SOLOPOS.COM - M. Zainal Anwar (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Dari pemilu ke pemilu cara politikus atau calon anggota legislatif (caleg) berkampanye dan mengenalkan diri tampaknya tidak mengalami perubahan signifikan. Memasang foto di pohon atau tiang listrik, baliho besar di pinggir jalan dengan ditopang bambu, atau memasang spanduk tampaknya masih menjadi pilihan utama para politikus maupun caleg.

Cara lain dilakukan dengan memasang stiker atau membentangkan kain besar di tembok. Para caleg yang berkontestasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 seolah-olah yakin bahwa cara yang demikian sangatlah manjur.

Promosi Antara Tragedi Kanjuruhan dan Hillsborough: Indonesia Susah Belajar

Tidak perlu bertanya soal biaya. Pasti tidak murah. Dengan kata lain, perkembangan teknologi dan gaya komunikasi di media sosial tampaknya belum dioptimalkan. Saya jadi ingat ketika tiba-tiba ada begitu banyak papan informasi dari kayu yang dipasang di beberapa sudut kampung.

Sejauh saya amati, papan informasi tersebut tidak banyak dimanfaatkan. Hampir semua informasi tentang kampung, misalnya arisan warga, posyandu khusus warga lansia, maupun kegiatan kerja bakti disampaikan melalui grup Whatsapp atau WA.

Jika dicermati, gaya berkomunikasi secara visual tersebut tentu saja tergolong model komunikasi yang satu arah. Gaya komunikasi yang demikian pasif, sangat tidak interaktif, padahal pola komunikasi saat ini yang lebih disenangi adalah yang menyediakan ruang interaksi antara dua orang atau lebih.

Gaya politik satu arah ini sebenarnya mulai ditinggalkan. Warga lebih suka ketika ada dialog secara langsung karena bisa saling memberikan pertanyaan dan ada jawaban. Belum lagi ketika dilihat dari isi alat peraga kampanye. Hampir semua lebih banyak memohon doa restu, mengklaim sebagai tetangga sendiri, atau orang penduduk asli sehingga layak dipilih.

Model kampanye semacam ini sering disebut dengan representasi simbolis karena lebih mengandalkan simbol semata. Belum menuju pada representasi substantif ketika warga memilih calon wakil rakyat atau kandidat pemimpin berdasarkan kesamaan ideologi atau program yang dikampanyekan.

Situasi ini menarik diamati di level kandidasi caleg di level kabupaten/kota atau provinsi. Di level lokal, gaya dan cara politikus lokal memasarkan diri lebih menarik dicermati. Faktor kedekatan menjadi sangat penting.

Para sarjana politik mengatakan bahwa politik adalah soal-soal yang terjadi di level lokal. All politics is local. Demikian ungkapan yang pernah disampaikan anggota Kongres Amerika Serikat dan Ketua DPR Amerika Serikat Tip O’Neill beberapa dekade silam.

Gaya Komunikasi

Saya kembali ingat dengan perbincangan di tengah acara arisan di kampung. Suatu kali membahas rencana kedatangan seorang anggota DPRD kabupaten dan sedang mencalonkan diri lagi di Pemilu 2024. Warga tampak antusias menyambut.

Mereka seolah-olah tidak peduli apakah pertemuan itu bisa menjadi solusi hidup atau sekadar pemanis janji. Salah seorang warga yang menjadi kepanjangan tangan politikus tadi menjanjikan bahwa dalam pertemuan para warga dipersilakan menyampaikan usulan-usulan.

Sayang, sudah hampir sebulan berlalu, tetapi rencana pertemuan belum terwujud. Apa yang menarik dan kemudian saya cermati adalah tentang gaya komunikasi. Warga ternyata cukup antusias mendengar rencana kedatangan seorang caleg.

Baru sebatas rencana, tapi niat sang politikus untuk datang membuat warga tertarik. Artinya model komunikasi yang bertemu langsung dengan warga sebagai pemilih lebih disukai daripada hanya memasang foto atau baliho di pinggir jalan.

Jelas tidak mungkin kita berdiskusi dengan foto yang ditempel di pohon. Dalam politik elektoral, iklan politik atau cara kandidat wakil rakyat memasarkan diri sangat penting. Tentu sangat berbeda antara kandidat petahana, yakni kandidat yang sedang atau masih menjadi anggota DPRD, dengan kandidat baru yang sedang berjuang meraih simpati dari para pemilih.

Kandidat baru anggota DPRD juga akan terlihat memang serius maju dalam kontestasi pemilu atau sekadar ”memenuhi kewajiban”, yakni caleg yang sekadar didaftarkan oleh partai politik untuk memenuhi kuota caleg partai politik tersebut.

Berbasis Isu Lokal

Selain cara berkomunikasi yang cenderung satu arah karena hanya menempelkan visualisasi diri di pohon, misalnya, hampir tidak ada isu lokal yang diangkat sebagai bahan kampanye. Rata-rata tulisan yang ditampilkan adalah mohon doa restu, pilih atau coblos nomor sekian, dan sebagainya.

Isu lain yang sering kali ditempelkan adalah mengasosiasikan diri dengan calon presiden yang diusung partai politik. Hal ini seolah-olah menegaskan bahwa kalau memilih calon presiden yang diusung partai politik X, maka pilihlah saya untuk lembaga legislatif lokal.

Artinya, tidak ada tawaran ketika memilih sang kandidat. Tidak ada tawaran sang kandidat wakil rakyat itu akan memperjuangkan hal apa yang menjadi perhatian masyarakat di daerah pemilihan tempat caleg itu berkontestasi.

Mengapa ini penting? Ini jelas untuk menunjukkan bahwa sang kandidat adalah karakter politikus yang memang memahami persoalan dan kebutuhan masyarakat di daerah pemilihan. Inilah pentingnya sang kandidat wakil rakyat memiliki gaya komunikasi bertemu secara langsung dengan para pemilih.

Daerah pemilihan adalah ibarat medan perang para kandidat wakil rakyat. Pengenalan terhadap wilayah atau daerah pemilihan adalah wajib. Permasalahan dan kebutuhan warga bisa menjadi kunci untuk meluncurkan program kampanye yang tepat sasaran.

Daerah pemilihan ini tentu menyesuaikan dengan tingkat kandidasi yang dipilih. Jika memilih menjadi calon wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, isu di level kecamatan dan terutama desa/kelurahan menjadi sangat penting dipahami dan dijadikan bahan kampanye. Di level provinsi, isu di kabupaten/kota dan pembangunan antarkabupaten/kota menjadi penting dipahami dan dijadikan acuan kampanye.

Isu lokal adalah persoalan yang secara nyata berlangsung di tengah masyarakat. Sayangnya, sering kali tidak menarik bagi politikus nasional, kecuali tiba-tiba menjadi perhatian publik secara nasional. Misalnya, saat ini marak isu penutupan tempat pembuangan akhir sampah.

Berdasar penelusuran saya, tidak banyak caleg yang berkampanye dengan menggaungkan isu tata kelola sampah di komunitas. Saya teringat dengan dana bantuan yang akhir-akhir ini marak di beberapa kampung, bantuan yang mengafirmasi politikus lokal.

Tiba-tiba saja kampung tempat tinggal saya  mendapat tawaran bantuan dari beberapa politikus yang saat ini menjadi anggota DPRD kabupaten dan provinsi. Masing-masing seolah-olah memberi cek kosong ketika mempersilakan warga menyampaikan aspirasi.



Aspirasi tentang pembangunan jalan atau tentang kelengkapan sarana dan prasarana tempat ibadah. Meskipun perlu penyelidikan mendalam, setidaknya model pendekatan yang demikian lebih disukai masyarakat. Yang perlu dilakukan tentu saja merawat warga di daerah pemilihan tersebut.

Datang dan menemui warga yang punya hak pilih merupakan hal penting dalam proses kandidasi dan mengampanyekan program. Tidak selalu harus membuat acara sendiri. Bisa juga memanfaatkan forum warga yang sudah ada, tentu harus melalui izin dari pemangku wilayah misalnya pengurus rukuan tetangga atau pengurus rukun warga. Jangan sampai yang menemui warga hanya foto di baliho!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 14 Desember 2023. Penulis adalah dosen Pemikiran Politik Islam UIN Raden Mas Said Surakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya