SOLOPOS.COM - Muh Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Beberapa waktu lalu, sebuah video yang menggambarkan kecelakaan kereta api beredar di salah satu grup WhatsApp (WA) di ponsel saya. Video berdurasi itu hampir tiga menit itu dikirim oleh salah seorang anggota grup WA dengan narasi seperti ini.

“Berita ini viral dan tidak boleh ditayangkan televisi karena sangat memalukan pemerintahan petruk. Uji coba kereta cepat Jakarta-Bandung keluar dari relnya dan memakan korban pekerja terluka. Tapi media daring tidak bisa dibendung. Akhirnya masyarakat lebih percaya medsos. Selamat tinggal media arus utama yang bangkrut. Sekarang orang tidak perlu menulis opini di media utama seperti Kompas yang gak ada yang baca. Mendingan disebar lewat medsos.”

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Dari kalimat yang digunakan dalam narasi itu, sejak awal saya tak yakin dengan kebenaran informasi itu. Saya berpikir sederhana. Andai informasi itu benar terjadi, bagaimana mungkin insiden besar seperti itu tidak masuk pemberitaan media massa? Padahal, para jurnalis punya kewajiban untuk mewartakan kejadian itu kepada publik.

Bukan semata menjalankan peran media sebagai penyalur informasi. Jurnalis juga punya kewajiban untuk mengawal kasus itu hingga ada pihak yang bertanggung jawab atas insiden besar itu.

Namun faktanya, tidak ada pemberitaan terkait insiden itu di media massa baik televisi, cetak, daring atau radio sekalipun. Bukan karena tidak boleh ditayangkan di media massa seperti dinarasikan dalam pesan di grup WA itu, tetapi memang tidak ada insiden semengerikan itu.

Di media massa justru muncul pemberitaan dari media pelat merah yang menyebutkan bila informasi terkait kecelakaan uji coba kereta cepat itu adalah hoaks. Link berita dari media massa terkait info hoaks mengenai kecelakaan kereta cepat Jakarta-Bandung itu kemudian saya bagikan ke grup WA di ponsel saya tadi. Respons saya sebatas itu.

Ini bukan kali pertama grup WA di ponsel saya itu jadi media untuk menyebar informasi hoaks. Masih ada berita hoaks-hoaks lain yang biasa di-share tanpa disaring lebih dulu untuk menguji kebenaran informasi itu.

Link berita yang menyebutkan informasi yang beredar di grup WA itu adalah hoaks tak cukup mempan untuk melawan. Alih-alih mau menyadari kekeliruan kemudian menyaring informasi di kemudian hari, mereka justru mengamini kebenaran info hoaks itu. Mereka merasa perlu untuk membagikannya ke grup WA bila ada informasi yang dianggap penting dari kaca mata mereka sendiri.

Saya sendiri tidak mau menghabiskan energi untuk menanggapi setiap informasi hoaks yang mampir ke grup WA di ponsel saya itu. Terkadang, saya merasa perlu berdamai dengan keadaan. Mudah bagi saya untuk memaklumi kebiasaan sejumlah anggota yang suka menyebar info hoaks itu. Sebab, sebagian besar dari anggota grup WA itu berusia di atas 50 tahun, bahkan banyak di antara mereka yang sudah memasuki usia pensiun yakni di atas 60 tahun.

Lebih tepatnya, sebagian besar dari mereka adalah Generasi X atau Gen X yang lahir antara 1965 hingga 1980 dengan usia sekarang ini antara 43-58 tahun. Bahkan, sebagian anggota grup WA itu masuk generasi Baby Boomers yang lahir pada 1946-1964 dengan usia pada saat ini 59-77 tahun. Istilah Baby Boomers muncul di AS karena pada rentang tahun itu terjadi ledakan kelahiran bayi yang luar biasa besar setelah Perang Dunia II berakhir.

Definisi Gen X dan Baby Boomers berdasar usia itu merupakan hasil penelitan dari Biro Sensus AS.  Alexis Abramson, ahli pengelompokan generasi asal AS, mengatakan perbedaan waktu kelahiran menghasilkan karakteristik generasi yang berbeda. Menurut Abramson, tahun kelahiran memengaruhi sikap, persepsi, dan nilai-nilai yang diyakini, dan perilaku seseorang ataupun komunitasnya.

Menurut Abramson, Baby Boomers memiliki karakteristik seperti memiliki komitmen tinggi, bersikap mandiri dan kompetitif. Kecenderungan kompetitif pada Baby Boomers kemungkinan dilatarbelakangi banyaknya individu yang lahir pada generasi ini.

Dengan begitu, mereka merasa harus bersaing ketat untuk mendapatkan tempat di masyarakat. Mereka merasa perlu berkompetisi untuk menjadi pribadi yang terbaik.

Karakter lain yang dimiliki Baby Boomers adalah sulit menerima kritik. Ada kecenderungan mereka lebih suka mengkritik generasi muda misalnya akibat kurang komitmen dan etika kerja.

Sementara Gen X memiliki karakteristik seperti banyak akal, logis dan pemecah masalah yang baik. Dibandingkan dengan Baby Boomers, Gen X memiliki kemampuan bisnis yang lebih baik.

Di kelompok sosial masyarakat misalnya, umumnya posisi atau jabatan penting seperti ketua RT, kades, lurah, camat, bupati hingga wali kota diampu oleh Gen X. Tentunya tanpa bermaksud mengesampingkan generasi Y atau milenial (lahir antara 1981–1996) yang menduduki jabatan penting di pemerintahan.

Sayangnya, karakter positif yang dimiliki Baby Boomers dan Gen X tersebut justru berbanding terbalik ketika mereka dihadapkan dengan perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sendiri menyebut sebagian besar info hoaks yang beredar melalui media sosial disebar oleh Gen X dan Baby Boomers. Kominfo lantas mengajak generasi milineal atau Gen Y dan Gen Z untuk melawan hoaks yang disebarkan oleh Gen X dan Baby Boomers.

Pew Research menyebut Baby Boomers tumbuh saat televisi berkembang secara dramatis, mengubah gaya hidup dan koneksi mereka ke dunia dengan cara yang mendasar. Sementara Gen X tumbuh di masa ketika teknologi mulai berkembang pesat, tetapi belum secanggih seperti sekarang ini.

Usia Baby Boomers dan Gen X makin menua ketika teknologi berkembang dengan pesat. Meski begitu, mereka masih bisa beradaptasi dengan baik. Walau awalnya masih butuh bantuan dari Gen Y maupun Gen Z, pada akhirnya mereka mulai mengikuti kecanggihan teknologi itu. Ini bukti bila mereka cukup adaptif dengan perkembangan teknologi informasi.

Tak jarang mereka juga memiliki akun media sosial, terutama Facebook. Mereka menggunakan media sosial untuk berhubungan dengan anggota keluarga dan teman lama. Tidak dimungkiri ada banyak generasi Baby Boomers dan Gen X yang mampu memanfaatkan media sosial dengan bijak. Sebagian dari mereka bisa mengelola informasi dengan baik. Namun, tidak sedikit dari mereka yang gagap dalam mengelola informasi yang didapat dari media sosial.

Saat mendapatkan informasi yang menurutnya penting, mereka langsung meneruskan pesan itu kepada orang lain melalui broadcast atau grup WA. Celakanya, tidak semua Baby Boomers dan Gen X memiliki kemampuan untuk menelaah kebenaran informasi yang ia terima. Alih-alih mengecek kebenaran informasi yang ia terima, ada kecenderungan mereka justru merasa bangga bila menjadi orang pertama yang menyebarkan informasi itu ke grup WA.

Mengingatkan Baby Boomers dan Gen X untuk bijak dalam bermedsos memang tak mudah. Apalagi, khususnya Baby Boomers, dikenal sulit menerima kritik. Terlebih, jika kritik itu disampaikan oleh mereka yang lebih muda. Sebab, pada dasarnya mereka lebih suka mengkritik generasi muda.

Itu sebabnya, saya memilih berdamai dengan keadaan saat informasi hoaks berseliweran di grup WA yang sebagian besar beranggotakan Baby Boomers dan Gen X. Sebab, ada hubungan sesama manusia yang tetap harus dijaga supaya tidak retak. Ada kerukunan yang harus dikedepankan daripada terpecah belah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya