45%, cukuplah 30% hingga 35%, dengan catatan bahwa temuan produk lain, seperti metode atau desain tertentu, seyogianya perlu ditambahkan sebagai pertimbangan persyaratan menjadi guru besar.

Dengan demikian, kampus dapat mengajukan arah pengembangan perguruan tinggi riset atau perguruan tinggi pembelajaran yang akan berdampak pada proporsi angka kredit yang harus dipenuhi dosen menuju jabatan guru besar.

Bila masih ada istilah ”profesor kelas pertama” dan ”profesor kelas kedua” gara-gara persyaratan publikasi/bidang penelitian yang lebih rendah persentasenya, tampaknya harus disikapi secara bijaksana dan hati-hati.

Terlepas dari semua aspek kontroversi yang mengemuka, misalnya tentang varian guru besar, sebenarnya syarat publikasi di jurnal internasional bereputasi adalah syarat minimal bagi dosen menjadi guru besar agar kualitas profesor Indonesia sejajar dengan profesor negara-negaraa lain di Asia Tenggar dan suatu saat dapat sejajar dengan kualitas para profesor di tingkat dunia.



(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 3 Maret 2023. Penulis adalah Ketua Dewan Profesor Universitas Sebelas Maret dan alumnus La Trobe University, Melbourne, Australia)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya