SOLOPOS.COM - Suwarmin Direktur Bisnis dan Konten Solopos Group

Ivar Jenner bersinar malam itu di Stadion Manahan Solo, Selasa (12/9/2023). Satu golnya ikut mengantar Timnas Indonesia U-23 menggulung Turkmenistan 2-0. Satu lagi gol Indonesia dipersembahkan pemuda asal Blora, si pengantin baru Pratama Arhan. Indonesia juara Grup K dan lolos ke putaran final Piala Asia U-23 di Qatar tahun depan.

Ivar tampil dengan footwork lincah, passing-nya akurat, caranya membagi bola jempolan. Tidak heran, dia adalah pemain naturalisasi binaan klub sepakbola Belanda. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia dari sang nenek yang asal Jember. Itulah ihwal dia membela Merah Putih.

Promosi Alarm Bahaya Partai Hijau di Pemilu 2024

Belum setengah tahun Ivar Jenner mengangkat sumpah setia kepada Merah Putih. Tepatnya 22 Mei 2023 silam. Kala itu, bersamaan pula pemain naturalisasi lainnya, Rafael Struick. Selasa malam itu, Ivar, 19 tahun, Rafael, 20 dan Elkan Baggott, juga 20 tahun, menjadi pilar jangkung yang sulit dikalahkan lawan, bersamaan dengan darah muda Merah Putih lainnya, mengangkat panji-panji kebesaran Garuda.

Sudah lama Indonesia memainkan pemain naturalisasi. Dari yang awalnya bermain di Liga Indonesia lantas menikah dengan wanita Indonesia, kerasan tinggal di Indonesia, atau sebab lain. Ivar dan Rafael, misalnya, muncul di antaranya karena pencarian bakal oleh PSSI di Benua Biru. Mereka muncul sebagai pemain yang punya darah Indonesia.

Apa yang salah dengan naturalisasi? Tentu tidak ada yang  salah dengan itu. Banyak negara melakukannya. Bahkan Italia saat ini memainkan pemain keturunan Argentina di tim nasionalnya, Mateo Retegui. Italia yang tengah terpuruk berharap tuah Mateo yang negaranya baru saja menjadi juara dunia. Saat menjadi juara dunia terakhir kalinya di tahun 2006, yang terkenal dengan insiden tandukan Zinedine Zidane pada babak final, Italia juga diperkuat pemain asal Argentina, Mauro Camoranesi. Pun demikian dengan Prancis yang saat juara dunia 1998 juga diperkuat bintang berdarah Argentina, David Trezeguet. Negeri jiran Malaysia juga melakukan banyak naturalisasi. Pada satu laga Piala AFF, 4 gol Malaysia semua dicetak pemain “asing”-nya.

Naturalisasi adalah hak individu pemain dengan segala konsekuensinya. Apalagi Ivar, Rafael, dan Elkan mempunyai leluhur orang Indonesia. Yang salah jika naturalisasi itu dilakukan secara random, tanpa konsep yang benar dalam kaitannya dengan pembangunan timnas secara jangka panjang.

Dengan usia mereka yang belia, akan memberikan ritme permainan timnas yang lebih maju dan bergaya Eropa. Apalagi dengan tinggi mereka yang menjulang, Ivar bertinggi 188 cm, Elkan 194 cm, dan Rafael 187, akan sangat membantu Indonesia. Walaupun tinggi badan bukan segala-galanya dalam sepakbola.

Ivar yang dibesarkan dalam binaan akademi sepak bola milik Ajax Amsterdam dan FC Utrecht di Belanda, bahu membahu dengan Pratama Arhan yag dipanggungkan oleh PSIS Semarang dan kini tergabung di klub J League 2 Jepang, Tokyo Verdy. Bekerja sama pula dengan pemain lain yang dilahirkan oleh klub-klub Indonesia. Artinya, skill Eropa yang “ditransfer” melalui proses naturalisasi dipadukan dengan pemain Indonesia yang dilahirkan melalui kompetisi yang bagus. Tanpa kompetisi yang berkualitas, pemain naturalisasi hanya akan menjadi lelucon garing.

 

Kompetisi

Ketua Umum PSSI Erick Thohir yang pernah mempunyai klub Seri A Italia, Inter Milan, tentu faham betul apa artinya klub yang baik bagi peletakan dasar permainan sepakbola. Juga apa arti kompetisi yang sehat dan bersih sebagai “mesin produksi” pemain tim nasional.

Itulah sebabnya dia sempat murka saat juara Liga 1 musim lalu, PSM Makassar, justru tidak mendapatkan hadiah uang. Aneh memang, juara kompetisi zonder hadiah uang. Dan itu berlangsung sejak 2018. Ia kemudian merogoh kocek dari kantung sendiri Rp2 miliar untuk PSM. Ia juga tengah menyiapkan fasilitas VAR atau Video Assistant Referee untuk membantu wasit memimpin pertandingan lebih profesional di putaran kedua Liga I musim ini.

Erick bahkan disebut-sebut sudah meningkatkan kesejahteraan wasit sepakbola Liga 1 dan Liga 2 agar mempunyai karakter lebih kuat dan berintegritas. Maklum, sebelumnya, banyak yang menggunjingkan wasit kita kurang profesional. Banyak yang percaya bahwa sepakbola Indonesia bisa diatur, pemenang kompetisi sudah ditentukan, siapa tim yang akan promosi dan siapa yang terdegradasi sudah diketahui sebelum kompetisi selesai.

Semua ada “mahar” yang harus ditebus dengan mahal. Ubarampe-nya banyak, kata seorang teman. Harus ngerti cara mainnya supaya aman dan selamat. Dua mantan pembina sepakbola Kota Solo pernah mengaku kepada, bahwa mereka kapok mengurusi sepakbola karena tingginya biaya tak terduga seperti itu.

Kini yang seperti itu semoga tidak ada lagi. Membentuk prestasi sepakbola bukan sulapan yang bisa dibuat dalam semalam, satu bulan atau bahkan satu tahun. Butuh banyak prasyarat yang wajib dipenuhi, di antaranya dengan keberadaan klub yang sehat; sistem kompetisi yang rapi, berjenjang, berkelanjutan dengan menjunjung tinggi fair play, respect, dan profesionalisme. Sangat penting menjadikan kompetisi menghidupi dirinya sendiri dengan ekosistem bisnis yang sehat dan menguntungkan bagi klub-klub anggotanya.

Bagi Indonesia, tidak mudah mewujudkan semuanya. Saat pemain naturalisasi sudah didatangkan, pelatih timnas sudah berkaliber dunia, kompetisi masih merintis ke arah yang lebih profesional. Ketika pemain dan PSSI sudah menjadi lebih baik, budaya berkelahi para suporter masih menjadi catatan buruk.

Tapi apa pun, selamat untuk PSSI yang akan berlaga di dua putaran final Piala Asia tahun depan: Timnas Garuda U-23 dan timnas senior!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya