SOLOPOS.COM - Adib Muttaqin Asfar (Solopos/Istimewa)

Di tengah riuh publik menyambut kehadiran Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek sebagai moda transportasi massal baru, klaim “salah desain” tiba-tiba menyeruak awal bulan ini. Penilaian ini memunculkan pertanyaan: bagaimana bisa ada kesalahan desain dalam sebuah megaproyek bernilai Rp32,5 triliun?

Kabarnya, konstruksi jembatan lengkung (longspan) LRT itu dinilai salah desain dan membuat laju kereta melambat. Yang mengungkapkan penilaian itu bukan orang sembarangan, yaitu Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo. Kata dia, “salah desain” lengkung jembatan di antara Jl. H.R. Rasuna dan Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan, itu menyebabkan kereta hanya bisa melaju 20 km/jam saat melintas di tikungan.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Karena diungkapkan pejabat publik, pernyataan itu semestinya bisa dipertanggungjawabkan. Wajar jika muncul desakan agar pemerintah mengaudit proyek puluhan miliar itu. Meskipun terdengar aneh, bagi saya, ucapan Kartika adalah bentuk kejujuran.

Namun, respons Presiden Joko Widodo (Jokowi) jauh dari harapan. Alih-alih memerintahkan lembaga berwenang melakukan audit, dia meminta publik “jangan senang cari-cari kesalahan.”

Kontroversi ini mengingatkan saya pada kasus manipulasi uji tabrak yang dilakukan pabrikan otomotif asal Jepang, Daihatsu, belum lama ini. Saya tidak hendak menyamakan pernyataan “salah desain” jembatan LRT dengan skandal uji tabrak Daihatsu, tetapi membandingkan respons terhadap kedua masalah itu.

Daihatsu mengaku telah memanipulasi data hasil uji tes keselamatan tabrak samping sejumlah tipe mobil. Tidak main-main, laporan Daihatsu menyebut sekitar 88.000 mobil yang dipasarkan di sejumlah negara (bukan Indonesia) terdampak manipulasi ini. Pengakuan ini memiliki konsekuensi: puluhan ribu mobil harus di-recall dari pasar.

Dalam pembuatan sebuah produk—terutama yang menyangkut keselamatan banyak orang—“kesalahan” adalah hal yang wajib dicari. Dalam produksi mobil, sebuah tipe mobil baru diuji dengan berbagai rintangan paling ekstrem yang mungkin dihadapi. Salah satunya adalah uji tabrak mengingat risiko terbesar mobil di jalanan adalah mengalami tabrakan.

Ini seperti sebuah karya ilmiah, termasuk skripsi, tesis, hingga disertasi yang harus selalu dicari kesalahannya. Itulah fungsinya seminar, ujian, dan forum akademis lainnya. Seorang kandidat doktor harus bisa mempertahankan disertasinya di depan para guru besar yang “mencari-cari kesalahannya”.

Semuanya bertujuan untuk meminimalkan risiko ketika karya, produk, atau apa pun itu, sampai ke publik. Mencari kesalahan bukan hal yang buruk, melainkan bagian dari proses panjang dalam mencari kebenaran.

Ketika berkata “saya berpikir maka saya ada”, Rene Descartes menempatkan eksistensi manusia ada pada akal budinya. Saat manusia memaksimalkan akalnya, di situlah kebenaran tertinggi berada. Akal menuntun manusia untuk selalu mencari kebenaran dengan cara selalu bertanya.

Hampir semua filsuf sepakat bahwa hakikat manusia adalah selalu bertanya. Dorongan akal menuntun kita mencari kebenaran. Dalam konsep rasionalisme, tidak ada kebenaran yang mutlak karena sesuatu baru dinyatakan benar jika bisa dibuktikan secara rasional. Kebenaran harus dibuktikan melalui serangkaian pertanyaan, pembuktian, dan analisis agar bisa diterima.

Tanpa itu, sesuatu sulit diyakini sebagai kebenaran. Descartes hanya membuat satu pengecualian, yaitu sesuatu yang memang harus diyakini sebagai kebenaran. Pengecualian dalam hal ini datang dari Tuhan yang memiliki kebenaran lebih sempurna daripada manusia. Dia menyebutnya sebagai “ide Tuhan”.

Konsep rasionalisme menjadi salah satu dasar bagi metode ilmiah, sebuah disiplin yang kita anut dalam hampir seluruh lingkungan akademis. Sejak di bangku sekolah hingga kampus perguruan tinggi, siswa dan mahasiswa diajari mencari latar belakang, menemukan masalah, menyusun hipotesis, menganalisis fakta untuk menguji hipotesis, hingga menarik sebuah kesimpulan.

Butuh proses panjang agar sebuah kesimpulan bisa diterima khalayak sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran itu pun bersifat sementara sampai muncul sebuah bukti yang menjadi antitesisnya. Begitu seterusnya karena sifat manusia yang selalu bertanya, termasuk mempertanyakan kebenaran.

 

Dogma

Hari-hari ini, sifat dasar manusia yang selalu ingin bertanya kerap terbentur dogma bahwa kebenaran bersifat tunggal dan tak terbantahkan. Contoh dogma itu muncul dalam kalimat kontroversial Johnny G. Plate saat masih menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) 14 Oktober 2020 lalu.

“Kalau pemerintah sudah bilang hoaks ya hoaks,” katanya dalam tayangan program Mata Najwa. Ucapan itu merespons tudingan publik bahwa pemerintahlah yang menciptakan disinformasi tentang Undang-undang (UU) Cipta Kerja.

Dalam sebuah negara demokrasi, ucapan Plate berbahaya karena menunjukkan watak pejabat publik yang hendak mengklaim narasi pemerintah sebagai kebenaran tunggal. Jika kebenaran tunggal hanya datang dari negara, maka apa pun yang dikatakan pemerintah tak bisa dikritik, tak bisa diuji, apalagi ditentang.

Dalam konteks UU Cipta Kerja yang disahkan pada akhir 2020 lalu, publik saat itu belum mengetahui secara pasti versi naskah mana yang sudah disahkan. Jangankan naskah terakhir, sepanjang pembahasan yang maraton itu publik tidak pernah tahu perjalanan draf rancangan undang-undang itu sampai di mana. Saat banyak orang mencoba meraba-raba dan menebaknya, pemerintah memberinya label “hoaks”.

Anggapan narasi pemerintah sebagai kebenaran tunggal itu tidak hanya muncul dalam retorika Plate. Watak itu juga mewujud dalam frase “pemberitahuan bohong” pada beberapa ketentuan draf revisi kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Salah satunya adalah draf revisi Pasal 28 ayat (2) usulan pemerintah.

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiil bagi pelaku usaha,” bunyi draf revisi Pasal 28 ayat (2) usulan pemerintah.

“Pemberitahuan bohong” maupun “informasi menyesatkan” menjadi frase bermasalah karena tidak ada standar yang bisa mengukur sebuah kebenaran. Kebenaran bukan sesuatu yang dengan mudah diklaim seperti hitam dan putih atau gelap dan terang. Tidak ada narasi tunggal untuk menentukan sesuatu sebagai “benar”, “bohong”, atau “menyesatkan”.

Terlebih dalam ketentuan hukum di Indonesia selama ini tidak pernah ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong, berita bohong, hoaks, misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Pemerintah juga tidak pernah memberikan definisi tentang istilah-istilah itu. Yang ada hanya ucapan bahwa yang tidak sesuai narasi pemerintah adalah hoaks.



Kebenaran tidak bisa distandarkan. Ini karena kebenaran adalah sesuatu yang dicari dan bukan dibuatkan standar. Karenanya, keinginan menciptakan narasi tunggal sebagai standar kebenaran tidak sejalan dengan hakikat manusia yang selalu ingin bertanya.

Tanpa bertanya, manusia tidak menemukan eksistensinya. Ini karena akal budinya tidak digunakan untuk mencari kebenaran sebagaimana mestinya. Kritik adalah bagian dari upaya bertanya dan mencari kebenaran. Melarang orang bertanya adalah bagian dari menjauhkan manusia dari hakikatnya.

Artikel ini dimuat di Harian Umum Solopos. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group (SMG)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya