SOLOPOS.COM - Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (FOTO/Istimewa)

Rumongso, Guru SD Djama’atul Ichwan Solo (FOTO/Istimewa)

Pakaian tidak hanya simbol budaya, norma sopan santun dan kesusilaan, namun juga sebuah identitas. Sebagai sebuah identitas pakaian adalah bentuk penegasan mengenai siapakah pemakainya. Untuk hal itulah, murid saya rela kehilangan peluang untuk bersekolah di sebuah SMP yang menjadi favorit siswa SD. Meski ia diterima namun ia mundur dan memilih bersekolah di SMP yang siswa laki–lakinya memakai seragam celana panjang.

Promosi Iwan Fals, Cuaca Panas dan Konsistensi Menanam Sejuta Pohon

Di SMP favorit tersebut siswa laki–laki  memakai seragam celana pendek, sementara ia semenjak Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar memakai celana panjang sebagai pakaian seragam. Ia risi bercelana pendek dan lebih daripada itu ia direpotkan jika harus melaksanakan ibadah salat. Sebagai sebuah identitas, pakaian mampu meneguhkan jati diri dan identitas kultural.

Kalau kita melihat kimono ingatan kita terbang jauh ke negara Jepang. Berpakaian beskap dan blangkon jelas menunjukkan identitas Jawa. Tentu banyak lagi yang dapat dijadikan contoh. Identitas itu menjadi penanda dan pembeda dari yang lain. Bagi murid saya tadi, celana pendek yang menjadi pangkal persoalan mengapa ia memilih mundur memiliki makna lebih daripada itu yakni ia memperoleh pencerahan dan prinsip hidup.

Bagi anak seusianya bisa jadi hal itu tidak penting. Namun, pencerahan yang ia terima menjadikan ia berbeda. Ia ada karena ia memiliki prinsip. Pakaian akan membantu membentuk karakter pemakaianya. Itulah mengapa para desainer pakaian bersemboyan who you are, what you wear atau siapa Anda tecermin dari apa yang Anda pakai.

Saya yakin murid saya tersebut belum pernah mendengar kalimat tersebut. Dia juga belum pernah membaca Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi yang menyasar ruang privat manusia. Yang jelas ia sudah mengamalkannya. Saya menghargai pilihannya dan sangat memahami alasannya. Hidup itu sendiri sebuah pilihan, akan diisi dengan apa, akan melakukan apa.

Saya yakin, di samping murid saya tadi masih ada ribuan anak yang menghadapi pilihan sulit saat harus menghadapi kenyataan dan pengalaman baru berseragam celana pendek yang menekan jiwanya. Namun, karena tidak ada pilihan lain, mereka menerima kenyataan.

Kalau kita perhatikan postur anak–anak zaman sekarang memang mengalami perkembangan yang luar biasa. Mungkin asupan nutrisi yang tinggi membantu mempercepat pertumbuhan bangun tubuh mereka. Kaki mereka sudah ditumbuhi bulu yang membuat risi jika tidak memakai celana panjang.

Mereka cenderung lebih cepat dewasa akibat  sering menonton tayangan di televisi. Berbeda dengan generasi zaman dulu atau jadul yang tubuhnya cenderung kontet sehingga ada gurauan anak sekarang boros badan irit umur. Mungkin ada dari Anda yang menyalahkan pilihan murid saya itu dengan alasan kesempatan baik tidak datang dua kali.

Namun, kebebasan dan kenyamanan adalah sebuah harga yang harus dibayar meskipun mahal. Terlepas dari masalah agama bahwa berpakaian itu harus menutup aurat, bercelana panjang itu nyaman, ia rela berkorban untuk sebuah kenyamanan yang dapat juga diartikan sebagai kemerdekaan diri atas penindasan institusional yang diadopsi oleh sekolah yang mewajibkan seragam celana pendek.

Kita orang dewasa terkadang memberi mereka apa yang kita inginkan namun bukan memberi apa yang mereka butuhkan. Kita harus secara jujur mengakui bahwa ada kesenjangan berpikir dalam melihat mereka. Mereka anak–anak yang beranjak dewasa. Mereka sudah memiliki rasa malu dengan seragam yang mereka pakai. Mereka bukan lagi kanak–kanak yang bisa kita diktekan kemauan kita kepada mereka. Saatnya kita mendengar.

Kuncinya Otoritas Pendidikan

Berbekal pengalaman empiris tadi, saya bermimpi ada kebijakan pemerintah dalam hal ini otoritas pengelola pendidikan yang berpihak kepada anak didik sebagai pemilik sah masa depan negeri ini. Kebijakan yang saya maksud adalah memperbolehkan siswa laki–laki di SMP memakai seragam celana panjang. Ini sebagai bagian dari sikap akomodatif dan penghargaan terhadap pluralitas latar belakang siswa dan orangtua siswa yang beraneka ragam.

Kebijakan tersebut jika dilakukan akan memberi wajah ramah anak dalam bentuk yang lain dari program pemerintah mengenai sekolah yang ramah anak. Mumpung saat ini mendekati dimulainya tahun pelajaran baru 2012/2013.       Untuk menghindari kontroversu, konsideran yang diambil dalam keputusan memperbolehkan anak laki–laki memakai celana panjang bukan mengatasnamakan salah satu agama namun semata–mata melayani anak, memberi penghargaan atas pilihan mereka dan lebih dari pada itu adalah memandang mereka sebagai manusia–manusia utuh yang harus didengarkan apa keinginan dan kebutuhan mereka saat sekolah.

Jika semesta pendidikan mendukung dan memberi ruang maka mimpi kita mengenai pendidikan yang inklusif yang toleran bagi anak didik di negeri yang ber-Bhinneka Tunggal Ika ini memperoleh pembenaran. Tanpa kebijakan dari pemerintah dan/atau otoritas pengelola pendidikan, jangan harap ada kepala SMP yang berani melakukan terobosan atau mengambil diskresi dengan memperbolehkan siswa laki–laki mamakai celan panjang.

Di Kota Solo memang ada SMP negeri yang siswanya boleh bercelana panjang karena kebetulan sang kepala sekolah memiliki latar belakang dan pemahaman yang baik terhadap anak-anak didiknya. Padahal kita tahu siswa laki–laki di sekolah tsanawiyah di bawah Kementrian Agama sudah bercelana panjang. Mengapa siswa laki–laki SMP di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak? Ada apa? Gugatan itu akan terus datang mengalir.

Saat ini kita nyaris tidak menemukan lagi anak laki–laki dari bayi procot hingga usia remaja bercelana pendek di tempat–tempat umum seperti mal, tempat wisata dan lain–lain. Mereka semua bercelana panjang tidak peduli strata sosial ekonominya. Umumnya celana mereka berbahan denim atau jeans. Justru yang memprihatinkan adalah sebagian dari kaum perempuan yang memakai celana pendek.

Dari golongan setu legi (setengah tuwa lemu ginuk–ginuk) hingga golongan mahmud alias mamah–mamah muda tidak merasa risi berpakaian ala kadarnya. Serba kontradiktif jika kita kaitkan dengan apa yang dilakukan anak laki–laki yang sebagian besar justru berpakaian tertutup. Mungkin mereka—para perempuan–itu hendak beramal. Amal gairah.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya