SOLOPOS.COM - Naufal Bahauddin Wafi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Tentu  sebagian besar dari kita pernah diarahkan untuk berimajinasi sewaktu duduk di bangku sekolah. Berandai-andai mau jadi apa kita nanti. Semasa sekolah pilihan atas profesi dokter, polisi, tantara, atau pilot menjadi favorit.

Pada akhirnya, atas nama realitas dunia, pengandaian itu jamak hanyut dan hilang tertelan waktu. Kendala fisik, kendala geografis, kendala ketelatenan, atau kendala finansial menjadi penyebab cita-cita tak tergapai.

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Pilihan berikutnya bisa jadi jatuh pada primordialisme kesukuan atau hobi. Orang Jawa yang saking cintanya terhadap budaya Jawa menjatuhkan pilihan ingin menjadi guru bahasa Jawa. Budaya Jawa adalah aset yang tentu diatur cara perlindungannya.

Ada pikiran bahwa guru bahasa Jawa adalah profesi yang paling berpeluang dimasuki dan banyak dibutuhkan. Adakah yang di benaknya tebersit cita-cita ingin menjadi guru, apalagi menjadi guru bahasa Jawa?

Setiap tahun program studi pendidikan bahasa Jawa di beberapa universitas selalu menghasilkan calon tenaga pendidik atau calon guru. Mahasiswa yang diterima di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan memiliki gambaran masa depan gemilang yang mereka nanti.

Mempertaruhkan jalan hidup dengan asumsi mata pelajaran bahasa Jawa tak mungkin hilang dari sekolahan.  Barangkali orientasi bakal menjadi guru bahasa Jawa pernah tersemat di setiap pikiran mahasiswa program studi ini.

Bayangan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa memang membanggakan. Hantaman realitas kerap dihadapi calon guru muatan lokal. Ketentuan sistem, aturan, dan kebijakan pemerintah kerap kali membentur ekspektasi mereka.

Lulusan pendidikan bahasa Jawa hanya berpeluang mengajar di sekolah menengah. Jika masuk sekolah dasar, mereka hanya mendapat pekerjaan. Posisi mereka tidak sesuai dengan ijazah dan perlu memiliki ijazah pendidikan guru sekolah dasar (PGSD).

Linieritas ijazah dan posisi mereka kerap menjadi perdebatan. Mereka dibayang-bayangi aturan untuk mendapatkan sertifikat pendidik guna menjadi aparatur sipil negara atau ASN.

Sering juga terjadi ketika di sekolah dasar mereka merangkap mengajar mata pelajaran lain. Ada pula yang sebaliknya, lulusan bukan dari pendidikan bahasa Jawa malah mengampu pelajaran bahasa Jawa.

Pada 2022 tidak ada kuota pendidikan profesi guru atau PPG untuk bidang studi pendidikan bahasa Jawa yang diselenggarakan pemerintah. Hal itu tampak pada pengumuman Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor: 2518/B/GT.00.03/2022.

Pengumuman itu menginformasikan kuota nasional dan bidang studi PPG prajabatan tahun 2022 terdiri atas15 bidang studi. Pada akhirnya, pada 2023 ini ada bidang studi bahasa Jawa, namun  kuota 320 untuk PPG bidang studi bahasa Jawa tidak terisi penuh.

Jumlah  pendaftar 283 dan yang lolos sampai tahap wawancara hanya 173 peserta. Saya bingung dengan keadaan ini. Bagaimana tidak? Jumlah kampus yang memiliki program studi pendidikan bahasa Jawa di Indonesia banyak.

Di beberapa kampus setiap angkatan memiliki jumlah mahasiswa yang banyak pula. Contohnya di Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Sebelas Maret. Pada kurun waktu 2019 – 2022 selalu menerima 80 mahasiswa.

Mereka yang dicetak sebagai pendidik memiliki kawan program studi serumpun yakni sastra Jawa (sastra daerah). Program Studi Sastra Daerah (Sastra Jawa) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret menerima mahasiswa banyak pula.

Pada tahun 2019–2022 ada kenaikan jumlah mahasiswa dari 65 orang menjadi 80 orang. Beberapa universitas memang meluluskan calon guru bahasa Jawa yang cukup banyak, namun dengan jumlah yang ”banyak” itu mereka ke mana?

Di sekolah yang mana mereka sekarang? Untuk apa mencetak banyak calon pendidik bahasa Jawa ketika mereka ternyata tidak mau menjadi guru? Kebingungan saya tak berhenti di situ saja.

Ketika saya bertanya kepada teman saya, lowongan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk guru bahasa Jawa cukup banyak, bahkan ada beberapa guru yang bukan pada bidangnya ikut mengajar bahasa Jawa.

Itu dianggap hal yang lumrah pada  saat ini, namun apakah ada niat ikhlas kecil dari diri lulusan pendidikan bahasa Jawa atau lulusan sastra Jawa untuk mengajar bahasa Jawa? Apakah yang mengemuka hanya minat menjadi ASN saja?

Masihkah pantas pertanyaan usang ini muncul lagi: mau ke mana setelah mengisi lowongan pendidik bahasa Jawa? Perlu introspeksi diri, apakah pernah menengok kemampuan diri untuk memenuhi persyaratan?

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 Oktober 2023. Penulis adalah bakul Hik Sempulur dan alumnus Program Studi Sastra Daerah (Sastra Jawa) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya